Konten dari Pengguna

LPG 3 Kg: Kenapa Harus Peduli?

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
4 Februari 2025 12:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gas Melon (DrawingMyDiary/Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gas Melon (DrawingMyDiary/Freepik)
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat biasa, sering kali merasa terbebani dengan berbagai masalah yang seakan tak ada habisnya. Salah satunya adalah antrian panjang untuk mendapatkan gas LPG 3 Kg. Setiap kali melihat ibu-ibu dan keluarga lain berjuang di tengah hujan atau terik matahari untuk mendapatkan gas bersubsidi, saya merasa prihatin. Namun, di sisi lain, saya juga bertanya, "Apa urusan saya?" Saya bukan orang kaya, saya bukan pejabat. Saya hanya seorang yang berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang seringkali hidup di bawah tekanan ekonomi. Tetapi, saya tidak pernah merasakan sendiri beban yang sama dengan mereka yang harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan LPG 3 Kg. Saya dan keluarga saya, bahkan banyak teman-teman saya, tidak perlu menghadapi kesulitan seperti itu. Kami sudah terbiasa hidup dengan kenyataan ini. Lantas, apakah saya harus merasa bersedih atau terlibat dalam masalah ini? Kenapa saya harus peduli, kalau yang mengalami semua ini adalah mereka yang memilih untuk tetap berada di jalur ini, jalur yang sama, tahun demi tahun, saat pemilu datang? Mereka adalah yang memilih politisi yang sekarang memimpin, yang bahkan sepertinya tidak peduli dengan kesulitan yang mereka hadapi. Kenapa saya harus merasakan beban itu juga? Saya melihat, kebanyakan dari mereka yang harus antri gas ini adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan. Mungkin mereka tidak bisa membeli tabung yang lebih besar, lebih mahal. Mereka tidak punya pilihan lain selain bergantung pada subsidi yang ada. Tapi, apa yang lebih menyakitkan, mereka yang memilih untuk terus menerima kenyataan ini, yang terus mendukung sistem yang membuat mereka terjebak dalam kondisi ini. Saat Pemilu datang, mereka memilih politisi yang menjanjikan solusi, yang menjual janji-janji manis, tetapi pada kenyataannya, tidak ada perubahan yang signifikan. Kenapa harus menangis atau berduka saat mereka yang sama memilih pemimpin yang tidak benar-benar peduli? Mereka hanya menerima bantuan sementara, seperti sembako, kaos, dan janji yang tak pernah terwujud. Jadi, apakah saya harus merasakan kesedihan yang dalam melihat mereka berjuang di antrian gas 3 Kg? Saya harus bertanya pada diri saya, apakah saya benar-benar peduli dengan mereka, atau ini hanya sebuah drama yang terus berulang, yang sepertinya tidak akan pernah selesai? Mereka memilih untuk tetap terjebak dalam sistem yang sama, yang tidak pernah membawa perubahan signifikan. Saya bukan berarti tidak peduli, saya hanya merasa bahwa ini bukan masalah saya. Mereka yang memilih pemimpin yang sama, mereka yang memilih untuk tetap bertahan dengan kondisi ini, dan mereka yang terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Saya hanya bisa berdoa, agar suatu saat nanti, mereka akan sadar, bahwa pilihan mereka bisa mengubah masa depan. Namun, untuk saat ini, saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya lakukan. Drama ini terus berlanjut, dan saya hanya bisa menjadi bagian dari penonton yang pasrah.
ADVERTISEMENT