Konten dari Pengguna

Melampaui Kegelapan

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
14 Januari 2025 11:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bunuh diri. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bunuh diri. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dalam kesunyian malam yang mencekam, ketika jiwa terbelenggu oleh penderitaan yang tak terperikan, sering kali manusia terjebak dalam keraguan yang mencekam akan makna dan tujuan hidupnya. Terasa seolah hidup ini hanyalah bayang-bayang yang meresap ke dalam kehampaan, dan dalam keputusasaan itulah terkadang terlintas sebuah pikiran, apakah lebih baik mengakhiri segala derita dengan menempuh jalan yang terakhir, yang sunyi? Namun, apakah segala luka dan derita yang terselubung dalam kelam itu, patut mengarah pada penghancuran diri yang abadi? Statistik menyatakan bahwa sekitar 800.000 jiwa melayang setiap tahunnya, tenggelam dalam samudera kesedihan yang tak tampak oleh mata dunia. Setiap detik, satu orang memilih untuk lepas dari belenggu dunia ini, meninggalkan segala yang telah tercipta—padahal, apa yang sesungguhnya terhenti? Apakah hanya tubuh fana yang musnah, atau adakah yang lebih dalam yang turut ikut sirna? Bunuh diri, dalam semua tragedinya, bukan hanya sekadar tindakan fisik, melainkan penghilangan jejak yang lebih abadi identitas diri, relasi sosial, dan segala potensi yang terpendam dalam hidup yang seharusnya terus berkembang. Di ranah filsafat, pertanyaan tentang bunuh diri telah menjadi perdebatan panjang, dan setiap jawaban yang muncul adalah refleksi atas keyakinan tentang kehidupan dan makna keberadaan. Immanuel Kant, sang filsuf moral, menyatakan dengan tegas bahwa bunuh diri adalah pelanggaran terhadap kewajiban moral seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam pandangannya, hidup bukanlah milik kita untuk diambil semena-mena, karena kita berkewajiban menjaga dan menghormati hakikat diri. Tindakan bunuh diri, menurut Kant, tidak dapat dibenarkan oleh akal budi, karena tidak bisa dijadikan prinsip universal yang berlaku bagi setiap orang. Namun, meskipun suara Kant menggaung dengan tegas, pemikiran lain mengemuka, yang melihat dalam bunuh diri sebuah pembebasan, sebuah pilihan terakhir yang sah, sesuai dengan kehendak bebas yang kita miliki. Seperti yang disuarakan oleh Epicurus, yang dalam kebijaksanaannya menyatakan bahwa ketika penderitaan telah mencapai puncaknya, maka kematian bisa menjadi jalan yang dipilih sebagai pelepasan. Kehendak bebas, menurut Epicurus, adalah hak yang tak terbantahkan, bahkan jika itu berarti memilih untuk melepaskan diri dari dunia ini. Namun, Aristoteles menanggapi pandangan ini dengan kecaman yang lebih tajam, bagi dirinya tindakan bunuh diri adalah ketidakadilan, sebuah pelanggaran terhadap tatanan moral yang lebih besar, yaitu keadilan sosial. Bagi Aristoteles, hidup tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk komunitas kita, dan dengan mengakhiri hidup kita, kita menciptakan ketidakadilan yang tidak terukur. Di dunia kuno, di mana hidup dan mati berjalin erat dengan hukum alam dan ketuhanan, bunuh diri dianggap sebagai tindakan yang bukan hanya tercela, tetapi juga dihukum. Jenazah mereka yang mengakhiri hidupnya dengan cara demikian tak mendapat penghormatan layaknya orang yang mati secara alami. Mereka dianggap sebagai orang yang telah melarikan diri dari tugas suci yang telah diberikan oleh para dewa, hidup sebagai amanah yang tak boleh disia-siakan. Plato, dengan ketegasan filosofisnya, menganggap bunuh diri sebagai tindakan pengecut, melarikan diri dari segala tantangan kehidupan yang seharusnya dihadapi dengan keberanian. Namun, meskipun beragam pandangan filsafat berpendapat bahwa bunuh diri adalah pelanggaran terhadap norma moral atau sosial, ada satu hal yang seringkali terabaikan dalam diskursus ini hakikat diri yang sejati. Ketika jiwa berada dalam kegelapan, terbelenggu oleh penderitaan yang tiada henti, bukanlah hal yang mudah untuk melihat bahwa penderitaan itu hanya sementara, dan ada kedalaman makna hidup yang jauh lebih luas daripada sekadar rasa sakit yang menguasai sekejap. Kebijaksanaan sejati, sebagaimana yang dijelaskan oleh berbagai ajaran filosofis dan spiritual, mengajarkan kita untuk mencari tahu siapa diri kita sebenarnya, bukan melalui penderitaan yang menimpa tubuh ini, tetapi melalui pemahaman tentang makna yang terkandung dalam keberadaan kita. Tubuh ini, yang fana dan rapuh, memang suatu hari akan hancur, namun esensi dari diri kita, jiwa yang abadi tidak akan sirna begitu saja. Tindak bunuh diri, dalam pengertiannya yang paling mendalam, hanya merusak tubuh dan identitas sosial, dan menciptakan luka yang mendalam pada mereka yang ditinggalkan. Bunuh diri bukan hanya tentang mengakhiri hidup pribadi, tetapi juga tentang merobek hubungan kita dengan dunia dan dengan mereka yang seharusnya berbagi perjalanan hidup bersama kita. Setiap jiwa yang pergi meninggalkan kekosongan, namun lebih dari itu, tindakan tersebut menciptakan kehampaan dalam keberadaan yang lebih luas dalam komunitas, dalam keluarga, dan dalam peradaban itu sendiri. Lantas, apa yang tersisa dari semua ini? Apakah kematian adalah jalan keluar dari penderitaan yang tak terhentikan, ataukah ia adalah ilusi dari jiwa yang terbelenggu dalam kegelapan? Jika kita mampu menatap lebih dalam ke dalam diri kita, mungkin kita akan menyadari bahwa hidup ini, meskipun diliputi oleh berbagai tantangan dan kesulitan, tetap merupakan perjalanan yang harus ditempuh dengan kesadaran akan makna yang lebih tinggi. Dalam pencarian makna itulah kita menemukan kekuatan untuk bertahan, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk dunia yang kita tinggalkan jejaknya. Kehidupan ini adalah peluang, bukan beban, dan setiap langkah menuju pemahaman diri adalah langkah menuju kebijaksanaan yang lebih besar. Pada akhirnya, meskipun tubuh ini akan rapuh dan dunia ini penuh dengan ketidakpastian, esensi dari diri kita tetap abadi, dan itulah yang harus kita pegang. Kita tidak akan selamanya terperangkap dalam penderitaan yang hanya sementara. Dalam pencarian jati diri yang sejati, kita akan menemukan kedamaian yang lebih dalam, yang melampaui segala kegelapan. Bunuh diri mungkin mengakhiri sebuah perjalanan, tetapi ia tidak akan pernah mengakhiri inti diri kita dalam kenangan, dalam karya, dan dalam kasih yang abadi.
ADVERTISEMENT