Konten dari Pengguna

Mencari Wajah yang Tak Pernah Tampak

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
31 Desember 2024 9:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh John Hain dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh John Hain dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Manusia, dalam perjalanan panjang hidupnya, selalu mengenakan topeng. Topeng-topeng ini bukanlah sekadar kulit luar yang menyelubungi, melainkan lambang dari peran-peran yang dipilih atau kadang dipaksakan untuk dimainkan. Di hadapan dunia, kita adalah sosok yang terus-menerus berpura-pura menjadi sesuatu, bukan untuk diri kita sendiri, tetapi demi memenuhi harapan-harapan yang datang dari luar. Kita bertemu dengan orang-orang, kita berinteraksi, namun apa yang tampak di permukaan bukanlah diri mereka yang sejati. Sebaliknya, itu adalah citra yang mereka pilih untuk dilihat oleh dunia. Begitu juga dengan kita, kita memamerkan wajah yang bukan wajah asli kita, melainkan wajah yang tercipta dari pilihan, kebutuhan, atau tuntutan yang datang dari lingkungan sosial. Apakah, di balik topeng itu, kita tahu siapa kita sebenarnya? Di dalam ruang sunyi yang tak terjamah, apakah kita mengenal diri kita di luar segala peran yang kita jalani? Begitu sering kita menyembunyikan wajah sejati kita, terperangkap dalam permainan identitas yang kita tidak pilih sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ellias Canetti dalam Crowds and Power, manusia adalah makhluk yang tak pernah terikat dalam satu bentuk identitas. Kita adalah makhluk yang senantiasa berubah, terus terfragmentasi dalam lapisan-lapisan diri yang tak pernah selesai. Manusia itu, dalam kata-kata Canetti, adalah metamorfosis tanpa ujung, tak ubahnya ulat yang berubah menjadi kupu-kupu selalu bergerak, selalu berbeda, dan tak pernah tetap dalam satu bentuk. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memainkan peran-peran yang sudah ditentukan oleh kebiasaan sosial. Kita mengenakan topeng sesuai dengan apa yang diinginkan orang lain dari kita, topeng yang membentuk citra yang diterima dan dihargai oleh masyarakat. Namun, dalam kegelapan batin yang jarang kita datangi, seringkali kita bertanya-tanya: Siapakah aku di balik semua ini? Apakah aku adalah pribadi yang terlihat oleh orang lain, ataukah aku hanyalah bayangan dari topeng yang kupilih untuk bertahan dalam dunia yang penuh tuntutan ini? Sering kali, kita terjebak dalam peran yang bukan pilihan bebas kita. Kita mengenakan topeng untuk memenuhi ekspektasi orang lain, untuk menjadi seseorang yang dapat diterima oleh dunia. Dalam keinginan untuk diterima, kita melupakan diri kita sendiri. Kita mengejar citra yang diinginkan, meski batin kita terjerat dalam kesedihan yang tak tampak. Bahkan ada di antara kita yang tak pernah mengetahui bahwa topeng yang dikenakan bukanlah pilihan mereka melainkan sebuah beban yang dijatuhkan oleh masyarakat, oleh mereka yang mengatur norma-norma yang harus dipatuhi. Tetapi, jika kita berani menanggalkan semua topeng itu, apakah kita akan menemukan siapa kita yang sejati? Atau, akankah kita justru terperangkap dalam kekosongan yang mengerikan, sebuah ruang hampa di mana kita tidak tahu lagi siapa diri kita tanpa lapisan-lapisan identitas yang kita ciptakan? Mungkin kita akan menemukan bahwa kita telah begitu lama hidup dengan topeng-topeng itu, sehingga kita sudah lupa apa arti menjadi diri sendiri. Mungkin, wajah yang kita anggap sejati pun tak lebih dari topeng yang kita kenakan topeng yang kita pilih dengan segala ketidakpastian, karena itulah yang memungkinkan kita bertahan. Seno Gumira Ajidarma, dalam sebaris kalimatnya, mengingatkan kita untuk bercermin, dan memastikan bahwa kita tidak sedang mengenakan topeng. Namun, pertanyaannya adalah: Apa yang kita lihat ketika bercermin? Apakah kita benar-benar melihat wajah kita yang sejati, atau adakah bayangan yang tergelincir dari cermin itu, seolah-olah wajah itu adalah sesuatu yang tak pernah ada? Mungkin kita tak akan pernah tahu siapa kita sebenarnya, karena batas-batas identitas kita adalah batas-batas imajinasi dan kebingungan yang kita sendiri ciptakan. Kita, dalam kenyataannya, mungkin adalah makhluk yang terus berputar dalam lingkaran topeng, tanpa pernah mampu melihat diri kita dalam kesucian yang murni. Apakah kita tahu siapa kita, atau apakah kita hanya menghidupi topeng yang selama ini kita kenakan dengan penuh keragu-raguan? Mungkin, kita adalah bayang-bayang dari topeng itu sendiri tak lebih, tak kurang.
ADVERTISEMENT