Konten dari Pengguna

Mentalitas Feodal, Warisan yang Masih Mencengkeram

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
6 Januari 2025 9:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Feodalisme (freepik.com/upklyak)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Feodalisme (freepik.com/upklyak)
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasa bahwa ada orang-orang di atas sana yang bertindak seolah-olah dunia ini milik mereka? Mereka memutuskan banyak hal tanpa peduli suara kita. Fenomena ini bukan hal baru.
ADVERTISEMENT
Ini bagian dari mentalitas feodal, sebuah pola pikir yang menempatkan hierarki sebagai tatanan mutlak. Dalam pola ini, segelintir orang merasa lebih "berhak" hanya karena mereka punya kekuasaan atau status tertentu. Apa Itu Mentalitas Feodal?
Sederhananya, mentalitas feodal adalah cara berpikir yang menganggap seseorang lebih tinggi dari yang lain berdasarkan kekuasaan, status sosial, atau bahkan latar belakang keluarga. Efeknya, kita sering melihat masyarakat yang tunduk tanpa berani bertanya, apalagi melawan. Kalau kritik muncul? Cepat-cepat dianggap ancaman. Akhirnya, ketakutan jadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Di Indonesia, sisa-sisa mentalitas ini masih terlihat jelas. Mulai dari politik hingga kehidupan sehari-hari, banyak keputusan dibuat oleh mereka yang hanya peduli pada keuntungan pribadi. Kita, rakyat biasa, sering kali dianggap hanya pelengkap dalam sistem besar ini. Kekuasaan yang Membutakan Kenapa mentalitas feodal ini terus bertahan? Salah satu jawabannya adalah karena kekuasaan sering dianggap suci. Para pemimpin yang mestinya melayani malah sibuk membangun citra agar terlihat bijaksana. Padahal, apa yang mereka lakukan kadang jauh dari janji-janji manis yang mereka sampaikan. Misalnya, lihat saja kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan. Hutan dibabat habis demi tambang atau proyek besar lainnya. Siapa yang untung? Segelintir orang di puncak kekuasaan. Sementara itu, rakyat kecil harus menanggung akibatnya: banjir, tanah longsor, dan krisis lingkungan yang makin parah. Yang lebih menyedihkan, pola ini bahkan merambah ke institusi agama. Beberapa pemuka agama yang seharusnya menjadi panutan malah sibuk mendukung para penguasa demi keuntungan pribadi. Nilai-nilai luhur sering kali diabaikan demi uang atau kekuasaan. Budaya Ketakutan dan Penindasan Mentalitas feodal menciptakan budaya yang penuh ketakutan. Mereka yang ada di puncak merasa berhak dihormati tanpa syarat, sementara mereka yang di bawah hanya bisa pasrah. Dalam sistem ini, keadilan sering kali jadi barang mewah. Hukum terlihat tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat tinggi sering kali dibiarkan berlalu begitu saja. Lebih ironis lagi, sebagian masyarakat malah memuja para pemimpin ini karena terpesona oleh citra yang diciptakan. Harapan Masih Ada Namun, jangan putus asa. Sejarah membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Ketika rakyat berani bersuara dan bersatu, sistem sekuat apa pun bisa runtuh. Tapi, tentu saja ini butuh keberanian. Kita harus berani berkata "tidak" pada ketidakadilan, menolak tunduk pada kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mulai membangun kesadaran bahwa setiap orang punya hak yang sama. Masa depan kita, pada akhirnya, ada di tangan kita sendiri. Apakah kita akan terus terjebak dalam sistem yang tidak adil, atau kita mulai melawan dan membangun tatanan yang lebih baik? Perubahan memang tidak mudah, tapi itu bukan berarti tidak mungkin. Semua dimulai dari kesadaran untuk melawan ketidakadilan, sekecil apa pun langkahnya. Jangan takut untuk bersuara, karena suara Anda adalah kunci untuk menghancurkan belenggu mentalitas feodal yang sudah terlalu lama membelenggu kita.
ADVERTISEMENT