Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Nalar Yang Tenggelam
15 Januari 2025 9:14 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di setiap ruang belajar, ada kebiasaan yang sering terjadi: mereka yang mendengar tanpa bertanya, mengangguk tanpa berpikir. Ucapan mereka yang dianggap berwenang entah itu seorang pendidik, pemimpin, atau siapa saja dengan jabatan ditelan mentah-mentah, seakan-akan kebenaran hanya milik mereka yang berdiri di depan. Gelar, jabatan, atau sekadar wibawa sering kali cukup untuk membungkam nalar.
Namun, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang jarang terlihat: rasa takut. Takut terlihat bodoh, takut dianggap lancang, takut bahwa bertanya sama artinya dengan tidak menghormati. “Apa pantas aku meragukan?” begitulah sering kali pikiran itu muncul. Rasa rendah diri mengakar kuat, membuat banyak orang memilih diam meski di dalam hati ada kegelisahan.
Budaya kita mengajarkan untuk menghormati, tetapi terlalu sering hormat itu berubah menjadi kebisuan. Mereka yang belajar takut mempertanyakan, takut menyanggah, takut mengganggu wibawa orang yang dianggap lebih tahu. Padahal, belajar bukanlah soal menerima. Belajar adalah soal bertanya, menggali, dan bahkan meragukan.
Ketika nalar tenggelam, ruang belajar kehilangan maknanya. Yang tersisa hanyalah ritual kosong: mendengar, mencatat, mengangguk. Jika apa yang disampaikan ternyata keliru, siapa yang akan meluruskan? Jika mereka yang berwenang memiliki agenda tersembunyi, siapa yang akan berani melawan? Tanpa keberanian untuk berpikir kritis, ruang belajar menjadi tempat subur bagi manipulasi.
Namun, bertanya tidaklah mudah. Dibutuhkan keberanian untuk mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak setuju.” Dibutuhkan nyali untuk berkata, “Mengapa harus begitu?” Bertanya bukanlah tanda pembangkangan, tetapi bukti bahwa pikiran sedang bekerja. Menyanggah bukanlah bentuk melawan, tetapi upaya mendekati kebenaran.
Hormat itu penting, tetapi ia tidak boleh memenjarakan nalar. Mereka yang berbicara dengan wibawa memang pantas dihormati, tetapi bukan berarti setiap kata yang mereka ucapkan harus diterima begitu saja. Otoritas bukanlah jaminan kebenaran. Setiap gagasan, sekecil apa pun, harus diuji dan dipertanyakan.
Maka, jangan biarkan gelar atau jabatan membungkam keberanianmu. Jangan biarkan wibawa membuatmu takut bertanya. Di mana pun ruang itu kelas, kantor, atau diskusi sederhana jadilah seseorang yang merdeka dalam pikiran. Bertanyalah, meskipun sulit. Menyanggahlah, jika diperlukan. Karena hanya dengan keberanian untuk berpikir, kita benar-benar belajar dan memahami.
Nalar adalah pelita, dan tugasmu adalah menjaganya tetap menyala. Karena tanpa itu, dunia akan tenggelam dalam kegelapan kepatuhan buta, di mana kebenaran menjadi bayang-bayang yang tak pernah benar-benar kita lihat.
ADVERTISEMENT