Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Simfoni yang Tak Pernah Usai
16 Januari 2025 22:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manusia adalah makhluk yang senantiasa bergerak, melintasi waktu dengan langkah-langkah yang tak pernah benar-benar kembali ke tempat semula. Ia lahir sebagai tabula rasa, lembaran kosong yang perlahan diisi oleh luka, tawa, rindu, dan pelajaran. Dalam dirinya, ada kehidupan yang berdenyut, melahirkan perubahan yang tak bisa dihentikan. Dan justru di situlah manusia menemukan dirinya: dalam proses menjadi, bukan dalam upaya untuk tetap.
Namun, perubahan sering kali diartikan sebagai sebuah ancaman. Kita terjebak dalam hasrat untuk mengikat seseorang pada versi yang paling kita kenal. “Mengapa kau tak seperti dulu?” adalah sebuah tanya yang kerap meluncur, mengandung kerinduan pada masa yang telah berlalu. Padahal, manusia tidak pernah benar-benar sama dari waktu ke waktu. Ia tumbuh, ia berkembang, ia meluruhkan kulit lamanya untuk menyambut yang baru.
Apa yang dulu dianggap penting, mungkin kini terasa tak lagi bermakna. Cita-cita yang pernah menjadi pusat dunianya, bisa jadi hanya menjadi jejak yang ditinggalkan di tengah jalan. Kita lupa, bahwa manusia tidak diciptakan untuk tetap. Ia adalah puisi yang terus-menerus ditulis ulang, dengan makna yang berubah seiring bertambahnya bait.
Mengenal manusia adalah seperti menatap lautan. Dari kejauhan, tampaknya kita dapat melihatnya secara utuh gelombang yang bergulung, warna biru yang membentang tanpa akhir. Namun, semakin dekat kita mendekat, semakin kita menyadari betapa tak terukur dalamnya. Ada arus yang tak terlihat, kehidupan yang tersembunyi di dasar, dan misteri yang tak mampu kita rangkai dengan sempurna.
Manusia tidak pernah selesai. Tidak peduli seberapa lama kita mengenal seseorang, akan selalu ada bagian dari dirinya yang baru tumbuh, yang baru muncul ke permukaan. Kadang, kita merasa cemas menghadapi sisi ini, seolah-olah perubahan adalah ancaman terhadap keintiman. Padahal, perubahan adalah napas dari hubungan itu sendiri. Tanpa tumbuh bersama, dua manusia hanya akan menjadi asing yang saling mengingat kenangan lama.
Setiap fase kehidupan membawa pola pikir baru. Apa yang dulu menjadi prioritas bisa bergeser, tergantikan oleh kebutuhan yang lebih mendalam. Seseorang yang dulu begitu peduli pada hal-hal kecil, mungkin kini lebih memilih untuk melepaskan. Seorang yang dulu gemar bermimpi besar, mungkin kini menemukan keindahan dalam kesederhanaan. Dan kita, jika ingin tetap berada di sisinya, harus belajar untuk menerima, bahkan mencintai perubahan itu.
Hubungan antar manusia, pada akhirnya, adalah tentang belajar. Bukan hanya tentang mengenal satu sama lain, tetapi juga memahami bahwa tidak ada satu pun yang dapat kita kuasai sepenuhnya. Kita belajar untuk menyesuaikan langkah, untuk saling memahami irama yang terus berubah, seperti penari yang bergerak mengikuti alunan musik yang tak pernah sama.
Maka, jangan takut pada perubahan. Jangan merasa kehilangan hanya karena seseorang tidak lagi seperti yang dulu. Sebab, manusia adalah makhluk yang terus bermetamorfosis. Ia adalah simfoni yang nada-nadanya terus berganti, namun tetap indah untuk didengar. Dan tugas kita bukanlah untuk memahami setiap nada, tetapi untuk menikmati keindahan alunan itu, hari demi hari.
Manusia adalah perjalanan, bukan tujuan. Sebuah kisah yang tak pernah usai, yang terus ditulis dengan tinta waktu. Dan di dalamnya, ada ruang bagi kita untuk tumbuh bersama, saling menerima, dan saling mencintai dalam ketidaksempurnaan. Itulah hakikat manusia sebuah harmoni yang tidak pernah selesai, tetapi selalu memikat hati.
ADVERTISEMENT