Konten dari Pengguna

Tindakan Bunuh Diri Hanya Merusak Tubuh dan Identitas

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
1 Juli 2023 6:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kamusdata.com
Apakah hidup ini layak untuk dijalani, atau tidak? Bolehkah membunuh diri, ketika semuanya menjadi tak layak dijalani? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam hidup setiap orang.
ADVERTISEMENT
Keadaan Manusia
Menurut data dari WHO, 2019, sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun, di dunia. WHO menyampaikan laporan yang menyebut bahwa tiap detik ada satu orang yang tewas bunuh diri di seluruh dunia.
Masalah bunuh diri adalah masalah khas manusia, sejauh penelitian ilmiah menunjukan bunuh diri adalah konsep-konsep milik manusia. Makhluk lain seperti binatang dan tumbuhan tidak memilikinya. Bunuh diri ini kasus unik, dan tidak ada yang akan benar-benar tahu apa yang jadi alasan utama di baliknya, bahkan para ahli sekalipun.
Bunuh diri pada umumnya adalah tindakan yang dilakukan atas dasar luapan emosi dan tanpa pikir panjang dengan keputusan yang hanya dibuat beberapa menit atau jam sebelumnya, meski mungkin juga akibat alasan yang mengendap lama tanpa pengetahuan orang lain. Ada banyak alasan logis mengapa seseorang mungkin ingin mengakhiri hidupnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pandangan Filsafat
Ketika keadaan hidup amat menyakitkan, dan seolah tak ada jalan keluar yang bisa diambil, kita dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah kita akan tetap hidup, dan pasrah pada keadaan, atau bunuh diri?
Dalam buku yang berjudul The Metaphysics of Morals, Kant menegaskan bahwa sesungguhnya bunuh diri adalah sebuah tindakan pelanggaran kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri dan karena itulah tindakan ini tidak pernah dapat dibenarkan. Kant memformulasikan categorical imperative ini dalam beberapa cara. Salah satunya menyebutkan bahwa tindakan kita haruslah didasarkan pada prinsip yang mana semua orang secara universal akan menghendaki tindakan itu pula dalam situasi yang kurang lebih sama. Dalam hal ini, tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan, karena tidak dapat diberlakukan sebagai sebuah prinsip umum yang berlaku untuk semua orang.
ADVERTISEMENT
Seorang filsuf Jerman yang mengulas mengenai bunuh diri adalah Arthur Schopenhauer. Filsuf yang lahir pada tahun 1788 itu tiba pada suatu jawaban bahwa ‘kehendak’ merupakan penyebab dari penderitaan manusia. Penderitaan itu yang lalu memicu orang untuk bunuh diri.
Dalam masa Yunani kuno, bunuh diri adalah hal yang tidak dibenarkan. Jika ada orang yang bunuh diri, maka jenazah orang itu tak akan dikubur layaknya orang normal. Yang terjadi, jenazahnya akan disingkirkan ke pinggiran kota. Dikubur tanpa adanya batu nisan. Salah satu filsuf yaitu phytaghoras begitu percaya bahwa jiwa orang yang meninggal akan berpindah ke tubuh lainnya. Dia melihat hidup seorang manusia sebagai sesuatu yang sakral. Saking sakralnya, manusia tidak boleh merenggut kehidupannya secara paksa dengan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Plato juga berbicara soal bunuh diri, dalam ‘Laws’ berkata. Dia menyebut orang yang bunuh diri sebagai hasil dari roh pengecut yang pemalas dan hina. Alasannya sederhana, karena dengan bunuh diri, manusia telah melarikan diri dari kehidupan yang sudah diberikan oleh para dewa.
Walapun filsuf banyak yang tak sepakat dengan bunuh diri, berbeda dengan kaum sofis yang beranggapan bunuh diri adalah hal yang lumrah. Seorang dari kaum sofis yaitu Epicurus. Dia memandang bahwa bunuh diri sebagai hal yang lumrah dilakukan saat orang menderita. Dia merujuk pada kehendak bebas yang dimiliki setiap orang. Sejauh kehendak bebas itu ada, orang bebas menentukan kehidupannya sendiri.
Pandangan argumentasi Epicurus itu lalu dibantah oleh Aristoteles. Itu karena, betapa pun kehendak bebas itu ada, bukan berarti seseorang berhak menghabisi hidupnya. Dalam ‘Nichomachean Ethic’, Aristoteles menjabarkan bahwa bunuh diri menyangkut urusan keadilan. Sesuatu yang lebih agung daripada kebebasan itu sendiri. Bagi Aristoteles, orang-orang yang melakukan bunuh diri telah menciptakan ketidakadilan. Ketidakadilan itu tercipta lantaran masyarakat di Yunani percaya bahwa bunuh diri adalah hal yang keliru, dan kepercayaan atas itu telah dijadikan sumber hukum di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, tidak ada satupun jawaban pasti atas pertanyaan ini. Begitu banyak yang berbeda sudut pandang. Masing-masing punya sudut pandang serta pendasarannya. Agama pun juga ikut campur menyumbangkan sudut pandang.
Lalu?
Bunuh diri adalah gerakan kesadaran menuju kematian. Sejatinya, setiap orang pasti akan mati. Hanya saja yang membedakan adalah waktu dan tempat. Kita semua berjalan ke arah yang sama, yakni ke liang kubur, atau laut biru yang luas.
Itu semua bukan jadi masalah, asalkan kita paham, siapa diri kita sebenarnya. Inilah tujuan utama dari semua ajaran filosofis. Kita hanya perlu berkaca melihat ke dalam diri kita, guna menemukan kebenaran yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan, kebebasan dan welas asih yang sesungguhnya. Ini juga berarti menjalani hidup sesuai dengan fungsinya.
ADVERTISEMENT
Tubuh datang dan pergi. Namun, inti diri tetap abadi. Tindak bunuh diri hanya merusak tubuh dan identitas sosial. Ia juga menciptakan luka bagi keluarga, maupun lingkungan tempat kita hidup. Segala perdebatan tentang bunuh diri menjadi percuma, ketika kita memahami, siapa diri kita sebenarnya.