Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Babak Akhir Turbulensi KPK
20 Mei 2021 22:46 WIB
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JELANG TAMAT! Drama keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tanah air memasuki tahapan hampir final. Di penghujung nasib, antara tetap ada dan kemungkinan tiada.
ADVERTISEMENT
Kisruh seleksi pegawai dengan perubahan status menjadi aparatur sipil negara, melewati proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) merupakan rangkaian tidak terpisahkan dari upaya pelemahan KPK.
Upaya serius mengatasi problematika korupsi merupakan amanat penting agenda reformasi, dengan tajuk utama: (i) regulasi pembatasan umur kekuasaan, (ii) memberantas kolusi, korupsi, nepotisme -KKN.
Reformasi memunculkan pemerintahan baru, tetapi tidak mengubah wataknya. Karakter kekuasaan tetap seperti semula: tamak dan berorientasi pada kepentingannya semata.
Karena itu, agenda mengatasi korupsi lambat-laun tampak menjadi duri dalam daging bagi kekuasaan. Proses politik di jalur yang koruptif, menghasilkan kekuasaan berkarakter sama seperti sebelumnya.
Politik dengan pemilihan langsung di tanah air membutuhkan sumberdaya finansial, dan pemenuhan kebutuhan itu jamak didapat melalui praktik jual-beli kuasa serta transaksi gelap otoritas. Lingkaran setan yang tak putus.
ADVERTISEMENT
Tidak terbilang petinggi negeri, mulai dari kepala daerah hingga pejabat setingkat menteri silih berganti menjadi pesakitan KPK, tapi korupsi tidak juga surut. Bahkan upaya mengempiskan fungsi KPK terus berlangsung.
Pertaruhan
Korupsi adalah kata sederhana yang menghimpun berbagai kerumitan, didalamnya ada unsur pertukaran pengaruh, pengambilan keuntungan, menggunakan cara-cara culas dan manipulatif.
Dalam termasuk Korupsi terjadi barter antara keuntungan individu dengan beban penderitaan publik. Kenapa begitu? (i) kualitas pembangunan merosot, (ii) kerugian negara ditanggung publik.
Penerima beban terbesar dari kasus korupsi adalah publik yang berposisi sebagai korban. Sebab itulah, maka perang melawan korupsi merupakan bagian dari hajat publik.
Nilai pertaruhannya tentang masa depan generasi dan kehidupan negeri kemudian hari. Problemnya publik terbelah akibat politik kekuasaan, terjadi kekosongan kolektif oposisi yang korektif.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, KPK menjadi target dan sasaran dari para pihak yang menggambarkannya sebagai ganjalan. Walhasil, sekitar 75 pegawai terpental. Mereka tidak lolos seleksi, dengan indikator yang masih buram, butuh transparansi.
Lebih jauh lagi, hal ini merupakan konsekuensi dari episode panjang upaya berbagai kepentingan guna mereduksi fungsi dan tugas KPK. Berkali-kali, hingga pengesahan revisi UU KPK.
Wacana
Substansi dalam perubahan UU KPK berbicara mengenai aspek pembatasan kewenangan kerja serta ruang pengawasan, dengan alasan agar tidak terbentuk lembaga yang superbody, cerita lama yang terus diputar ulang.
Mengacu pada hasil rilis Indeks Persepsi Korupsi Transparency International Indonesia-TII 2020, terjadi penurunan skor dan peringkat secara bersamaan. Indonesia menduduki posisi ke 102 dari 180 negara, sebelumnya peringkat 85, dengan nilai 37 terjadi penurunan 3 poin.
ADVERTISEMENT
Sebuah situasi yang tidak menguntungkan, karena kita menjadi setara dengan Gambia, bahkan lebih rendah peringkatnya dari Timor Leste skor 40.
Sorotan tajam ditujukan pada soal penegakan hukum dan pelayanan birokrasi serta nilai integritas politik yang bersanding dengan kualitas demokrasi. Hasil temuan tersebut memberikan gambaran tentang penyakit kronis korupsi.
Keberadaan KPK secara signifikan menjadi dibutuhkan untuk memastikan perilaku korupsi tidak berbiak. Disini proksi perang kepentingan termuat dalam pertarungan narasi yang terbaca pada berbagai media, baik mainstream maupun media sosial.
Tercatat berbagai narasi yang perlu dirunut: (i) wacana tentang kelompok Taliban di KPK, (ii) KPK bukanlah Novel Baswedan, dan Novel Baswedan bukan representasi KPK, (iii) pegawai yang tidak lulus TWK memang tidak memenuhi kualifikasi, (iv) pegawai yang non aktif perlu belajar dari anak petinggi negeri yang gagal tes CPNS.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya mendistorsi informasi tersebut, menciptakan ruang bias bagi persepsi dan opini publik. Hal ini juga dilengkapi dengan kejadian serangan digital dan peretasan siber saat ICW konferensi pers menyikapi pemberhentian 75 pegawai KPK. Paket komplit.
Pernyataan berganda pemimpin negeri, tentang tidak serta mertanya TWK menjadi penentu status para pegawai KPK menyiratkan citra yang ambigu, ada jarak berbeda antara ucapan dan tindakan.
Pada kenyataannya, berkali-kali permintaan pembatalan revisi UU KPK diutarakan, bahkan dengan aksi unjuk rasa besar di penghujung 2019, disertai desakan para tokoh publik untuk mengeluarkan Perppu sekalipun tidak digubris, hingga akhirnya revisi UU KPK disahkan.
Benang kusut masalah KPK semoga tidak menjadi simpul mati. Publik masih berharap masa depan negeri yang terbebas dari korupsi. Butuh komitmen politik yang utuh dan kuat. Kita lagi-lagi dihadapkan pada ujian integritas para pemimpin negeri.
ADVERTISEMENT