Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Banalitas Komunal di Media Sosial
21 Januari 2021 8:49 WIB
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dangkal. Ekspresi komunikasi di media sosial mengalami pendangkalan. Pangkal penyebabnya adalah keterbatasan ruang penyampaian. Tidak dipungkiri, pola komunikasi digital telah menjadi arus utama menggeser model komunikasi fisik secara tradisional.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, ungkapan sebuah pernyataan menjadi terbatas dan dibatasi. Tidak hanya karena limit jumlah karakter seperti di Twitter, tetapi juga karena pola adaptasi digital dalam perilaku kehidupan modern mengakibatkan keterburu-buruan untuk sampai pada kesimpulan.
Hal tersebut menjelaskan perangai literasi informasi digital kita, yang terbiasa membaca artikel pendek dibandingkan format buku beratus halaman. Termasuk seperti saat Anda yang tengah membaca rubrik opini ini dengan gaya penulisan deskriptif. Kecepatan menciptakan kekosongan makna secara bersamaan.
Dalam algoritma kerja media sosial, pengguna -user didorong untuk mencari informasi yang spesifik dengan model sortir dan pemindaian cepat -scanning. Hal itu membuat pemahaman atas suatu substansi tidak lagi utuh, melainkan terputus dan sepotong.
Banal dalam konsep definisi, sesuai KBBI menerangkan tentang dangkal, kasar (tidak elok) dan biasa. Melalui ketiga kriteria tersebut, kita memahami bahwa perilaku kita bermedia sosial telah mencapai tahap banalitas kompleks.
ADVERTISEMENT
Caci maki dan sumpah serapah di media sosial adalah realitas kita saat ini. Kita kehilangan makna secara menyeluruh, dangkal. Lebih jauh lagi kita juga semakin permisif untuk berlaku kasar dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Nilai dasar universal atas etika dan moralitas melenyap.
Hannah Arendt menyebutkan analisisnya atas fenomena Perang Dunia Kedua di era dunia modern sebagai ruang kejahatan moral, dan menemukan gejala banalitas kejahatan -banality of evil, bahwa kehidupan yang berada dalam nuansa kejahatan tersebut dirasakan menjadi sesuatu yang tampak biasa, hal umum dalam keseharian.
Kreasi Bersama
Konstruksi media sosial mencengkeram erat perilaku hidup kita. Melalui platform digital, kita menelusuri jejaring ruang kehidupan di jagad maya. Seluruh pemangku kepentingan dalam keterhubungannya online tersebut, memiliki peran setara atas penciptaan banalitas di media sosial.
ADVERTISEMENT
Para pemegang kekuasaan bertindak sebagaimana demagog yang memainkan peran menghasut alih-alih mencerahkan.
Setidaknya, kajian Christian Fuchs dalam Digital Demagog: Authoritarian Capitalism in The Age of Trump and Twitter, 2018, menggambarkan sebagaimana pemimpin layaknya Trump memanfaatkan panggung media sosial untuk kepentingan berkuasa, dengan memainkan api sentimen sekaligus menguatkan polarisasi politik publik.
Tidak berhenti di situ, korporasi digital melalui kajian Oxford Internet Institute -OII, Universitas Oxford, mengilustrasikan bila terdapat peran yang tidak sedikit dari perusahaan platform digital dalam menciptakan ruang manipulasi serta bias informasi.
Kondisi ini menguat melalui mekanisme algoritma seleksi informasi sejenis -filter buble, dengan begitu terbentuk kelompok homophily yang membentuk formasi perangkap subjektif berdasarkan persamaan dalam ruang gema -echo chamber.
ADVERTISEMENT
Temuan OII menguatkan kesimpulan bila media sosial tidak ubahnya menjadi gelanggang propaganda digital, atau dalam istilah penelitian itu disebut sebagai computational propaganda, seperti tertuang dalam laporan Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation.
Kepalsuan dan kebohongan telah menjadi bisnis yang dijalankan oleh organisasi terstruktur, dimainkan oleh kepentingan kelompok secara sempit dengan menggunakan jejaring media sosial, sehingga menyebabkan keterbelahan publik. Hal ini jelas menjadi sinyal ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Mode Prosumer
Publik juga berperan dalam meningkatkan literasi informasi. Tidak hanya menjadi pelahap judul berita, tetapi sekaligus mampu mengerti dan memahami makna informasi, serta menimbang secara bijak dalam batas etik dan moral sebuah informasi.
Keberlimpahan informasi di era digital membutuhkan kemampuan untuk memilih dan memilah hal-hal baik. Arus informasi dominan yang hegemonik seolah merupakan pilihan yang tidak bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Padahal terdapat peluang secara aktif untuk ikut bertindak tidak hanya menjadi konsumen semata sekaligus sebagai produsen -prosumer. Tentu saja dibutuhkan kriteria yang cukup dalam membangkitkan peran aktif sikap prosumer yakni berfungsinya kemampuan nalar rasional sebagai lawan dari banal.
Upaya untuk menghidupkan sikap dan kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari prasyarat agar mampu keluar dari kepungan banalitas yang telah terbentuk di media sosial. Membangun narasi terpisah dari tendensi dominan yang manipulatif.
Modernitas dengan seluruh perangkat teknologinya,telah menjauhkan manusia dari realitas sesungguhnya. Melalui kajian Herbert Marcuse, sejalan dengan pembentukan era modern, manusia kehilangan kemampuan bernegasi, ruh oposisi lenyap menjadi manusia mekanistik berdimensi tunggal.
Penolakan kolosal -great refusal seperti yang Marcuse sebut, dalam tafsir kekinian bukan berarti kembali kepada kehidupan primitif sebelum era teknologi, melainkan membangun serta menyusun ulang nilai-nilai dan institusi sosial yang mengadopsi akar kemanusiaan lebih dari sekedar capaian teknis.
ADVERTISEMENT
Banalitas yang dangkal, kasar, dan nampak biasa di media sosial itu harus berubah menjadi kualitas yang baru secara rasional dengan penuh kesadaran kritis akan nilai akal budi. Pertanyaan mendasarnya, maukah kita menuju ke sana?