BPJS Ku Malang, BPJS Ku Sayang

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
4 Juni 2020 17:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Benci tapi rindu. Kira-kira begitu relasi yang tercipta dari implementasi program jaminan kesehatan nasional, BPJS Kesehatan. Ada peran etis kekuasaan, dalam jaminan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah program nasional, BPJS Kesehatan merupakan ilustrasi ideal dari penjaminan hajat publik, dalam memberi ruang terbuka, bagi akses kesehatan publik.
Namun problem defisit masih menghantui masa depan dari keberlangsungan program tersebut. Angka kepesertaan yang semakin bertambah, dalam skala cakupan nasional, berjalan seiring dengan membengkaknya defisit program.
Apa yang menjadi masalah utamanya? Bagaimana membingkai kebijakan atas program tersebut, agar menjadi sebuah kerja yang bermanfaat bagi seluruh warga bangsa?
Perlu dipahami, tidak ada program nasional yang dapat berukuran gigantik seperti BPJS Kesehatan. Jumlah pesertanya meliputi seluruh penduduk, bersifat wajib tanpa kecuali.
Dengan keterangan tersebut, maka sejatinya program BPJS Kesehatan menjadi mercusuar kerja pemerintahan. Dampak sosial, ekonomi dan politik dalam relasi kepentingan publik, melalui pelaksanaan BPJS Kesehatan amat signifikan.
ADVERTISEMENT
Makna Dibalik Angka
Menyimak pemaparan dalam diskusi interaktif BKF Kementerian Keuangan, dengan tajuk, JKN Berkeadilan & Berkesinambungan, 29/5, maka bertaburan angka untuk menjelaskan aspek kuantitatif atas teknis pembiayaan program.
Dalam aspek filosofis, Phytagoras berbicara tentang universal matesis, bahwa yang tidak terukur dalam angka, adalah tidak nyata. Dengan begitu, angka merepresentasi keberadaan.
Kuantifikasi tentang yang ada, dan terutama tentang manusia, menjadi simulasi dari angka yang dikalkulasi. Padahal, kebijakan harus mampu merangkum utuh sasaran kebijakan, termasuk pada aspek psikologi manusia.
Nilai dan angka menjadi bermakna melalui interpretasi dan persuasi, dan untuk hal itu, angka-angka berubah menjadi mantra sekaligus berhala untuk memenangkan kepentingan. Angka lalu ditafsir berdasarkan kehendak kekuasaan.
Defisit, dimaknai sebagai kegagalan merencanakan angka, berakhir pada kegagalan program. Bukankah semestinya, kebijakan mengutamakan tujuannya pada hal yang abstrak, dan dimaknai sebagai kesejahteraan?
ADVERTISEMENT
Konsep kesejahteraan, merentang dalam kajian tentang kemakmuran, kebahagiaan, kesehatan, hingga keselamatan, diterjemahkan dalam berbagai uraian konsep abstrak lainnya. Dengan begitu, upaya kalkulasi nominal tidak akan pernah cukup melimitasi hal-hal abstrak tersebut.
Lantas bagaimana kita mampu menciptakan suatu garis batas, dalam ukuran nilai dan angka sebagai pengunci teknis dari abstraksi yang luas tersebut? Disitulah peran kekuasaan, untuk memastikan kapasitas yang mencukupi, dalam pemenuhan kepentingan publik.
Tarikan Politik Ekonomi
Persoalan kesejahteraan, termasuk didalamnya kesehatan, sebagaimana program BPJS Kesehatan, berada dalam wilayah pertautan ekonomi politik, guna mewujudkan mimpi kehidupan bersama sebagai sebuah negara.
Hal itu, tercermin melalui webinar berjudul, Ekonomi Politik Jaminan Kesehatan dan Kinerja BPJS, LP3ES, 29/5 yang mencermati kompleksitas permasalahan, yang dihadapi dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Semua pihak bersepakat, tentang pentingnya keberadaan BPJS Kesehatan sebagai bentuk terjemahan kepentingan publik, terkait jaminan untuk mendapat pelayanan kesehatan sebagai hal yang esensial, sehingga perlu dilakukan upaya koreksi agar mampu berkelanjutan.
Berdasarkan temuan LP3ES dengan menggunakan analisis big data di sosial media, sepanjang Mei 2020, persoalan BPJS Kesehatan menjadi isu kritis yang menjadi perhatian publik, dalam tendensi kebisingan negatif lebih besar.
Keriuhan di sosial media terkait kenaikan premi BPJS Kesehatan, diisi oleh sentimen distrust, dengan tone negatif sebesar 48 persen, sedang 46 persen bernada positif. Dalam konteks gerakan sipil, keterlibatan publik mengawasi masalah publik adalah modalitas baik.
Jaminan kesehatan akan sangat terkait dengan kapasitas -aspek ekonomi dan komitmen kekuasaan -aspek politik. Juga menyoal hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan, serta menjadi kewajiban kekuasaan guna melindungi warga negara.
ADVERTISEMENT
Dalam hal itu, ada soal struktural dan kultural. Terdapat masalah struktural, dalam kebutuhan pengembangan kelembagaan profesional. Sekaligus membutuhkan perbaikan kultural, untuk menjadikan sektor kesehatan sebagai titik sentral kebiasaan publik, dalam memandang urgensi sektor kesehatan.
Di bagian akhir, lagi-lagi soal kesejahteraan melampaui aspek teknis, mencapai aspek etis yang mendasarkan diri pada prinsip etika. Secara filosofis, negara dibentuk untuk menjawab persoalan publik -res publica, dan pemerintahan diberi legitimasi untuk mengelola hal tersebut.
Oleh karenanya kemauan dalam komitmen politik, adalah jawaban terbesar, lebih dari sekedar angka-angka. Simulasi dan kalkulasi angka, bisa tetap berpotensi menghadirkan defisit. Tetapi tanggung jawab etis melalui komitmen politik, akan mampu menambal celah defisit.
Ketika rindu dan benci menyatu, maka pembuktian diwujudkan dengan komitmen utuh lebih dari sekedar janji.
ADVERTISEMENT