Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Catatan Komunikasi 2020, dari Kontestasi ke Pandemi
10 Desember 2020 15:48 WIB
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
TUTUP TAHUN. Penghujung akhir 2020 telah menjelang. Banyak hal yang perlu mendapatkan perhatian di tahun yang terbilang berat kali ini. Perlintasan 2020 seharusnya menjadi momentum pemulihan pasca sengitnya Pilpres 2019, momentum itu terkurung pandemi yang semakin menyulitkan.
ADVERTISEMENT
Problem utamanya, hingga saat ini penanganan pandemi belum menunjukkan dampak yang berarti. Laju kenaikan kasus, akumulasi total kejadian dan kurva penularan wabah masih terus menjulang. Setelah hampir 9 bulan terjepit pandemi, publik mulai kelelahan. Protokol kesehatan mulai tidak disiplin dilaksanakan.
Seperti lingkaran setan, angka yang belum kunjung membaik ditambah tekanan psikologis publik, serta lemahnya penegakan regulasi membuat angka-angka statistik dari pandemi masih terus tinggi. Situasi ini jelas tidak menguntungkan, meski kita bisa saja berdalih bila hampir semua negara di dunia bernasib serupa.
Lantas apa yang hendak kita lihat dalam perspektif komunikasi melihat tahun yang serba sulit ini? Justru dari kekelaman kita mampu melihat titik terang. Habis gelap terbitlah terang, sebut Kartini. Bila meminjam istilah psikiater Viktor Frankl, kita akan mampu memberi makna penting dari kesuraman yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi kegelapan, maka mekanisme kerja mata kita akan lamat-lamat beradaptasi dengan minimnya cahaya, sekaligus mulai mampu melihat secara sensitif bayang-bayang terang. Aspek komunikasi mengurai apa saja yang telah dilalui, dan bagaimana kita sepatutnya melewati gelombang badai perubahan kali ini.
Basis Polarisasi
Keberlanjutan. Awal 2020 adalah fase yang dituai pasca Pilpres 2019. Polarisasi politik, yang lekat dengan perbedaan pilihan pada periode kontestasi tidak juga berhenti. Berlangsung sengit alih-alih kompetitif dalam mengajukan strategi solusi bagi persoalan kebangsaan, demokrasi menjadi artifisial tidak menyentuh substansi.
Hasil dari Pilpres 2019 justru menguatkan sentimen identitas kelompok. Proses konsolidasi elite, selesai melalu kompromi jatah kursi. Oposisi bersalin rupa menjadi koalisi, dimaknai sebagai momentum rekonsiliasi. Tetapi itu pada tingkat atas, bara sosial terpendam dalam relasi dan interaksi sosial yang telah terbelah serta berkubu.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian komunikasi dikenal sifat irreversible, yakni sebuah pesan tidak dapat ditarik kembali seperti semula. Formulasi bentuk komunikasi dalam penyampaian makna akan menjadi konsumsi publik, dan hal terus menerus dapat melekat dalam memori khalayak. Dengan begitu proses komunikasi harus direncanakan dengan kalkulasi dampak yang mungkin akan dihasilkan.
Lagi-lagi, periode kontestasi berbicara tentang kemampuan untuk memperoleh dukungan dan sebanyak mungkin suara sebagai bentuk legitimasi bagi kekuasaan sebagai tujuan akhir. Karena itu pula, pendekatan pola komunikasi yang berorientasi hasil menciptakan praktik politik ala Machiavellian membuka ruang distorsi.
Mudah dipahami bila hoaks dan hate speech menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun kerumunan. Potensi konflik mengemuka, masing-masing kelompok meyakini kebenaran versinya, saling menegasi, menjalankan aksi reaksi. Publik menjadi terpecah seperti yang disebut filsuf Martin Buber sebagai I-It, layaknya aku dan kamu sebagaimana benda, dalam konteks yang terbatas, terpisah dan berbeda.
ADVERTISEMENT
Kerusakan modal sosial inilah yang menjadi basis di 2020, yang teramat sulit untuk kembali direkatkan. Meski para petinggi negeri mengisyaratkan integrasi di dalam kekuasaan, pada kenyataannya publik justru melihat inkonsistensi para aktor politik. Di atas pondasi modal sosial yang tidak utuh, pandemi semakin terasa membelit.
Jerat Pandemi
Melengkapi. Pandemi hadir tanpa persiapan medio Maret 2020, merupakan kombinasi yang kompleks dari keterbelahan, polarisasi dan ketidakpercayaan publik. Pemangku kekuasaan gagal dalam membangun komunikasi untuk menciptakan public mutual trust, juga disebabkan oleh penyangkalan pada ilmu pengetahuan.
Keterlambatan dalam melakukan tindakan antisipatif guna merespons serta menangkal krisis yang terjadi sebagai konsekuensi dari pandemi, memperlihatkan bagaimana petinggi negeri gagap untuk beradaptasi pada situasi dinamis. Disrupsi terjadi, dan negara sebagai entitas kekuasaan dipaksa untuk berubah oleh keadaan. Banyak blunder justru terjadi.
ADVERTISEMENT
Pandemi, sebagaimana filsuf Slavoj Zizek menyebut telah membuka opsi secara lebar untuk membentuk tatanan kehidupan baru, yang menaungi kepentingan sosial secara lebih luas. Profesor linguistik Noam Chomsky menyebut keburukan sistem ekonomi kapitalistik yang serakah, mengakibatkan tidak terbentuknya kolaborasi dan solidaritas internasional dalam mengatasi pandemi secara bersama.
Retorika kosong dari arus komunikasi para aktor politik yang minim akan mengadopsi kepentingan publik justru mengemuka. Korupsi semakin menjadi, bahkan tidak berhenti disaat pandemi dan resesi ekonomi. Dua punggawa tertinggi negeri ini justru diringkus akibat perilaku lancung tidak terpuji.
Belum lagi pilihan untuk mengesahkan berbagai produk peraturan yang jauh dari persoalan substansi publik hari-hari ini, termasuk keputusan untuk tetap terus melanjutkan kontestasi Pilkada Serentak 2020, meski kurva penularan wabah masih belum mereda. kepentingan publik seolah dikangkangi, dan semakin jauh dari harapan.
ADVERTISEMENT
Titik akhir penting dalam menutup 2020, yang perlu dijadikan pijakan pada 2021 bukan sekadar keberadaan vaksin yang disebut-sebut sebagai game changer, tetapi terletak pada kesejatian konsep retorika klasik yang meliputi dimensi (i) ethos sebagai bentuk kredibilitas para aktor komunikasi, (ii) pathos yang menjadi konsep persuasi melalui persetujuan dengan menyentuh aspek emosi, hingga (iii) logos sebagai dasar rasional yang masuk akal berdasarkan nalar, menggunakan ilmu pengetahuan.
Harapan bersama, 2021 akan menjadi tahun penuh optimisme, pemulihan dan kebangkitan, tentu saja jika dan hanya jika ada kemampuan untuk mengubah gerik laku komunikasi para aktor politik, yang tentu saja harus selaras dengan kepentingan khalayak. Semoga saja!