Facebook si Raksasa Digital dan Para Pengiklannya

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
7 Juli 2020 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Facebook Foto: Reuters/Valentin Flauraud
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Facebook Foto: Reuters/Valentin Flauraud
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Boikot. Tagar #stophateforprofit mengemuka. Hal tersebut terkait dengan platform social media Facebook, yang tidak secara rigid melakukan tindakan dalam kebijakan internalnya untuk mencegah persebaran informasi yang keliru. Situasi ini menciptakan arus besar gelombang ketidakpercayaan bagi para pengiklannya.
ADVERTISEMENT
Bahkan berbagai perusahaan berskala multinasional ikut melakukan boikot beriklan di aplikasi digital tersebut. Bukan kali ini saja Facebook memiliki masalah sejenis. Beberapa waktu silam, skandal Cambridge Analytica dengan menggunakan basis data user Facebook yang berpusat di Amerika, mengembangkan algoritma bagi kepentingan kampanye politik, saat kontestasi pemilu berlangsung.
Skandal tersebut dituding membantu kemenangan Trump dalam meraih kursi Presiden. Bahkan kini, jelang pemilu 2020 di Amerika, di mana Trump kembali lagi mencalonkan diri, strategi dalam melakukan persuasi dengan berkampanye menggunakan tools: big data, artificial intelligence dan algoritma teknologi di media sosial kembali menjadi hal dominan. Publik telah terkoneksi secara digital.
Kini kita tentu harus berhitung, sebab Facebook bukanlah sebagaimana sebuah perusahaan rintisan di tahun 2004, ketika Mark Zuckerberg membuat model simulasi digital untuk saling berkabar antarmahasiswa di kampus Harvard.
ADVERTISEMENT
Facebook kini telah menjelma menjadi korporasi digital, dengan kelas raksasa. Perkembangan Facebook, juga terkait dengan berbagai aplikasi lain dalam jaringannya, seperti: whatsapp, Instagram, hingga perusahaan virtual reality oculus. Belum lagi menyebut mata uang digital libra.
Dengan begitu, ekosistem digital semakin bergantung pada platform Facebook, dan model ketergantungan tersebut menjadi sedemikian dalam. Interaksi dari miliaran pengguna, dengan berbagai kepentingan yang saling tumpang tindih, memberikan posisi kekuasaan dan poros pengawasan kepada institusi Facebook itu sendiri.
Sehingga, Facebook menjadi pusat pengaturan yang tidak terbatas. Terjadi ketidakseimbangan relasi, antara user dan platform. Hubungan secara asimetrik ini, terbentuk tentu dikarenakan begitu dominannya Facebook, dalam kehidupan sosial sebagai sebuah jejaring digital.
Tanpa Pesaing
Kehadiran Facebook, sebagai kategori new media dengan sifatnya yang interaktif, dan digital connected, membuat platform ini menjadi pembunuh media konvensional. Hal itu terlihat dari shifting model media yang awalnya berbasis cetak dan elektronik, terkonversi untuk masuk ke model digital.
ADVERTISEMENT
Konsep mediamorfosis yang diperkenalkan Roger Fidler menjadi bentuk baku dari konsep konvergensi media. Tidak bisa dihindari, ruang digital membuat kita mengadopsi dan beradaptasi dengan berbagai cara-cara baru. Transformasi digital adalah bentuk kenyataan serta keharusan.
Sebagaimana rumusan Marshall McLuhan tentang determinisme teknologi, bahwa kemajuan teknis perangkat teknologi pada akhirnya menjadi faktor penting serta penentu, dalam mengubah sekaligus mendorong format produksi, distribusi dan konsumsi media.
Facebook kini tidak hanya menjadi saluran komunikasi semata layaknya fungsi medium, tetapi telah berubah menjadi sumber berita itu sendiri, termasuk dalam melakukan seleksi berita dan persebaran berita yang ada dalam kuasa pengawasannya.
Dengan asumsi pendapatan Facebook di 2019 sekitar 21.08 miliar dolar, serta memiliki 2.5 miliar pengguna aktif bulanan, bahkan di antaranya 1.66 miliar pengguna aktif harian, Facebook adalah segalanya yang tidak tertandingi. Hal ini tentu mencemaskan.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi hukum alam tersebut, situasi yang seolah tanpa pesaing, membuat Facebook menjadi penentu dari aturan internal yang akan dipergunakan. Facebook tampil sebagai alur bagi pengelompokan kepentingan, sekaligus menjadi arena bagi pertarungan kebenaran yang dihitung berdasarkan pengikut dan jumlah pertemanan -followers.
Etik & Ekonomi Politik Digital
Sesungguhnya Facebook adalah bentuk media kekinian, yang update sesuai dengan gerak zamannya. Prinsip yang tidak berubah adalah kerja ekonomi politik sebuah media, termasuk di dalamnya Facebook. Pengabaian Facebook, untuk tidak memberi respons pada penghentian distribusi berita yang dianggap menyesatkan, tentu mudah dipahami dalam kerangka ekonomi politik.
Menurut Vincent Moscow, konsep ekonomi politik media akan sangat terkait dengan kemampuan untuk melakukan (i) komodifikasi dalam kerangka komoditi yang terkomersialisasi, lantas (ii) spasialisasi terkait dengan penguatan basis fundamental ekonomi melalui konglomerasi, dan terakhir (iii) strukturasi di mana media menjadi agen kepentingan dari stuktur ekonomi, sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, upaya Facebook untuk diam dan membiarkan terjadinya proses amplifikasi dari kuatnya sebaran berita palsu dan bohong, tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonominya untuk mempertahankan volume akses bagi para penggunanya sebagai proses komodifikasi. Merujuk kasus di negara Paman Sam, Facebook yang raksasa itu, juga bermain aman dalam lindungan kekuasaan politik.
Cengkraman ekonomi politik ini, tentu bersifat pragmatis secara struktural, tumbuh dalam bentuk teknis operasional di tubuh korporasi Facebook. Aspek etik dan estetik kehilangan makna, ketika kekuatan pragmatis berkuasa. Segala sesuatu yang bertabrakan dengan kepentingan akumulasi, akan dinilai tidak berguna, dan dapat disingkirkan dari daftar prioritas tindakan.
Kali ini, para pengiklan di Facebook memainkan peran untuk menjadi penyeimbang relasi. Boikot yang dilakukan tentu sedikit banyak akan memiliki dampak. Sementara itu, hal terpenting lainnya adalah keharusan untuk membangun kemampuan literasi informasi dan media publik, dalam mempergunakan media social sebagai sarana membangun rasionalitas yang mencerahkan.
ADVERTISEMENT
Di jagat digital, semua pihak memiliki kepentingan, dan kepentingan yang lebih luas seharusnya berpegang pada konsep dasar nilai etik kemanusiaan yang mengutamakan nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam menyoal kepentingan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Di situasi inilah timbangan etik bagi Facebook seharusnya bekerja.