news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kebuntuan Konspirasi dan Hiperealitas Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
2 Mei 2020 6:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Bisa jadi. Kita makin kaya informasi, tapi miskin makna. Situasi pandemi yang tercipta, dinilai sebagai hiperealitas. Realitas yang ada, tidak sesuai dengan realitas yang dikehendaki. Realitas baru di konstruksi sesuai selera. Pembedanya kesadaran rasional.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini beredar diskusi tentang teori konspirasi, menjadi pembicaraan hangat. Pandemi serupa misteri, pada akhirnya menghadirkan berbagai argumen sebagai percobaan jawaban.
Tidak hanya itu, sebagian diantaranya bertindak lebih jauh, mempercayai klaim bahwa Covid-19 tidak lebih dari hasil rekayasa media yang melakukan peliputan secara hiperbolik, menciptakan ketakutan.
Efek dramatisme dan framing sengaja dibuat, dengan tujuan menebar kengerian, termasuk soal menyangkal kematian akibat Covid-19, sebagaimana yang ditampilkan selama ini. Kalkulasi bisnis dan mengejar rating penyebabnya?
Siapa sekarang yang bisa dipercaya? Benarkah konstruksi media sebagai konspirasi global? Sejatinya, pilihan untuk percaya itu tergantung anda. Satu hal yang tidak bisa ditolak, adalah keberadaan wabah yang memporak-porandakan seluruh sendi kehidupan, pada tingkat dunia.
Urgensi Menebak Motif
ADVERTISEMENT
Ketakutan akan penularan wabah, menciptakan ruang stigma, membentuk sentimen serta tuduhan. China menjadi sasaran utama. Sebagian penganut teori konspirasi, menyebut Laboratorium Virologi Wuhan berkontribusi atas terciptanya Covid-19.
Bahkan, bagi Amerika yang saat ini menjadi seteru perang dagang negeri tirai bambu, tidak luput menyebutnya sebagai virus China. Bahkan menghentikan pendanaan WHO, karena dianggap lebih berpihak pada ketertutupan informasi China.
Tidak hanya itu, sebagian negara mulai mengambil ancang-ancang, untuk menggugat China dengan tuntutan kompensasi. Bila itu terjadi, kita akan melihat bagaimana mekanisme pengadilan dilangsungkan, dalam pertarungan kepentingan setiap negara.
Sebelumnya, ketika Amerika masih memandang sebelah mata virus ini. Semua pandangan tertuju pada Paman Sam, dicurigai sebagai dalang konspirasi, terlebih karena China dan Iran menjadi wilayah terdampak wabah secara telak.
ADVERTISEMENT
Arah angin konspirasi berubah, ketika Amerika menjadi episentrum baru daerah penularan wabah. Kepercayaan diri yang tinggi itu, sebut saja egoisme ala Paman Sam lantas runtuh dan mencari ruang pembenaran, sembari menunjuk hidung pihak lain.
Membangun teori konspirasi, untuk mencari jejak dari mana asal muasal virus, jelas membutuhkan tenaga yang sangat besar. Problemnya, kita sibuk mencari cerita awal, tetapi tidak mencoba untuk mengakhirkan virus. Dalam diam virus-virus itu bekerja tanpa henti.
Seluruh sumber daya dan konsentrasi, sepatutnya ditempatkan pada upaya menyelamatkan nyawa, dibanding sekedar menebak motif. Teori konspirasi menjadi menarik dalam format cocokologi. Menebak motif, bukan prioritas dalam mengatasi wabah.
Premis utama dari teori konspirasi, adalah tidak ada yang bersifat kebetulan di dunia ini. Selalu ada rekayasa, manipulasi, dan kepentingan yang tidak terlihat bekerja. Padahal kemajuan peradaban umat manusia, selalu teruji dari berbagai krisis yang dilewatinya. Momentum krisis itu sendiri, memang hasil ulah tangan-tangan manusia.
ADVERTISEMENT
Persekongkolan Jahat
Sebenarnya, sikap skeptikal adalah awal rasionalitas ilmu pengetahuan, yang mencoba mencari berbagai jawaban dari persoalan yang membekap manusia. Perbedaannya, terletak di aspek rasionalitas sebagai kesadaran hidup.
Peminat teori konspirasi, jatuh pada kesimpulan yang sama untuk semua pertanyaan berbeda, dalam format copy paste jawaban: pasti ada konspirasi elit global, sebagai faktor deterministik. Masalahnya kemudian, bagaimana bersikap atas konspirasi tersebut?
Ilmu pengetahuan menegakkan rasionalitas sebagai kesadaran. Memahami persoalan dengan mengurai unsur-unsur utama yang membentuknya, lantas menyusun jawaban yang dimungkinkan untuk menuntaskan masalah di setiap bagian tersebut.
Dalam teori konspirasi, kita tunduk pada satu hal, yakni penyangkalan, termasuk menyangkal ilmu pengetahuan dengan mengajukan teori konspirasi sebagai bentuk alternatif pengetahuan baru. Format bertindak dalam ilmu konspirasi adalah, abaikan semua fakta, karena semuanya adalah rekayasa.
ADVERTISEMENT
Situasi kegelapan pengetahuan akan virus baru ini, membuat masing-masing pihak menciptakan rasa tidak percaya, membangun narasi konspirasi, melontarkan tuduhan kepada pihak lain, dibanding harus bersatu serta bekerjasama, dalam kepentingan yang sama.
Konspirasi dimaknai sebagai persekongkolan, pemufakatan jahat, bertujuan untuk memenangkan kepentingan. Dan kita mengambil langkah sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri. Padahal kolaborasi global seharusnya dikumandangkan, untuk mencari solusi bersama, menemukan vaksin maupun obat penyembuh dari wabah ini.
Memahamkan Hiperealitas
Realitas di atas realitas, menghadirkan realitas baru. Realitas yang terjadi ini, adalah hasil campur aduk antara yang fakta dan faktoid -diyakini sebagai seolah-olah kebenaran. Sosial media yang tidak terverifikasi, memegang peran dan ikut andil dalam kekacauan tersebut.
Kini dengan sekejap mata, viralitas berita mudah terjadi, dalam hitungan detik menjangkau lokasi sedemikian jauh, karena bentuk masyarakat jaringan yang disebabkan koneksi teknologi internet. Kondisi tersebut menciptakan half truth atau kebenaran setengah, tetaplah tidak mencerminkan fakta, bisa juga disebut half lies -setengah bohong.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Jean Baudrillard, filsuf kontemporer, hiperealitas merupakan ruang simulasi, yang menggantikan realitas sebenarnya menjadi ilusi kebenaran. Istilah citra mengemuka, sebagai bagian dari perangkap dari situasi hiperealitas.
Maka dalam pandemi ini, kita belum sampai pada substansi realitas, ketika hanya membicarakan citra semata pada apa yang tampak terlihat. Lebih jauh Baudrillard mengemukakan, sekurangnya ada beberapa kondisi yang menjelaskan sebuah citra.
Keberadaan citra, diantaranya; (i) merefleksikan realitas, (ii) memutar balik realitas, (iii) menutupi realitas, hingga (iv) tidak berhubungan dengan realitas itu sendiri.
Jadi, bagaimana memahami pandemi dalam sudut pandang konstruksi hiperealitas? Boleh jadi anda telah masuk dalam perangkap simulasi. Termasuk pada soal mempercayai konspirasi, sebagai jawaban atas situasi pandemi.
Bukankah media berperan mengkonstruksi hal tersebut? Tentu saja, terlebih bila konsumsi media yang rutin dilakukan adalah pada media yang tidak melakukan proses kurasi dan verifikasi. Sosial media saat ini menghasilkan keberlimpahan informasi, dan tsunami sampah digital berisi kebohongan.
ADVERTISEMENT
Situasi overload informasi terjadi di jagat maya, membutuhkan kesadaran rasional. Tingkatkan kemampuan literasi, untuk memilih dan memilah informasi yang disuguhkan. Check fact, itu dasarnya.
Tapi sekali lagi, ruang digital memang menggunakan algoritma filter bubble atas kegemaran pada tema tertentu. Lalu keyakinan itu diamplifikasi, mengalami penguatan pesan dalam format ruang gaung -echo chamber. Resonansi emosi tercipta, membentuk homogenitas serta mengelompok.
Semakin meyakini hal tersebut, maka semakin dalam jerat perangkapnya. Maka kita kemudian gagal untuk memahami realitas yang sebenarnya, karena kita tengah berada di ruang simulasi. Citra yang mengelilingi kita, sudah terlepas dari realitas.
Satu-satunya jalan keluar dari jebakan tersebut, adalah dengan membangun kemampuan berpikir kritis, agar kita tidak menjadi manusia satu dimensi sebagaimana Herbert Marcuse, filsuf Mazhab Frankfurt, yang menyebut bahwa manusia modern telah kehilangan kemampuan, untuk menguatkan daya nalar dan rasionalitas.
ADVERTISEMENT