Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kelirumologi, Capital Outflow Sektor Kesehatan
16 Juli 2023 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Gagal paham! Dalam beberapa kesempatan peresmian rumah sakit, petinggi negeri berbicara tentang devisa keluar-capital outflow di bidang kesehatan. Disebutkan, angkanya hampir 2 juta orang dengan nilai kapitalisasi hingga Rp 165 triliun.
ADVERTISEMENT
Bila menilik nominal, nilainya fantastis. Tetapi perlu diingat urgensi kesehatan domestik jauh lebih besar dari sekadar besaran devisa. Bila hanya berfokus pada persoalan nilai uang yang hilang semata, justru akan mengaburkan substansi permasalahan kesehatan nasional yang kita hadapi.
Dalam dua aspek kajian, pernyataan mengenai persoalan kesehatan dan dampak devisa ekonominya ini terbilang “bengkok”. Pertama; kesehatan adalah persoalan pilihan pribadi, dan pasien keluar negeri menunjukkan kemampuan daya beli, sehingga, opsi ke luar negeri merupakan pilihan sadar.
Kedua; jumlah pasien ke luar negeri, tidak bisa dibandingkan dengan besaran pasien yang terlayani di dalam negeri. Data konsolidasi BPJS Kesehatan memperlihatkan jumlah kepesertaan mencapai 257 juta, sekitar 95% populasi. Ukuran pelayanan kesehatan domestik ada dalam skala gigantik.
Kesehatan adalah faktor kompleks yang saling terkait, merentang dari aspek ekonomi, sosial, politik hingga budaya. Karena itu memahami perilaku pasien berobat keluar negeri, tidak serta merta dilakukan dengan memandang sebelah mata atas pelayanan kesehatan domestik.
ADVERTISEMENT
Temuan dalam liputan investigasi Kompas (14/7) diketahui bahwa dua hal utama penyebab terjadinya fenomena berobat keluar negeri adalah, (i) kepercayaan dan (ii) tarif layanan. Pada kedua titik tolak itu, kita hendaknya membangun refleksi penting, tentang apa yang terjadi?.
Kontribusi terbesar dari langkah membangun sistem kesehatan yang dapat dipercaya, sekaligus memiliki harga terjangkau, jelas memerlukan peranan pengambil kebijakan. Komitmen dan dukungan itu harus termuat, tidak sebatas kehendak -political will, hingga aksi nyata-political act.
Terkait aspek kepercayaan-trust, dibutuhkan penguatan kapasitas pemberi pelayanan. Termasuk di antaranya melalui pemenuhan kompetensi, serta peralatan medis yang mumpuni, dan mengembangkan dimensi pengetahuan, yang dimulai sejak jenjang pendidikan.
Lalu bagaimana menciptakan layanan dengan biaya terjangkau? Di era BPJS Kesehatan, terjadi perubahan pola tarif dengan skema top down, bersifat instruksi dalam kerja sama pelayanan. Tarifnya murah, meski belum bisa merepresentasikan keadilan bagi pemberi layanan swasta.
ADVERTISEMENT
Bila hendak maju dalam soal harga, intervensi pemangku kekuasaan menjadi dominan. Termasuk memberi insentif bagi institusi kesehatan, hingga keberpihakan dalam kebijakan perpajakan. Berbagai alternatif perlu disiapkan, guna menciptakan pelayanan kesehatan berkualitas serta mudah diakses.
Realitas seperti apa yang terjadi saat ini? Alat kesehatan dan bahan baku farmasi masih bergantung mekanisme impor, dikenakan pajak tinggi, hingga upaya pemenuhan kompetensi bagi tenaga medis menjadi tanggungan individu. Pendidikan di sektor kesehatan terbilang mahal, tanpa subsidi.
Dengan kondisi tersebut, ke semuanya kembali berpulang pada bagaimana kita mampu mendayagunakan kebijakan dengan menimbang perihal keberpihakan serta kepentingan publik. Perlu perencanaan strategis, lebih dari sekadar membuka ruang bagi institusi dan tenaga kesehatan asing.
Jangan sampai terjebak pada pengambilan keputusan jangka pendek, sementara tidak mempersiapkan langkah panjang dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki. Metode instan kerap diambil sebagai pilihan, karena keliru dalam memahami pokok permasalahan.
ADVERTISEMENT
Jika demikian, maka apa makna dari UU Kesehatan yang disahkan kemarin? Cara pandang melihat keluar-outward looking, dengan memaknai pasien keluar negeri sebatas valuasi devisa, jelas tidak tepat. Apalagi memiliki rasa rendah diri-minderwaardigheids, atas segala hal berbau asing.
Kita perlu segera berbenah dengan perspektif ke dalam -inward looking, menimbang seluruh kemampuan yang kita miliki saat ini sebagai modal dasar utama. Jelas kita mampu untuk itu, selama kekuasaan membentuk kebijakan dengan memperbesar ruang dengar. Semoga!