Komunikasi 'Meleset' Kabinet Indonesia Maju

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
29 November 2019 7:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam politik, tidak ada yang kebetulan. Bahkan sebuah peristiwa yang nampak natural dan tanpa kesengajaan sekalipun, patut dilihat dalam kerangka setting terencana.
ADVERTISEMENT
Rentetan diskursus yang dimunculkan melalui para menteri sebagai pembantu tugas dan kerja-kerja bagi presiden, tampak bertalian dan bersusul-susulan. Sayangnya, tones dan intensinya terlihat seragam.
Problemnya, redaksinya bukan ditujukan untuk memfokuskan diri pada kerangka percepatan pembangunan. Apa yang hendak ditunjukan melalui wacana publik, justru seolah berbalik arah.
Narasi besarnya masih sama sejak awal didengungkan saat pembentukan kabinet, dengan tema sentral radikalisme. Pada titik utama itu, kemudian entitas kabinet, mendekatinya dengan berbagai model pendekatan.
Pembentukan SKB Menteri yang melibatkan 6 kementerian dan 5 kepala lembaga, semakin menegaskan hal tersebut. Tajuk pokoknya adalah "Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara".
Sekali lagi, ketegasan pemerintah melalui penegasan ketetapan bersama tersebut, seolah menempatkan prioritas penanganan radikalisme menjadi solusi paripurna dari persoalan utama kehidupan kebangsaan ini.
ADVERTISEMENT
Terlihat seolah terdapat urgensi kedaruratan dari penanganan persoalan ini, sehingga perlu diterka ke mana muaranya.
Buntut Panjang Kontestasi Politik
Pada pemaknaan yang lebih mendalam, pemerintah hendak mendorong proses stabilisasi. Tidak berhenti dengan merangkul lawan politik, termasuk membangun koalisi gemuk dalam berbagi konsesi kue kekuasaan.
Sekaligus mendapatkan legitimasi, untuk membungkam suara berbeda. Indikator utama atas definisi radikalisme nampak belum diformulasi secara rigid. Semua berpendapat berbeda soal ukuran.
Bila kemudian diimplementasikan, maka kategorisasi radikalisme bisa sangat bergantung pada pikiran subjektif kekuasaan. Dan untuk itu, kritik publik akan dengan mudah dianggap sebagai bentuk radikalisme terhadap kepentingan kekuasaan.
Kali ini batas wilayahnya di lingkup aparatur sipil negara, bukan tidak mungkin diperluas ke seluruh penjuru kehidupan publik. Keragaman berpendapat menjadi terancam menuju keseragaman.
ADVERTISEMENT
Demokrasi menuju kuasa oligarki. Keterbelahan publik secara sengit, yang terbentuk sebagai hasil kontestasi yang ketat dan panas, tidak kunjung redam. Para aktor dan institusi politik ikut berperan.
Politisasi identitas yang dimainkan para elite, ditelan publik, dan bersamaan dengan itu setelah konsolidasi kekuasaan terbentuk melalui kompromi, maka legitimasi dipergunakan untuk menyumbat ekspresi politik berbeda.
Degradasi Demokrasi
Kehidupan demokrasi mengalami periode suram. Narasi NKRI dan Pancasila diperhadapkan dengan cap radikalisme. Bahkan batas indikasi radikalisme dibentuk seolah menjadi tampilan atribut berbusana: cadar dan cingkrang.
Pada posisi tersebut sesungguhnya terjadi upaya mendiskriminasi pandangan berbeda, stereotip dan stigma diperlekatkan secara peyoratif pada ekspresi simbolik keagamaan.
Dengan cara berputar, kekuasaan hendak mempergunakan tangan dan otot kekuasaan untuk melakukan penertiban, serta sekaligus menegakkan keteraturan. Dan dalam hal itu, berbeda dari arus utama kepentingan kekuasaan adalah sebuah kesalahan.
ADVERTISEMENT
Teratur itu bermakna linier dengan tafsir kekuasaan, tidak diperkenankan adanya perbedaan, karena yang berbeda adalah ancaman bagi kekuasaan.
Padahal persoalan pokok yang termuat dalam rumusan kehidupan berbangsa belum juga tertuntaskan, yakni menghantarkan kehidupan kemerdekaan, bersatu, berdaulat serta adil dan makmur.
Dengan menggunakan perspektif kerja kabinet yang sedemikian, sulit membayangkan adanya kemerdekaan atau bahkan terciptanya persatuan, hingga pada akhirnya akan jauh panggang dari api, dalam mencapai keadilan dan kemakmuran.
Menerka Di Balik Wacana
Pada kajian komunikasi, konten tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Apa yang disuarakan secara berturutan perlu diperhatikan dalam merangkai analisis wacana. Karena wacana kuasa tidak hadir di ruang kosong yang tanpa maksud dan tujuan.
Merujuk, James Paul Gee dalam Hamad, 2004, dengan menggunakan analisis wacana yang terurai pada diskursus (d kecil) melihat aspek linguistik tekstual, dan memperhatikan Diskursus (D besar) sebagai aspek non linguistik secara kontekstual dan intertekstual, maka kita akan mampu membaca makna wacana yang tersusun.
ADVERTISEMENT
Tema-tema diskusi elite politik yang muncul ke ruang publik bergulir secara berkelanjutan, mulai dari: amandemen UUD 1945, dengan pengembalian peran GBHN, wacana pilkada tidak langsung, hingga peluang perpanjangan masa jabatan presiden.
Keseluruhan hal-hal tersebut dimaknai sebagai konten atas diskursus (d kecil) yang dikembangkan.
Bila kemudian di bingkai dengan rencana stabilisasi, menggunakan tema anti radikalisme secara meluas, maka secara keseluruhan diskursus tersebut memiliki mata rantai yang saling terkait.
Keterikatan serta keterkaitan tersebut, merupakan relasi kontekstual dalam Diskursus (D besar).
Perguliran wacana yang berurutan tersebut, hanya dapat dilakukan bila terdapat situasi dan kondisi stabil, dan untuk serta atas nama stabilitas tersebut, penertiban atas suara berbeda menjadi diperlukan.
Bila tidak diperbaharui model komunikasi yang meleset dari kabinet Indonesia Maju Kali ini, bisa jadi kita justru tidak melesat, serta bukan tidak mungkin kita sedang mengambil langkah mundur, menjauh dari cita-cita bersama tentang Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur!.
ADVERTISEMENT