Komunikasi Organisasi, Pengetahuan dan Pemecatan Profesi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
8 April 2022 9:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala RSPAD dr Terawan Agus Putranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala RSPAD dr Terawan Agus Putranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Liar! Isu itu bergerak liar di linimasa media sosial. Pemecatan seorang dokter oleh organisasi profesi menjadi bahan diskusi terbuka. Problem komunikasi organisasi menjadi titik utama.
ADVERTISEMENT
Pro-kontra menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memahami suatu keputusan organisasi, tetapi titik berpijaknya ditempatkan pada kepentingan yang lebih besar, yakni tujuan organisasi dan kebaikan pelayanan publik.
Disitulah letak komunikasi organisasi dipergunakan untuk bisa menjejak persoalan secara lebih berimbang. Sementara di belantara media sosial, kasus ini dilekatkan pada polarisasi politik, kecurigaan serta prasangka atas motif ekonomi.
Dibutuhkan penjernihan yang lebih mendasar, khususnya dalam kerangka komunikasi organisasi, karena penjelasan yang tidak setara justru akan menambah pekat kabut kegaduhan.
Jembatan Komunikasi Organisasi
Perlu dipahami bahwa keberadaan sebuah organisasi, ditujukan bagi pencapaian tujuan bersama. Kegiatan berhimpun, dimaknai sebagai upaya untuk membangun tata tertib sekaligus tata kelola di dalam kumpulan.
Dengan itu, struktur dan kepemimpinan dilengkapi juga bersama perangkat aturan internal organisasi. Posisi dalam bentuk organisasi, dari lapis bawah hingga atas terikat dengan hak dan juga kewajiban.
ADVERTISEMENT
Lalu, dibangun pula nilai bersama dengan instrumen moralitas dan etika, tersusun dalam format kode etik sebagai tata laku, disertai dengan ragam mekanisme pelaksanaan dan penegakannya.
Bentuk organisasi, dalam konteks filosofis dimaknai sebagai kerangka pendisiplinan. Apakah organisasi selalu benar? Mungkinkah individu memiliki kebenaran alternatif di dalam organisasi?
Tentu tidak mudah menjawabnya, tetapi bisa dikaitkan pada tujuan kolektif organisasi sebagai dasar pendiriannya.
Kedudukan anggota di dalam organisasi, adalah mengikuti proses yang telah disepakati bersama. Tetapi dalam proses pengambilan keputusan, maka pola aspirasi serta partisipasi anggota menjadi penting.
Skema bottom up dipergunakan untuk menjaring pendapat, pola top down dipakai sebagai strategi eksekusi.
Proses komunikasi di dalam organisasi membutuhkan kemauan dan keterbukaan para pihak, untuk menjalin arus informasi berimbang, menghindari terjadinya bias persepsi.
ADVERTISEMENT
Termasuk menghindari terjadinya ruang konflik, yang memungkinkan terjadinya efek kerusakan bagi organisasi. Ketika konflik memuncak dan terbuka, diperlukan upaya bersama untuk menemukan resolusi terbaik, syaratnya kejujuran semua pihak.
Konsep komunikasi organisasi mengandaikan proses timbal-balik, dimana relasi anggota dan struktur kepemimpinan mempunyai sistem untuk menyampaikan gagasan dan argumentasi yang setara, dalam proses tersebut, tujuan akhir bersama adalah titik konsensus bersama.
Membedah Pengetahuan
Sebagian pendapat yang bersilangan memberikan titik tekan pada hadirnya inovasi dan pengetahuan baru. Praktik implementasi temuan baru, seharusnya diakomodir dalam kepentingan publik, sebagai sarana alternatif yang dapat diakses secara meluas.
Terlebih diasumsikan bila temuan metode medis tersebut menjadi inovasi sekaligus kebanggaan atas karya anak bangsa, kira-kira begitu premis yang diajukan. Tentu tidak salah, tetapi kurang tepat secara konteks.
ADVERTISEMENT
Kita memang dihadapkan pada keterbatasan pemahaman, ketika model terapi medis yang dilakukan dinyatakan memiliki tingkat keberhasilan luar biasa berdasarkan testimoni para pasien tersebut, justru tidak dibakukan menjadi sebuah prosedur.
Disinilah letak perubahan pengetahuan -knowledge menjadi sebuah ilmu -science.
Pada pokok dasarnya, ilmu yang rigid merupakan hasil eksperimentasi dan temuan penelitian, yang dikodifikasi melalui kaidah tersusun, memiliki kriteria ilmiah, meliputi bukti empirik, struktur sistematik dan logik.
Karena itu, sebuah konklusi hasil penelitian harus teruji dan bisa uji ulang. Termasuk mendapatkan penajaman dari sejawat lain -peer group, karena tidak ada penelitian yang bersifat terpisah, melainkan bentuk kesinambungan penelitian terdahulu.
Hal tersebut berbeda untuk ilmu murni -pure science yang hidup di ruang kelas dan praktik laboratorium, dibandingkan ilmu terapan -applied science yang diimplementasikan melalui kebermanfaatannya secara langsung ditengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam ketergunaan ilmu terapan tersebut, maka aspek terpenting adalah memastikan manfaat serta keamanan bagi publik dibandingkan dampak negatifnya, berbasis bukti, secara ilmiah. Dengan begitu, peneliti harus memiliki nilai etik dan moral yang mumpuni.
Sehingga agak janggal, bila kesempatan untuk berdiskusi menjelaskan duduk perkara metode terapi yang baru, justru tidak dimanfaatkan untuk membuka pemahaman semua pihak terkait, dengan alasan ketercukupan testimoni.
Perang informasi terjadi, pro kontra merebak, ketika bercampur antara gagasan ilmiah dengan narasi yang berkembang di tengah publik.
Tom Nichols, 2018, dalam Matinya Kepakaran, menyebut di era modern kita telah kehilangan arah. Para pakar tenggelam dalam hingar bingar informasi yang bising, kemudian kebenaran ditentukan secara kalkulatif sebatas kekuatan jumlah pengikut -followers, bukan atas dasar argumentasi logis dan nalar ilmiah.
ADVERTISEMENT
Otoritas keilmuan memang harus hadir untuk memberikan pencerahan dan penyadaran publik yang telah terbelah akibat polarisasi kepentingan politik, harus mampu bersuara lebih terang dibanding para pendengung -buzzer.
Menyusun Ulang Dialog
Bila demikian, bagaimana kita menyikapi pemecatan profesi? Dalam teori komunikasi konflik, dinyatakan bahwa perlu ruang diskusi bersama, yang manakala masih menemui kebuntuan resolusi dapat, difasilitasi oleh pihak ketiga terkait.
Sekali lagi dasar utamanya adalah kemauan untuk terbuka, dalam menjalin dialog secara setara, sebagai bentuk dari pembuktian ilmiah sebuah metode medis.
Penyelesaian komunikasi organisasi dengan penegakan hukum internal, merupakan tindakan akhir ketika ruang dialog tertutup. Pemecatan adalah sarana untuk mendisiplinkan tubuh organisasi, dan bukan merupakan tujuan.
Kita tunggu babak akhir dari fragmen ini, sebagai bentuk literasi bagi publik.
ADVERTISEMENT