Mahasiswa dan Memorialisasi Sejarah yang Tercecer

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
27 September 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa dan Memorialisasi Sejarah yang Tercecer
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pelupa. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang mudah lupa dan melupakan. Dibutuhkan tidak hanya kemampuan untuk mengingat, melainkan juga kemauan untuk kembali membangkitkan memori atas apa yang telah terjadi di masa silam. Disitulah terdapat peran sejarah, dalam merekonstruksi berbagai peristiwa lampau, agar kita mampu merawat ingatan dan belajar dari apa yang telah terjadi.
ADVERTISEMENT
Pun demikian proses demokratisasi, dalam periode yang dikenal sebagai babak reformasi. Rangkaian momentum sejarahnya, merentang secara berkesinambungan. Keruntuhan fase diktator Orde Baru, ditandai dengan kebangkitan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil untuk melakukan agenda perubahan. Rentetan peristiwa, termasuk tragedi Trisakti, Semanggi I dan II mewarnai babak sejarah itu.
Setiap tahun di bulan September, kenangan itu dibangkitkan kembali melalui peringatan tertembaknya aktivis mahasiswa UI Yap Yun Hap pada peristiwa Semanggi II. Konteks kejadiannya bersamaan dengan penolakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya -PKB. Melintasi kembali waktu yang telah lebih dari dua dekade berlalu tidaklah mudah. Terlebih saat itu, gerakan mahasiswa terfragmentasi.
Pasca lengsernya Suharto, mahasiswa kedodoran menyelaraskan agenda reformasi. Terbelah, sebagian kembali ke pertapaan di kampus, sementara sebagian lainnya konsisten untuk mengawal proses reformasi. Kelompok mahasiswa yang disebut terakhir adalah elemen marjinal, bahkan di dalam kampus, karena mayoritas mahasiswa kembali berkutat pada agenda rutin perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Penulis mencoba mengingat, gelora kelompok diskusi terkonsentrasi dalam kelompok kecil mahasiswa yang berada diluar organisasi formal kampus. Mereka tidak berhimpun dalam Ikatan Mahasiswa tingkat Jurusan, atau Senat Mahasiswa di level Fakultas, hingga Badan Eksekutif Mahasiswa di kancah Universitas. Kelompok kecil aktivis mahasiswa ini, memiliki peminatan diskusi dan bahan bacaan.
Kemampuan adaptif mereka, dalam merespon dinamika isu sosial politik lebih lincah dan dinamis. Bergerak lebih gesit, dibandingkan lembaga kemahasiswaan formal, yang terbilang lamban dan kembali cenderung apolitis pada isu sosial politik pasca momentum reformasi. Termasuk penyikapan RUU PKB, yang ditengarai memungkinkan potensi kembalinya Dwifungsi ABRI dan corak militerisme.
Mahasiswa dalam panggung sejarah pergerakan bangsa selalu menjadi bandul perubahan, yang mengakselerasi terbukanya episode baru dari babak kekuasaan. Setelah itu, bandul itu kembali berhenti ke titik dasar. Mahasiswa, menurut Ariel Heryanto, kerap dianggap maha sia-sia, karena kelak setelah lulus kuliah mereka akan menjadi bagian yang ditarik masuk dalam pusaran kekuasaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Semanggi II dan Upaya Merajut Sejarah
Mengenang peristiwa tragedi Semanggi II, tentu tidak hanya menyoal kematian Yap Yun Hap semata. Melainkan tentang proses demokratisasi yang terancam masuk ke dalam perangkap kekuasaan, dengan pendekatan militeristik, sebagai corak otoritarianisme. Yap Yun Hap menjelma menjadi ikon, karena keberanian dalam mengorbankan nyawa, pada sesuatu yang diyakini benar dan bagi kebaikan publik.
Untuk itu, upaya memorialisasi perjuangan Yap Yun Hap, patut diapresiasi. Namun tidak berhenti disitu semata, perlu ada upaya yang serius dalam membangun sensitivitas gerakan mahasiswa dalam usahanya menuntaskan arah demokrasi. Ruang kekuasaan hari ini, mengalami kekosongan penyeimbang narasi, ketiadaan oposisi. Respon dalam penolakan RUU KPK adalah awal penyambung sejarah.
Termasuk memperkuat proses demokratisasi kampus, dengan menghindarkan intervensi kekuasaan dalam tiga pokok penting, yakni (i) kebebasan akademik, (ii) kebebasan mimbar akademik dan (iii) otonomi kampus. Wilayah para intelektual di lingkup kampus harus merdeka dalam mengembangkan pendapat dan pemikiran, dalam kerangka ilmiah bagi kepentingan sosial-politik dan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Dan karenanya, beberapa hal terakhir ini perlu pula mendapatkan penajaman secara kritis, (i) munculnya pakta integritas mahasiswa, yang menjadi indikasi dari cikal bakal pengekangan tiga pilar utama kampus diatas, (ii) penyederhanaan kurikulum dengan menghapus mata pelajaran sejarah, padahal sejarah adalah sarana dalam mempelajari manusia dan perilakunya dalam rentang waktu kehidupan.
Peran dan tugas kesejarahan mahasiswa, sebagai lapisan intelektual harus sampai pada titik harmoni atas kepentingan publik. Berubah menjadi intelektual organik, yang lahir dan hidup untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul di tengah kehidupan masyarakat secara langsung. Menghindari terbentuknya kampus sebagai menara gading. Hal ini hanya dapat terjadi ketika ruang demokrasi terbuka lebar, dan tidak dipersempit oleh kepentingan dan intervensi elit di kampus.
ADVERTISEMENT
Menyemai Nilai
Ketika realitas sosial terbatasi oleh tembok kampus, maka formalisasi gerakan mahasiswa menjadi penentu kebenaran. Kelompok diskusi dan aksi yang tidak termuat dalam organisasi formal kampus, dianggap sebagai mereka yang berbeda -liyan. Padahal gagasan dan ide tentang demokrasi, tidak pernah lahir di forum-forum yang formal, mereka hidup di kamar sempit kontrakan yang progresif.
Berbicara dengan serius tentang nasib bersama sebagai sebuah bangsa dan negara. Tidak hanya sibuk mengejar cita-cita, apalagi hanya sekedar menjadikan organisasi mahasiswa sebagai lembaga lobi dan kompromi, serta batu loncatan kepentingan karir pribadi. Nilai dan ruh itu harus dikembalikan pada tempatnya, karena kelompok terdidik selalu menjadi motor penggerak dan pembaharu.
Karena itu, mahasiswa harus ditempa oleh persoalan riil sosial politik, agar mendapatkan asupan pemahaman tentang peran pentingnya di masyarakat. Mereka yang beruntung mendapatkan pendidikan tinggi dan memiliki mobilitas sosial karenanya, harus kembali ke akar keberadaannya, berkontribusi pada publik dengan jalan apapun berbekal prinsip kebenaran dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Hal itu hanya akan terjadi bila kita mampu berkaca dan belajar dari sejarah, dan kita memang harus terus mempelajari sejarah, karena hidup berputar dalam perulangan. Menolak lupa, merawat ingatan dan melindungi yang tercecer menjadi tugas kita bersama.