Mediasi Pandemi, Membalik Gagal Nalar

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
14 April 2020 7:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bersiap rusuh. Skenario itu termuat dalam ekspresi vandal kelompok anarko sindikalisme. Narasi yang diangkat diantaranya, "mati konyol atau melawan", "kill the rich" hingga "sudah krisis, saatnya membakar". Pandemi memang penuh kekacauan, dibutuhkan kemampuan rasional untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Terkait aspek legal yuridis, kita menyerahkan penanganan kasus kepada otoritas aparat penegak hukum. Tulisan ini dipergunakan, untuk melihat perubahan sosial yang terjadi bersamaan dengan pandemi. Sinyal lembut kondisi sosial perlu dipahami.
Kerangka anarko sindikalisme, dekat dengan kajian struktur kelas Marx, sebagai pisau analisis sosial. Pada banyak literatur, kehendak anarki berupaya mendekonstruksi instrumen kekuasaan negara, yang menjadi simbol penindasan manusia atas manusia.
Perspektif dari varian sindikalisme, menempatkan kerangka perubahan sosial pada kekuatan produktif lapis tenaga kerja, untuk menguasai alat produksi yang dimaknai sebagai sumber utama kuasa kapitalisme. Menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Sepintas, konstruksi tersebut menjadi bagian dari mazhab yang dipercayai dan hidup di tengah kelompok anarko. Analisis situasi mereka ada pada gagasan pokok, bahwa situasi pandemi kali ini, sudah sampai periode kegentingan revolusioner, saat yang tepat untuk bertindak.
ADVERTISEMENT
Narasi yang diwacanakan, terbilang absurd. Meski ekspresi kesenjangan kelas, kefrustasian sosial, hingga provokasi untuk melakukan rusuh massa, nampak jelas ditonjolkan. Faktanya memang terbuka, jumlah potensi massif PHK, terjadinya kontraksi ekonomi, hingga bahaya laten krisis multidimensi.
Kelompok penganjur anarkis, menyatakan aturan yang dipergunakan, adalah tanpa aturan. Gagasan ideal nan khayal yang tampak gagah -utopia, namun sesungguhnya menuju situasi terburuk -distopia, karena tidak mampu memahami realita sesungguhnya.
Gagal Nalar
Pandemi ini bersifat demokratis. Semua menjadi objek yang setara dan egaliter, untuk tertular ataupun menulari. Tidak memandang kelas sosial. Akibat pandemi, juga sama dialami oleh seluruh lapisan sosial, tanpa terkecuali. Semua diharuskan berdiam diri.
Membandingkan situasi krisis sebagai produk pandemi, tidaklah serupa dengan berbagai krisis ekonomi yang mendahuluinya. Dimensi krisis akibat pandemi, terjadi dan memiliki karakteristik berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada kejadian krisis-krisis terdahulu, hal tersebut bermuara pada spekulasi dan permainan di sektor ekonomi, aksi ambil untung atas nilai tukar valas, hingga transaksi derivatif yang fiktif di bursa dunia.
Krisis yang kini muncul akibat pandemi, justru terjadi dalam interupsi mendadak, ketika sistem ekonomi tengah berjalan seperti biasanya. Keguncangan fundamental ekonomi terjadi, karena keharusan untuk memutus siklus hidup dari mata rantai wabah.
Jantung ekonomi berhenti berdenyut. Pasokan darah ke seluruh ekosistemnya lumpuh. Kesesakan adalah efek samping. Kekuasaan dalam struktur tata kelola kehidupan bernegara, harus bergerak dan berperan.
Dengan begitu, ajakan untuk menciptakan suasana chaotik, hanya menambah problem sosial baru. Tidak ada solusi tercipta. Substansi dari argumen yang diajukan adalah nihil, mati karena wabah atau mati konyol kelaparan? Kita tentu tidak ingin berada dalam pilihan simalakama, dan berusaha menghindarinya.
ADVERTISEMENT
Pada banyak situasi krisis, ketenangan dalam keteraturan adalah sebagian dari jawaban. Berlaku tertib dan disiplin, adalah bagian lain yang melengkapi. Lalu bagaimana menjawab problem dasar, terkait kebutuhan perut? Gerakan sosial dan intervensi negara.
Menyusun Harapan
Pemilik alat produksi gamang, karena sektor usaha berhenti. Tenaga kerja gundah karena menjadi pihak terdampak langsung. Merebut sarana produksi, bukan jawaban. Konstruksi harapan kita butuhkan untuk keluar dari pandemi.
Gerakan sosial, diperlukan dengan mendorong kepedulian. Menstimulasi empati, membangun keprihatinan bersama. Memastikan bahwa kita mampu untuk menyelesaikan pandemi secara bersama. Bantu membantu, tolong menolong.
Upaya memutus rantai penyebaran, adalah siasat mengatasi pandemi. Dikarenakan belum tersedianya vaksin dan obat, yang telah terbukti secara klinis mampu mengatasinya. Rekayasa sosial dilakukan, untuk meminimalisasi akibat penularan.
ADVERTISEMENT
Intervensi negara, bisa dimulai dalam kerangka terendah hingga tertinggi, dari pemerintah daerah hingga pusat. Syarat utamanya, harus selaras, sedendang dan seirama. Koordinasi atas upaya-upaya strategis, perlu dilakukan.
Saat pandemi, kita menjajal validitas data kependudukan. Mendistribusikan bantuan secara tepat sasaran. Mengidentifikasi kelompok sosial yang rawan terdampak. Menyusun strategi alokasi anggaran dan sumber daya.
Kondisi pandemi membutuhkan lebih banyak relawan. Tenaga sukarela untuk memproduksi sarana medis, pembersih diri -hand sanitizer, masker, serta pendukung pelayanan kesehatan lain. Dapur-dapur umum bisa diaktifkan. Sistem keamanan lingkungan dihidupkan. Serapan dana desa dan bantuan sosial menjadi efektif.
Jadi dalam situasi pandemi, butuh lebih banyak kerjasama, aksi kolaboratif, dibanding memunculkan wacana ketakutan dan kecemasan.
Pandemi membalik situasi, pembangunan yang selama ini berorientasi pada target makro, dalam bentuk fisik dan indikasi angka-angka, kembali kepada kepentingan sejati manusia dan kemanusiaan. Disitu pandemi berperan secara reflektif.
ADVERTISEMENT
Pada bagian terakhir, para pemangku kebijakan, harus mampu membaca sinyal keresahan ini, dan segera merumuskan format teknis, dibanding sekadar adu retorika di hadapan media.
Bersama kita bisa! #LAWANCOVID19