Konten dari Pengguna

Menebak Mimpi TVRI

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
22 Januari 2020 13:31 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kain hitam bertuliskan #SAVE TVRI di kantor TVRI, Jakarta. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kain hitam bertuliskan #SAVE TVRI di kantor TVRI, Jakarta. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kisruh! Pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI) berhadapan dengan perlawanan hukum. Kewenangan Dewan Pengawas dipersoalkan. Silang pendapat mengemuka. Kemana mimpi lembaga penyiaran publik akan berlabuh
ADVERTISEMENT
Banyak soal yang dimajukan sebagai tesis, dari sengkarut masalah di TVRI. Transparansi dari biaya produksi program, tata kelola organisasi, hingga kepentingan publik yang dimaknai sebagai konsumen. Persoalan kelembagaan luput ditilik.
Membereskan TVRI bukan barang mudah. Sebagai stasiun televisi pertama, yang ditujukan bagi pergelaran Asian Games 1962, TVRI sempat dominan, melalui mekanisme monopoli. Ketika keran kompetisi televisi swasta terbuka, justru TVRI kelihatan semakin kedodoran.
Industri layar kaca, sebagai bagian dari bisnis media, memang sedang menghadapi tantangan hebat di era disrupsi. Fenomena konvergensi media karena kehadiran jejaring internet melumpuhkan banyak media konvensional, termasuk televisi.
Banyak analisis atas kondisi TVRI di era pra maupun paska Helmy menjabat. Dukungan karyawan TVRI dengan aksi spanduk hitam, seolah mengisyaratkan kemampuan sang Direktur Utama (Dirut) Helmy, dalam melakukan langkah perbaikan internal perusahaan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pada berbagai dokumen yang beredar luas, terdapat beberapa kecurigaan, terkait dengan pengelolaan besaran anggaran TVRI. Termasuk pembiayaan bagi urusan produksi, yang dinilai berpotensi digelembungkan.
Maklum saja, Dirut Helmy berlatar belakang sebagai "orang televisi", dan memang dikenal sebelumnya, memiliki program acara di televisi swasta. Jadi isu yang berhembus, dalam dokumen beredar, seolah menegaskan adanya konflik kepentingan tersebut. Ini jelas perlu pembuktian.
Logo Televisi Republik Indonesia yang baru Foto: wikipedia

Menjalin Persatuan dan Kesatuan

Membayangkan TVRI, seolah membayangkan generasi Si Unyil, Ria Jenaka, hingga Dunia Dalam Berita. Logo yang ikonik, dengan slogan lawasnya "Menjalin Persatuan dan Kesatuan". Dalam ukuran kekinian, terlihat old fashion dan kurang update.
Secara keseluruhan, tampilan yang tidak maksimal mengakibatkan TVRI yang memiliki fungsi informasi, edukasi, dan hiburan itu, semakin jauh tertinggal oleh stasiun televisi swasta. Dalam soal konten, TVRI jauh tertinggal. Padahal dalam soal infrastruktur jaringan, tidak ada yang bisa mengalahkan TVRI.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa manajemen, produk yang dihasilkan TVRI menjadi tidak selaras dengan tuntutan pasar. Langkah modernisasi kemudian dilakukan Dirut Helmy. Tidak berhenti di situ, rebranding dan berbagai konten program diperbaiki.
Problemnya langkah tersebut tidak dibuat dengan mengoptimalisasi kapasitas dari sumber daya yang dimiliki TVRI, melainkan dengan model instan, pembelian program. Kalkulasi ekonomi bisa dibuat. Sekurangnya, alasan yang akan ditampilkan berkisar pada persoalan efisiensi dan efektivitas.
Pertama: terkait efisiensi produksi in house TVRI, bisa jadi biaya produksi program sendiri jauh lebih tinggi daripada membeli.
Kedua: berkenaan dengan efektivitas program, akan terkait dengan kemudahan serta kemampuan untuk menarik perhatian pelanggan, dibanding membentuk program sendiri.
Bila mengacu pada kedua komponen tersebut, maka kita menempatkan alat ukur industri televisi swasta, dengan kerangka rating dan audience share. Hal itu pula yang menjadi alasan Dirut Helmy berkeras untuk dilengserkan, karena rating TVRI semakin naik. Disebabkan kemampuan TVRI dalam memenangi persaingan, untuk pembelian hak siar Liga Inggris bahkan Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Patut diberi acungan jempol. Dirut Helmy lihai. Tapi sayangnya, organisasinya masih menyisakan elemen konservatif, yakni dewan pengawas. Aspek pragmatis, berhadapan dengan konsep idealis. Di sini pangkal persoalan itu bermula. Bagaimana sesungguhnya TVRI menampilkan dirinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP)?
Melalui skema investigatif, beberapa analisis mencoba mengaitkan hal ini (seolah-olah) sebagai medan perang TVRI dengan kepentingan swasta, yang nampak gerah karena kemajuan televisi milik pemerintah tersebut. Maka dengan tangan-tangan di Dewan Pengawas TVRI, Dirut Helmy harus dihentikan. Lagi-lagi perlu bukti valid.
Kain hitam bertuliskan #SAVE TVRI di kantor TVRI, Jakarta. Foto: Dok. Istimewa

Kelembagaan yang Abu-Abu

Bila Anda pernah mengalami masa ketika TVRI memberlakukan pembayaran iuran untuk setiap layar kaca di rumah, maka mungkin rekam jejak itu yang bisa menjadi pembuka persoalan.
Perlu dipahami media adalah sebuah jenis industri. Dalam industri media, terdapat dua kait penting yang sulit dipisahkan, yakni ekonomi dan politik. Di tengah laju perkembangan media, melalui digitalisasi dan konvergensi, TVRI harus mampu survive dengan modalitas yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, agar tidak ditinggal pemirsa, perlu dilakukan modernisasi. Celakanya, dalam upaya mengejar modernisasi, membutuhkan investasi yang tidak sedikit, bahkan bisa jadi berisiko. Dirut TVRI perlu memutar otak, ketika kantong cekak. Kombinasi pendapatan selain subsidi negara adalah iklan, tidak mungkin lagi dengan iuran.
Sekurangnya, langkah Helmy cukup cerdas. Strateginya dengan meningkatkan konten komersial yang selaras dengan ketertarikan pasar, guna menghadirkan para pengiklan. Hal itu ditujukan untuk meningkatkan pendapatan, supaya menambal program yang sifatnya nonkomersial, sebagai bentuk pelayanan publik.
Tapi, TVRI butuh lebih dari sekedar cerdas mengelola persoalan ekonomi media, melainkan juga soal politik media. Mengapa? Karena status TVRI adalah LPP dan perusahaan milik negara.
Apa maknanya? sebagai LPP, maka ilustrasi yang ditampilkan adalah kepentingan publik, dengan format netralitas, independen, dan mengacu pada budaya adiluhung (tinggi mutunya). Padahal media massa saat ini, justru menghasilkan budaya massa.
ADVERTISEMENT
Bila kemudian berorientasi budaya adiluhung, sudah barang tentu TVRI berhadapan dengan pragmatisme penonton. Hal ini menjelaskan persoalan mengapa bila tayangan mistis, lawak, dan menjurus porno lebih laku, ketimbang talkshow serius mengenai budaya, ekonomi dan politik.

Perlu Redefinisi

Solusinya, selain mengatasi konflik yang ada sekarang, terkait dengan pucuk pimpinan di TVRI, yang terpenting adalah perlunya mendefinisikan ulang format kelembagaan TVRI di masa mendatang. Tantangan hebat memang tengah terjadi di semua LPP, di seluruh penjuru dunia.
Lemahnya pembiayaan sebuah LPP menghasilkan konsekuensi, pada kemunduran kualitas program yang diproduksi. Subsidi pendanaan negara untuk kegiatan LPP sesungguhnya menunjukkan komitmen menjaga budaya adiluhung. Keberadaan TVRI diberi tugas berat, sebagai lembaga yang mengawal budaya bangsa di tengah disrupsi industri media.
ADVERTISEMENT
Bila LPP dibebaskan kepada liberalisme pasar, maka berpotensi membuat kita akan kehilangan media yang memegang peran kunci, dalam melestarikan high culture. Tapi membiarkan lembaga tersebut hanya berpusat pada high culture semata, seolah melepaskan persoalan pragmatis terkait pembiayaan. Menjadi buah simalakama.
Kombinasi keduanya harus dipadukan. Terlebih ketika media online dan media sosial, belum termasuk buzzer, selebgram, dan youtubers, mulai merangsek ke tengah khalayak. Tidak saja mereka menjadi agen dari kepentingan tertentu, tetapi juga mendistribusikan disinformasi, hoax, hate speech, hingga menciptakan polarisasi publik. Di situ TVRI harus hadir terdepan.
Sayangnya, TVRI masih sibuk bergelut dengan dirinya sendiri. Dari sini titik pembenahan itu harusnya dimulai, secara sistematik dalam membangun LPP yang tidak lekang dimakan zaman. Dengan bekal seluruh titik stasiun daerah yang dimilikinya, semestinya TVRI memiliki keunggulan bersaing berbeda.
ADVERTISEMENT
Tentu, dengan aspek pendukung utamanya adalah komitmen melalui penganggaran, dalam merawat serta menumbuh-kembangkan budaya lokal maupun nasional, yang diharapkan akan menjadi nilai-nilai warisan bangsa kelak di kemudian hari. Di situ TVRI harus membuktikan semboyan barunya, menjadi "Media Pemersatu Bangsa" !