news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

PAN(dem)IK dan Kefrustasian Zizek

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
25 April 2020 12:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Meloncat. Tawaran filsuf Slavoj Zizek akan situasi pandemi terbilang kabur. Pada periode genting, dapat disimpulkan, bila para filsuf masih sibuk saja menafsir dunia, tetapi memang tidak pernah mampu mengubahnya. Aspek praksis tertinggal.
ADVERTISEMENT
Slavoj Žižek merupakan filsuf Slovenia, beraliran psikoanalitik yang juga menjadi peneliti di Institut Sosiologi dan Filsafat di Universitas Ljubljana. Pemikiran Zizek memang tergolong "berat".
Hal tersebut mengilustrasikan bila para pemikir dunia dalam renungan filosofis, mampu membawa kita masuk ke ruang kesadaran baru, dan membawa pencerahan. Bisa juga sebaliknya, mengernyitkan dahi.
Pada bukunya, Pandemic! Covid-19 Shakes The World, 2020, Zizek tetap memberi kontribusi refleksi mendalam, meski opsi solusi yang diajukan, masih jauh dari sempurna, bahkan terbilang utopia.
Buku bersampul pink, yang disusun cepat merespon perkembangan dinamis pandemi oleh Zizek adalah bentuk sumbangsih akademiknya. Pokok utamanya, Zizek mencoba bertanya apa yang akan tersisa dari kekacauan yang diakibatkan oleh pandemi ini?.
Setidaknya tiga hal besar yang disasar pandemi, menurut Zizek, (i) medis, kesehatan individu dan sosial, (ii) ekonomi, aktivitas kegiatan dunia, serta (iii) psikologi ketakutan publik secara meluas. Panik dan kepanikan itu ada dalam pandemik. Secara tertulis, PAN(dem)IK terkandung dalam persoalan wabah.
ADVERTISEMENT
Dalam kepanikan, irasionalitas membentang. Kekhawatiran di situasi pandemi, menyergap seluruh individu tanpa terkecuali. Slogan dan pernyataan "Jangan Panik" secara berulang adalah bentuk dari ekspresi kepanikan itu sendiri. Semua kita begitu.
Kefrustasian Ideologis
Pandemi, sebut Zizek menghadirkan problem kronis dalam tubuh kapitalisme. Sebut saja sentimen rasialisme. Sebelum disebut sebagai Covid-19, wabah ini dinamakan Flu Wuhan, atau seperti yang Trump nyatakan dalam retorika Virus China.
Ketakutan pada virus, menciptakan stigma rasial. Lebih jauh, Zizek mengungkapkan bila kepanikan yang diproduksi wabah, membentuk situasi kelangkaan, disebabkan situasi perlombaan konsumsi, yang dihitung dari kemampuan dan daya tahan pembelian.
Tidak hanya fenomena individual, tetapi sampai pada tatanan yang lebih besar berupa negara. Kondisi ini terlihat dari bagaimana Trump, mencoba melakukan pembelian hak eksklusif perusahaan CureVac berbasis di Jerman, hanya untuk Amerika.
ADVERTISEMENT
Paradoks terjadi. Globalisasi sebagai ajang perluasan kapitalisme, kembali menyempit. Populisme dan pengelompokan lokal mengental. John Naisbitt dalam Global Paradox, 1994 mengungkapkan hal tersebut.
Bahkan kemunculan para pemimpin, sebagaimana Donald Trump dengan American First, Boris Johnson di Inggris dengan Brexit, yang mempertebal narasi konservatif, merupakan resultan dari globalisasi.
Kapitalisme, sebut Zizek, seolah mengalami percepatan momentum revolusioner. Terdapat prakondisi untuk sebuah bentuk baru dari kehidupan sosial bersama. Kapitalisme membuahkan Barbarisme, berbalas Komunisme. Mimpi kepagian.
Tawaran Zizek tentang Komunisme sebagai bentuk dari format sosial yang baru, mengandaikan kemampuan global untuk bekerja sama, mengelola seluruh sumberdaya, mengatasi masalah bersama. Kemampuan China dalam ketertutupan demokrasi, mengandalkan etatisme, bentuk skala kecilnya.
Meski Zizek juga mengkritik strategi isolasi dan karantina wilayah yang kaku, dengan potensi pemberangusan aspirasi berbeda, tetapi China sebagai episentrum wabah, mampu memobilisasi kemampuan sumber dayanya, untuk menutup ruang persebaran. Masih perlu dihitung efektivitasnya.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan dan Pengetahuan
Dalam keterangannya, Zizek mencoba memformulasikan tahapan psikologis dalam merespon pandemi. Rumusan Zizek, agaknya mengadopsi model Kübler-Ross, The Five Stages of Grief dalam bukunya, On Death and Dying, 1969.
Respons psikologis kita, akan situasi ketakutan ataupun kesedihan, dimulai dari penyangkalan -Denial, lalu meningkat menjadi kemarahan -Anger, lantas mencoba melakukan tawar-menawar-Bargaining, hingga menjurus pada timbulnya depresi-Depression, dan pada akhirnya melakukan penerimaan-Acceptance.
Tahapan siklus itu, kini tengah kita jalani dalam melewati masa pandemi. Menuju normalitas baru, sebagai titik keseimbangan di bagian akhir, yang merupakan kondisi penerimaan. Zizek mengajukan komunisme sebagai resolusi. Sebuah utopia.
Bila dikombinasi dengan adaptasi gagasan Joseph Luft dan Harrington Ingham, melalui Jendela Psikologi Johari, 1955, situasi pandemi berada dalam kuadran Unknown Self, yakni ketidaktahuan bersama. Kita berada dalam kegelapan. Zizek sudah tepat menyebut, bila kita berada dalam kapal yang sama, meski bisa jadi berbeda arah dan tujuan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Jawaban dari ketidaktahuan, ketidakpastian serta ketidakmenentuan pandemi adalah ilmu pengetahuan serta rasionalitas bersama. Kita tengah menunggu berbagai upaya menciptakan vaksin dan obat bagi Covid-19. Tetapi hal ini berpotensi untuk terus berkembang, berhadapan dengan gelombang pandemi berikutnya.
Bisa jadi, akan bertabrakan dengan keserakahan kapitalisme, bila komersialisasi vaksin terjadi. Tetapi melalui pandemi, ada narasi humanitas yang diguncang. Karena penularan terjadi tanpa pandang bulu. Keamanan kita tergantung pula pada kesehatan orang lain, kita menjadi mata rantai yang tidak terpisahkan.
Mungkinkah Makhluk Spatial?
Anjuran sosial yang kini menjadi sebuah kebiasaan baru, untuk menjaga kebersihan tangan, memakai masker dan menjaga jarak adalah langkah yang dipergunakan untuk menghindari penularan.
Kita menjadi beradaptasi. Dalam periode pendek kita akan membiasakan diri, menjadi sebuah rutinitas dan kemudian terinternalisasi menjadi perilaku. Jaga jarak fisik, menegasi posisi kita sebagai homo socius, dengan sifat berkumpul serta bergerombol.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah, kemampuan berdisiplin menjaga jarak dan ruang spasial akan membuat kita menjadi manusia dengan jarak spasial? Butuh waktu untuk mengujinya.
Dalam kajian komunikasi, dikenal istilah proksimitas, ruang jarak antar individu. Kita telah terpatri menjadi kumpulan intim, dalam jarak spasial yang rapat.
Meski kesalahan Lysenko terjadi di masa Uni Soviet, yang secara serampangan mengartikulasikan kerapatan sosial, sebagai model pertanian, berakhir dengan kegagalan pangan. Kebutaan ideologi.
Sebagai manusia dengan asal muasal homo sapiens, yang berpikir dan cerdas, keunggulan spesies ini adalah bekerjasama. Ruang kerjasama itu yang kini seharusnya diperkuat. Membentuk pengetahuan bersama mengatasi pandemi.
Kini teriakan untuk segera membuka karantina mulai terjadi. Manusia lelah mengurung diri. Hakikat sosialnya dibatasi. Dengan edukasi dan rasionalitas, hal ini harus segera diantisipasi. Atau kita mengakhirkan fase penerimaan, sebagai pembuktian seleksi alam melalui kekebalan kelompok -herd immunity? Semoga tidak.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan tawaran Zizek? Kita tinggal sejenak buaian mimpi tersebut. Fokus perhatian dan kerja kita diarahkan pada upaya memastikan pandemi segera berlalu, menyelamatkan nyawa. Masih banyak waktu di lain kali, untuk berdiskusi tentang impian Zizek, setelah situasi kembali normal dan kondusif.