Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Prinsip Berdikari dan Pergeseran Normalitas Setelah Pandemi
19 Mei 2020 10:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dampaknya akan luas dan dalam. Pada banyak diskursus, pandemi menciptakan kehidupan baru. Hasil adaptasi lingkungan. Perubahan perilaku yang bisa bertahan dalam durasi tahunan lamanya.
ADVERTISEMENT
Berdamai? Tentu tidak. Upaya serta usaha untuk menuntaskan pandemi, harus serius dilakukan. Tidak bisa menggantungkan diri pada pihak lain. Termasuk tidak bisa berharap, wabah akan hilang dengan sendirinya.
Normalitas lama berubah menjadi nampak usang, perjalanan kehidupan baru segera dimulai. New normal menjadi konsep yang mulai dibicarakan. Pandemi kali ini harus menjadi ruang reflektif, pembelajaran.
Seluruh aspek kehidupan manusia, terkena imbas pandemi. Termasuk ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tidak terkecuali. Problem utamanya, mau kah kita kembali belajar pada kesempatan ini.
Bila merujuk kisah terbukanya kotak pandora, yang diharamkan untuk dibuka. Semua keburukan keluar dari kotak khusus itu, menyerbu segala penjuru. Tersisa satu bintang di dasar kotak, yakni harapan.
Pembelajar Berkelanjutan
ADVERTISEMENT
Kita adalah bentuk ekspresi aktual, dari isi harapan di kepala dan hati kita. Sebagai makhluk pembelajar, kita menempatkan harapan sebagai tujuan -telos. Menghadapi pandemi, dibutuhkan kesadaran serta rasionalitas akan keberadaan diri -as human.
Hidup yang sulit dan tidak mudah, menempa kita untuk mencari jalan keluar dari belitan persoalan, sebagai masalah di saat ini, menuju pada harapan yang ingin dicapai di suatu waktu, di masa depan.
Manusia menjadi pembelajar sepanjang masa, selalu berupaya memperbaiki diri, dari waktu ke waktu. Prosesnya terjadi secara berulang, berkelanjutan. Dimulai dengan belajar -learn, berpindah -unlearn, hingga kembali mempelajari -relearn.
Perubahan kuantitas dan kualitas, menciptakan kenormalan yang baru. Mengutip, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 1962, pada perjalanan ilmu pengetahuan manusia, maka terdapat pergeseran paradigma.
ADVERTISEMENT
Segala sesuatunya bersifat relatif. Pergerakan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan, yang menjadikan paradigma lama surut, lalu secara beringsut bergeser menuju paradigma baru. Perubahan, bisa berlangsung dalam keteraturan -cosmos, atau dipenuhi masa kekacauan -chaotic.
Menyisir Perdamaian
Apakah pergeseran kehidupan ini, dapat dimaknai sebagai berdamai? Damai dalam terminologi resolusi konflik, adalah jalan keluar mengatasi kebuntuan, membentuk kesepakatan penyelesaian. Mungkinkah wabah diajak berdamai?
Pada titik kritis, kita akhirnya; (i) berdamai terhadap perubahan situasi baru, (ii) berdamai atas fase kehidupan yang berbeda, (iii) berdamai pada ketakutan diri sendiri, hingga (iv) berdamai dengan para penguasa, yang tidak serius mengurus negeri.
Berdamai dengan diri kita sendiri, dan pada seluruh kelemahan dalam kehidupan bersama. Bukan kepada wabah, yang tidak mengenal kata kompromi. Banyak kekhawatiran, akan akseptasi new normal.
ADVERTISEMENT
Gangguan yang menyebabkan pola adaptasi baru ini, sejenis dengan disrupsi digital pada tata kehidupan modern. Mengejutkan dan memberi warna baru. Kehidupan pasca pandemi jelas akan berubah.
Tersimpan kekhawatiran, bila dalam waktu dekat, pernyataan berdamai yang lengkap dengan perangkat definisi new normal, berlangsung tanpa intervensi kekuasaan. Apa soalnya?
Bilamana kondisi damai tercipta? (i) apakah gugus tugas akan dibubarkan? (ii) bagaimana dengan komitmen atas dukungan anggaran pandemi? (iii) seperti apa peran negara secara konsisten mengatasi persoalan ini?
Jangan sampai, pernyataan berdamai, hanya menjadi batu loncatan untuk mereduksi masalah wabah, kemudian berpindah masuk ke aspek berdimensi lain. Ditujukan untuk melepas beban berat, karena pandemi telah menyedot banyak energi dan biaya.
Siasat Berdikari
Penjelasan tentang berdamai, membutuhkan turunan keterangan tambahan. Tidak bisa hanya berhenti, pada istilah serta ajakan untuk mari berdamai, dan hidup berdampingan dengan wabah. Belum detail.
ADVERTISEMENT
Bangun harapan, harus dibangkitkan. Pangkal utamanya, dimulai dengan memastikan bahwa pandemi akan terus diperangi hingga tuntas. Untuk itu, dibutuhkan tanggung jawab agar; (i) menggunakan ilmu pengetahuan yang berdasarkan bukti serta data, dan (ii) memfokuskan diri pada nilai kemanusiaan publik yang terdampak.
Persis sebagaimana Viktor Frankl, Man Search for Meaning, 1946, bahwa tujuan di masa depan yang menjadi motivasi, untuk tetap menjalani hidup yang bahkan kelam sekalipun. Hal tersebut merupakan pemaknaan dari kehidupan itu sendiri. Harapan ditumbuhkan, dengan memahami konsep kehidupan, melalui mengapa -why, dan bagaimana -how.
Jawaban atas pertanyaan kritis tersebut, akan bermuara pada ke mana kita hendak melangkah setelah ini? Serta bagaimana cara menuju ke sana?
Kita menginginkan kembali menjadi manusia bebas, tidak terkungkung, dan segera keluar dari kemelut pandemi. Telah banyak persoalan, yang menjadi catatan evaluasi, selama menghadapi wabah.
ADVERTISEMENT
Terutama terdapat kecenderungan global, untuk mulai melakukan penguatan kapasitas lokal. Proses berbalik arah, menggunakan model de-globalisasi. Tentu menjadi ranah permasalahan baru, karena hubungan rantai pasok dunia, yang telah tersambung satu dengan yang lain. Tidak hanya barang dan jasa tetapi juga ilmu pengetahuan baru.
Prinsip utama dari pelajaran melalui wabah kali ini, adalah penguatan prinsip Berdikari. Hal tersebut, tertuang dalam amanat Trisakti, sebagaimana yang dipahamkan oleh Bung Karno. Sebuah prinsip dasar, menjadi hal yang perlu ditimbang kembali saat ini.
Bentuk adopsi praktisnya bisa menggunakan pola hybrid, bercampur antara berpikir di tingkat global dan bertindak pada level lokal.
Melalui prinsip Berdikari, kita tidak hanya mampu berdiri di atas kaki sendiri, yang menandakan kemandirian, tetapi kemampuan untuk sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Tentu saja perlu diperkuat. Sumberdaya untuk melaksanakan hal itu, tentu saja seluruh warga bangsa dan kekayaan alam yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Rentang bidang Berdikari, yang selama ini tertinggal dari pembangunan fisik yang dibanggakan, di antaranya termasuk; (i) infrastruktur kesehatan dari hulu ke hilir, (ii) perangkat teknologi komunikasi pendukung, bagi arus lalu lintas data dan informasi, hingga (iii) pembentukan ketahanan pangan yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Sejatinya, amanat Trisakti juga menyebut bahagian penting lain yang menjadi satu kesatuan dan saling terkait, yakni (i) berdaulat di bidang politik, (ii) berdikari di bidang ekonomi, dan (iii) berkepribadian di bidang kebudayaan.
Pasca pandemi, prinsip inilah yang harus menjadi the new normal, sekaligus membuktikan bila upaya mengejar prestasi pembangunan fisik tanpa bertumpu pada kedaulatan, kemandirian dan kepribadian bangsa, akan berakhir dengan sia-sia.