Konten dari Pengguna

RUU Penyiaran, Ruang Sempit Demokrasi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
4 Juni 2024 12:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah wartawan menggelar aksi menolak rancangan undang-undang (RUU) penyiaran di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah wartawan menggelar aksi menolak rancangan undang-undang (RUU) penyiaran di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sesak! Upaya revisi UU Penyiaran mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, tidak hanya oleh para awak media, namun juga oleh akademisi hingga publik secara luas.
ADVERTISEMENT
Usul perubahan pada UU Penyiaran, berpotensi mempersempit ruang demokrasi. Tidak hanya itu, ruang kehidupan sosial itu juga semakin menyusut dan pengap.
Esensi terbesar dalam demokrasi adalah, kebebasan berekspresi dan berpendapat. Media sebagai sarana informasi dan komunikasi, sekaligus menjadi gelanggang bagi tampilnya berbagai pendapat yang berbeda, dan dengan itu proses edukasi, sosialisasi hingga diskusi publik terjadi.
Bahkan kerja pers dan media, yang menjadi juru bicara bagi kepentingan publik, dinyatakan sebagai pilar demokrasi. Poin kunci dari keberatan akan RUU Penyiaran adalah larangan jurnalistik investigasi, termasuk membawa ranah sengketa pers ke jalur pengadilan.
Rumusan dari ajuan peraturan tersebut, seakan makin jelas memperlihatkan otot kekuasaan. Dimensi otoritarianisme membutuhkan stabilitas yang diperoleh melalui menebar ketakutan.
ADVERTISEMENT
Suara berbeda dimaknai sebagai gangguan. Tidak diperbolehkan ada nada yang berlawanan. Pemegang kekuasaan seolah berhak menentukan mana yang benar dan salah menurut versinya, tanpa membuka tafsir lain.
Hal pokok dalam kerangka tugas pers adalah memastikan berpihak pada kebenaran, maka kumpulan fakta dan bukti akan dilampirkan. Upaya investigasi, perlu dimaknai sebagai fungsi check and balances atas kekuasaan, ketika semua kanal politik formal mengalami kekosongan penyeimbang, alias oposisi.
Kehadiran jurnalisme investigasi, disebabkan karena banyak isu publik yang menjadi kepentingan khalayak, tidak mendapatkan penjelasan yang sepenuhnya.
Ketidakjelasan adalah kamar gelap bagi transaksi kekuasaan. Dengan begitu, eksistensi media investigasi ditujukan untuk menerangi apa-apa yang terlihat buram, agar mampu dipahami publik secara utuh senyata-nyatanya.
Kredibilitas media jelas dipertaruhkan, manakala mengangkat tema yang sensitif. Karena itu, jurnalisme investigasi adalah bentuk puncak dari kualitas produk media.
ADVERTISEMENT
Kita tentu mengingat novel klasik George Orwell, 1984, mengisahkan negeri totalitarian yang mengatur pikiran, bahkan dibentuk kementerian kebenaran untuk mensortir apa yang benar menurut penguasa, dan melakukan propaganda demi kepentingan kekuasaan.
Dalam ruang sempit demokrasi, kita berharap pada peran media yang independen, tidak terkooptasi kuasa, serta menjadi antitesis dari praktik hegemoni. Hanya itu agaknya harapan yang tersisa, dan kita masih bermimpi tentang ujung terang dari lorong gelap ini.