Konten dari Pengguna

Akibat Hukum Pencatatan Pernikahan, Serta Kedudukan Perkawinan Siri

14 Agustus 2021 9:35 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhia Perdana Sikumbang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
ADVERTISEMENT
Oleh: Yudhia Perdana Sikumbang
Praktisi Hukum, Member of Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Suara Advokat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara umum Perkawinan merupakan ikatan sosial di mana suatu ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan.
Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga, sedangkan perkawinan siri diketahui orang, bahwa nikah siri dimaknai nikah yang tidak di umumkan pada khalayak ramai, Artinya pernikahan yang secara agama sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan tetapi tidak dinyatakan secara umum dan tidak dicatatkan di hadapan negara dengan hanya secara agama.
Adapun pernikahan yang dimaksud di siniyaitu pernikahan yang di mana dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya ke KUA atau Disdukcapil sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif sebagaimana yang diatur dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis yang dimaksud perkawinan sesuai UU NO. 1 Tahun 1974 yang dimaksud Perkawinan ialah, “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kapan suatu pernikahan dianggap sah?
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Akan tetapi di dalam pasal yang sama ayat selanjutnya “mewajibkan” agar setiap perkawinan haruslah dicatatkan agar mendapatkan akta perkawinan atau surat nikah, persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional adalah mengenai persoalan yang belum tuntas sampai sekarang, mengenai sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan.
ADVERTISEMENT
Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, Pasal 1 merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat (1) dengan sangat jelas dan tegas menyebutkan: “Suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya”.
Dilanjutkan dengan pasal 2 ayat (2), bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan UU yang berlaku”.
Sebagai catatan
Keberadaan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak ditegaskan secara detail, apakah sekadar “pencatatan secara administratif” yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan, pasal ini telah menjadi polemik di kalangan ahli hukum, yaitu sebagian berpendapat bahwa kedua ayat itu adalah berkait satu sama lain atau tidak bisa dipisahkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa pasal tersebut terpisah atau merupakan dua perintah yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan tidak sah secara hukum tanpa adanya pencatatan nikah, sedangkan pendapat kedua menganggap bahwa sah perkawinan tidak ada hubungannya dengan pencatatan nikah.
Jika kita telaah lebih jauh Kembali apa itu “Peristiwa Hukum”, adalah segala peristiwa yang dapat menimbulkan “akibat hukum” antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum dalam peristiwa tersebut, apa itu hubungan hukum? hubungan hukum ialah hubungan antara dua orang tau lebih subjek hukum dalam hubungan ini terdapat hak dan kewajiban sementara hubungan hukum harus ada dasar hukum yang mengaturnya diikuti dengan peristiwa hukum.
Sebagai contoh peristiwa kelahiran seseorang, kematian seseorang, perkawinan seseorang, ke semuanya merupakan peristiwa penting yang dapat dijadikan peristiwa hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum jika dicatatkan ke negara peristiwa tersebut dan ke semuanya dan bukan pula menjadi syarat hukum, maka dari itulah adanya mekanisme pencatatan terkait peristiwa itu semua, semisal seperti pencatatan kelahiran dan kematian melewati mekanisme disdukcapil, perkawinan siri atau perkawinan diluar KUA dapat dicatatkan melewati mekanisme itsbat nikah dengan jalur permohonan pengadilan agama.
ADVERTISEMENT
Menurut pandangan subjektif penulis perkawinan sebagai peristiwa hukum ditentukan oleh agama, dan bukan oleh pencatatan perkawinan tersebut, karena lagi-lagi di dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak ada penegasan tentang perkawinan apakah sekadar “pencatatan secara administratif” yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing? ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan?
Inilah kemudian menjadi soal keambiguaitasan mengenai status perkawinan siri, Jadi apa yang dilakukan tidak perlu dipaksakan sebagai alasan untuk mengkriminalisasikan pelaku nikah siri/perkawinan karena tidak mempunyai akibat hukum, dan tidak bisa mengesampingkan sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut syari’at masing-masing agama.
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum dan sebagai salah satu alat bukti perkawinan.
ADVERTISEMENT
Kemudian pertanyaannya bagaimana jika pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut agama, dan memenuhi rukun nikah sebagaimana diatur oleh agama?
Apa konsekuensi dan akibat hukumnya?
Perlu kita ketahui bahwa suatu perkawinan kalau diulang akad nikahnya, maka akad nikah yang baru menjadi tidak sah. Islam mengenal tajdidun nikah/memperbaharui nikah, tetapi bukan berarti nikah sebelumya dibatalkan.
Pengertian Pasal 1 UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang menetapkan perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditafsirkan 2 hal berikut :
a) Di dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak boleh terjadi dan berlaku “Hukum Perkawinan” yang bertentangan dengan ajaran dan kaidah-kaidah Islam bagi orang-orang Islam dan demikian pula bagi orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu tidak boleh terjadi dan berlaku hukum perkawinan yang bertentangan dengan ajaran dan kaidah-kaidah agama mereka.
ADVERTISEMENT
b) Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at atau Hukum Perkawinan Islam bagi orang Islam,dan demikian pula bagi orang Nasrani, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu negara wajib menjalankan hukum perkawinan sesuai agama mereka, sekadar dalam menjalankan Hukum Perkawinan itu memerlukan bantuan atau perantaraan Negara.
Penulis berpandangan bahwa Pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 sekadar dipandang sebagai suatu peristiwa penting yang bertujuan untuk mendapatkan akibat hukum serta hubungan hukum dari pencatatan pernikahan tersebut, adapun peristiwa tersebut menjadi Peristiwa Hukum bukan peristiwa hukum, sama halnya Pesta Perkawinan adalah peristiwa penting, tetapi bukan peristiwa hukum, dan bukan pula menjadi syarat hukum.Perkawinan sebagai peristiwa hukum ditentukan oleh agama.Dalam pada itu,pencatatan perkawinan tidak perlu dipaksakan sebagai alasan untuk mengkriminalisasikan pelaku nikah siri karena tidak mempunyai akibat hukum,dan tidak bisa mengesampingkan sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut syari’at masing-masing agama.
ADVERTISEMENT
Namun perlu diingat Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum,kemudahan hukum, dan juga sebagai salah satu alat bukti perkawinan.
Dalam pada itu,jika pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut agama, telah sah pula menurut Pasal 2 ayat (1).
Kalau diulang akad nikahnya, maka akad nikah yang baru menjadi tidak sah.Islam mengenal tajdidun nikah, tetapi bukan berarti nikah sebelumya dibatalkan.
Pencatatan perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) tidak menunjukkan kualifikasi sederajat yang bermakna sahnya perkawinan menurut agama adalah sama dengan pencatatan perkawinan,sehingga yang satu dapat menganulir yang lain.
Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan syarat tunggal sahnya suatu perkawinan,yang sudah dengan jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1),dan penjelasan Pasal 2 ayat (2) di mana pencatatan hanya berfungsi sebagai pencatat peristiwa penting sebagaimana peristiwa penting lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam pada itu,pencatatan perkawinan tidak perlu dan tidak akan mempunyai akibat hukum,apalagi dapat mengesampingkan sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut agamanya.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 2 dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,sesuai dengan UUD NRI ’45. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pencatatan perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) tidak menunjukkan kualifikasi sederajat yang bermakna sahnya perkawinan menurut agama adalah sama dengan pencatatan perkawinan, sehingga yang satu dapat menganulir yang lain, perkawinan menurut masing-masing agama merupakan syarat tunggal sahnya suatu perkawinan,yang sudah dengan jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1), dan penjelasan Pasal 2 ayat (2) tidak dapat mengesampingkan sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut agamanya. Karena yang dimaksud frasa “menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya, dan kepercayaan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, kesimpulan penulis di dalam UU nomor 1 tahun 1974 berkaitan sah tidaknya suatu perkawinan telah jelas ditafsirkan di dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan di dalam penjelasan pasal demi pasal khusus pasal 2 UU nomor 1 tahun 1974, jadi berkaitan dengan pencatatan tidak mempunyai keharusan yang menjadi persoalan adalah terhadap seseorang yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada negara yang bersangkutan bertujuan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum dan sebagai salah satu alat bukti perkawinan.
ADVERTISEMENT