Konten dari Pengguna

Anomali Putusan Pengadilan Perdata Menjegal Pemilu 2024

3 Maret 2023 22:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhia Perdana Sikumbang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kecaman keras datang dari berbagai pihak pascaputusan perdata yang diajukan Partai Prima setelah menggugat KPU. Hasilnya, Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat telah memutus untuk menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. Banyak yang menilai putusan yang dikeluarkan Pengadilan Jakarta Pusat tersebut melebihi kewenangannya dalam memeriksa dan mengadili perkara yang notabenenya adalah Perkara Perdata dalam kualifikasi Perkara Perbuatan Melawan Hukum.
ADVERTISEMENT
Ada hal menarik yang penulis lihat dari Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Jakarta Pusat tersebut yang di mana pada amar putusan angka 5 yaitu “menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.”
Dalam kaitannya, amar ini dianggap beberapa ahli Hukum Tata Negara dan para Pemerhati Pemilu dan sejumlah Parpol adalah hal yang merupakan melampauai kewenangan hakim Pengadilan Negeri yaitu memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan putusan “serta merta” (erga Omnes). Hal ini membuat implikasi kepada publik atau pihak yang di luar perkara, padahal sama-sama kita ketahui bahwa putusan tersebut murni putusan perkara perdata dalam perkara perbuatan melawan hukum.
ADVERTISEMENT

Melihat Kembali asal muara Perkara Gugatan yang disengketakan

Perkara ini bermula dari gugatan yang didaftarkan Partai Prima kepada KPU ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Salinan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Bawaslu RI memerintahkan KPU memberikan kesempatan kepada Partai Prima untuk memperbaiki hasil verifikasi administrasi terhadap data dan dokumen persyaratan meliputi persyaratan kepengurusan Parpol. Namun KPU tidak dapat melaksanakan hal itu sehingga Partai Prima sempat juga mengajukan Gugatan kepada PTUN Jakarta dengan Nomor Register Perkara: 425/G/2022/PTUN.JKT tertanggal 30 November 2022 dengan Objek sengketa yaitu Berita Acara Nomor 275/PL.01.1-BA/05/2022 tanggal 18 November 2022 yang dikeluarkan KPU.
Namun pada sidang dismissal, gugatan ditolak Majelis Hakim PTUN karena dianggap tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara 425/G/2022/PTUN.JKT yang dimohonkan. Sehingga setelah itu Partai Prima kembali menggugat lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Adapun tergugat adalah KPU yang dianggap tidak menjalankan Putusan Bawaslu RI Nomor: 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 tanggal 4 November 2022 dan hal tersebut memberikan kerugian kepada Partai Prima yang menjadi Penggugat dalam Perkara yang sedang heboh saat ini. Hal tersebut secara hukum sah-sah saja dilakukan.
ADVERTISEMENT

Hal yang menarik dalam amar Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst

Di dalam Putusan tersebut yang menjadi perhatian Penulis pada amar putusan angka 5 yaitu “menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.” Amar putusan yang dikabulkan ini secara Hukum Acara Perdata tentu yang termuat di dalam Gugatan Penggugat karena Ultra petitum di dalam Perkara Hukum acara perdata tidak diperkenankan hal ini diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut(petitum).
Dan amar tersebut menurut penulis Bersifat Erga Omnes dan Inter pares sementara Perkara a quo tersebut merupakan Perdata Murni yang bersifat Inter Pares atau mengikat hanya kepada Para Pihak yang bersengketa saja. Karena sejatinya Hakim pada Pengadilan Negeri hanya bersifat memutus kepentingan para pihak dan tidak berwenang melebih batas fungsinya karena jika kita balik kan kepada basic Hukum Perdata merupakan tatanan Hukum Privat bukan bersifat Publik ataupun administrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitannya sebagai contoh Putusan yang bersifat erga Omnes dan Inter pares ada pada Putusan Mahkamah Konstitusi dan Putusan PTUN di mana putusan tersebut harus memberikan kepastian hukum mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara yang tidak sah, disisi lain Putusan Ergo omnes juga dianggap memasuki fungsi perundang-undangan karena hakim tidak semata-mata menetapkan hukum untuk suatu peristiwa konkret tapi hukum bagi peristiwa yang akan dating. (mengikat publik).
Seharusnya Gugatan yang diajukan Partai Prima sebagai Penggugat yang menggugat KPU dalam perkara perdata Perbuatan Melawan Hukum tersebut N.O atau niet ontvankelijke verklaard Gugatan Tidak Dapat Diterima karena petitum yang diminta kepada Majelis Hakim telah melampaui yurisdiksi kewenangan Pengadilan Negeri dalam Memeriksa, memutus serta mengadili Perkara tersebut karena petitum yang dimintakan melebihi kewenangan majelis hakim dalam pengadilan negeri dalam perkara perdata dan petitum dan amar yang menyatakan meminta Tergugat atau KPU untuk menunda melaksanakan sisa tahapan pemilu tersebut adalah hal yang keliru karena KPU adalah Lembaga Penyelenggara Pemilu yang mana diamanatkan KOnstitusi sesuai Pasal 22 e ayat (5) disebutkan Bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pasal 22 e ayat (1) disebutkan secara jelas Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Kekeliruan yang nyata Putusan Perdata yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara a quo adalah hal yang sudah menciderai fungsi hakim peradilan perdata yang melampaui kewenangannya, sehingga terhadap hakim yang membuat putusan tersebut harus segera ditindaklanjuti Komisi Yudisial untuk memeriksa Hakim tersebut.