Konten dari Pengguna

Eksistensi Saksi Testimonium de Auditu dalam Pembuktian persidangan

14 Agustus 2021 9:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhia Perdana Sikumbang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhia Perdana Sikumbang
zoom-in-whitePerbesar
Yudhia Perdana Sikumbang
ADVERTISEMENT
Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat kuat kedudukannya dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan, karena itu kedudukan saksi merupakan sebagai salah satu alat bukti di persidangan untuk dapat membuat terangnya suatu perkara.
ADVERTISEMENT
Secara umum definisi saksi menurut KBBI adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian), didalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana keterangan saksi termasuk merupakan alat bukti. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) tentang Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.) (“HIR”) atau 283 RBG dimana pada pokoknya dinyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan alat-alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “KUHAP” yang terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
pixabay.com
Apabila merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menurut pasal 1 butir ke 26 definisi saksi yaitu “Orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
ADVERTISEMENT
Didalam Praktek peradilan, jenis saksi sendiri banyak macamnya, mulai dari istilah dan perbedaannya, seperti adanya istilah saksi yang meringankan, memberatkan, saksi mahkota, hingga saksi testimoni auditu.
Untuk dapat memahami apa dan dimana letak perbedaannya penulis akan mencoba menjelaskan apa saja jenis dan istilah dari saksi yang dalam praktek dengan penamaannya.
Pertama, Saksi memberatkan (a charge) merupakan keterangan saksi yang memberatkan terdakwa di persidangan, jenis saksi ini pada prakteknya adalah saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum didalam persidangan dan saksi korban juga termasuk kedalam jenis saksi memberatkan ini.
Kedua, saksi meringankan(a de charge) merupakan keterangan saksi yang dimana saksi tersebut yang diajukan terdakwa melalui penasihat hukumnya dalam rangka kepentingan pembelaan terdakwa dipersidangan, hal ini mempunyai dasar hukum yaitu pasal 65 KUHAP jo Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 yaitu : “tersangka tau terdakwa berhak mengajukan untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlia khusus guna memberikan keterangan yang menuntungkan bagi dirinya.”
ADVERTISEMENT
Ketiga, saksi mahkota, jenis saksi ini adalah penyebutan dan atau istilah lain bagi tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang dimana bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana dalam artian mereka saling bersaksi, dan jenis saksi ini memang tidak ada diatur didalam KUHAP namun pada praktek saksi mahkota ini sering diajukan oleh kejaksaan didalam perkara yang ia tangani khusus perkara yang dilakukan penuntutan terpisah dari satu rangkaian peristiwa.
Bagaimana dengan istilah “Saksi Testimonium de auditu”?
Diketahui Istilah testimonium de auditu yaitu merupakan kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, berbeda dengan definisi saksi pada umumnya yang dimana definisi saksi tersebut adalah perihal, yang dilihat, didengar, dialami langsung saksi testimonium de auditu adalah mendengar dari orang lain atau keterangan saksi yang berdasarkan yang ia dengar dari orang lain. Pada prinsipnya kesaksian ini dalam praktek masih terdapat perbedaan pendapat baik itu dikalangan akademisi maupun kalangan praktisi.
ADVERTISEMENT
Kesaksian Testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu (Putusan MARI No.308K/Sip./1973 tanggal 11 Nopember 1959), sedangkan persangkaan saja yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan ada hubungannya satu sama lain.
Persoalannya, jika ditarik kasus perkasus sebagai contohg apakah dalam konteks hukum keluarga saksi, yang tidak melihat dan menyaksikan sendiri tidak disebut kesaksian? lalu apakah ada saksi yang benar-benar menyaksikan perselisihan dan pertengkaran, didalam Hukum keluarga sebagai contoh persoalan perceraian (seperti dalam kasus ini, didalam kasus perceraian dimana saksi pertamanya nya adalah adik kandung sendiri dari seorang istri yang mengajukan perceraian yang tinggal satu rumah dengan saksi pertama, sangat mengetahui persoalan rumah tangga kakaknya dan saksi kedua saksinya yaitu sepupu yang tidak tinggal serumah yang hanay mengetahui persoalan hanya berdasarkan cerita langsung dari seorang istri yang mengajukan perceraian tersebut, yang mana tidak satu rumah, padahal saksi kedua secara materil merasakan ada ketidak beresan di dalam rumah tangga sepupunya tadi). Atas perihal tersebut majelis hakim harus secermat mungkin menimbang fakta hukum yang tercantum juga dalam berita acara.Jika berita acara tidak lengkap atas keterangan saksi, maka majelis hakim pun akan tidak lengkap di dalam memberikan penilaian terhadap para saksi.
ADVERTISEMENT
Menurut pandangan penulis jika fakta yang terjadi seperti ini harusnya majelis hakim cermat karena testimonium audetu tidak harus selalu ditolak, hakim harus cerdas menggunakan keyakinannya, karena hakim selalu diannggap tau, dan hakim adalah corong undang undang, sebab testimonium de auditu dapat dibenarkan dan dalam membenarkan testimonium de auditu sebagai alat bukti, perlu kecermatan, karena menururt penulis testimonium de auditu bisa digunakan untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 818K/Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984.Dalam putusan tersebut menyebutkan testimonium de auditu sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa.
Didalam putusan tersebut dalam perkaranya hanya saksi pertama atau hanya satu saksi yang tau tentang persoalan hukum pada waktu itu tentang Jual-beli, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebaga saksi de auditu, “Persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi.
ADVERTISEMENT
Menurut Munir Fuady (2012:54), saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti,namun hal tersebut sangat bergantung pada kasus per kasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi deauditu, misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkanke dalam kelompok yang dikecualikan, saksi deauditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
Hakim harus berpikir karena dianggap selalu tau
Satu hal yang harus diperhatikan bahwasanya tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (toenforce the truht and justice), sedangkan hakim dalam proses peradilan tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan dan hakim tidak berperan sekadar seperti makhluk tak berjiwa (antre anemimes). Oleh karenanya terhadap keterangan saksi de auditu sesungguhnya tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti,permasalahannya adalah bukan mengenai ditolak atau diterimanya testimonium de auditu sebagai alat bukti.
ADVERTISEMENT
Sikap yang tepat adalah diterima saja dulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsiona luntuk menerimanya, kalau ada baru dipertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi deauditu tersebut.Didalam khazanah peradilan Islam telah dikenal dengan apa yang disebut syahadahalistifadhah atau kesaksian bersifat muan’an yakni kesaksian yang didapat dari orang lain (Bastary, 2012: 1). Dalam hukum acara perdata disebut dengan testimonium de auditu.
Fokus utama dari dipakai nya saksi de auditu adalah sejauh mana saksi tersebut dapat dipercaya atas keterangan nya selaku saksi. Jika menurut hakim yang menyidangkannya ternyata keterangan saksi tersebut cukup reasonable(beralasan), keterangan saksi itu dapat diakui sebagai alat bukti tidak langsung, yakni lewat alat bukti petunjuk.Jadi pada dasarnya walaupun kesaksian de auditu (saksiyang mendapat keterangan yang diberitahukan/diperoleh dari orang lain)dikecualikan dari keterangan saksi, tapi setidaknya dapat menjadi alat bukti petunjuk.
ADVERTISEMENT

terakhir

Majelis hakim tidak boleh sembarangan mengesampingkan saksi testimonium de auditu dalam pertimbangan hukumnya, harus kemudian cerdas menimbang, karena jika saksi de auditu bisa digunakan untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis seperti di yurisprudendi diatas, jangan karena hanya melihat tekstual kemudian mengenyampingkan kontekstual. Sebab dalam menjatuhkan putusan tidak selalu melulu hanya berlandaskan asas kepastian hukum yang menjadi pertimbangan, ada asas keadilan, dan kemanfaatan. Relevansi ketiganya harus kemudian singkron
Penulis : Yudhia Perdana Sikumbang’
merupakan Advokat,Legal Konsultan & Mediator