Konten dari Pengguna

Membangun Nalar Hukum dalam Vonis Perkara Richard Eliezer

19 Februari 2023 21:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhia Perdana Sikumbang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terdakwa Richard Eliezer tiba di ruang sidang untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa Richard Eliezer tiba di ruang sidang untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu kita mendengar atau melihat di media massa maupun online akhir dari persidangan Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua, di mana dalam kasus tersebut Richard eliezer di vonis oleh majelis hakim dengan vonis pidana penjara 1,5 tahun (1 tahun, 6 bulan) penjara karena ia menjadi justice collaborator.
ADVERTISEMENT
Diketahui sebelumnya Richard Eliezer dituntut oleh Penuntut Umum selama 12 tahun penjara, sementara Bripka Ricky Rizal Wibowo dihukum selama 13 tahun penjara, padahal kita sama-sama menyaksikan dalam sidang yang diliput oleh media tersebut terungkap fakta persidangan bahwa Richard eliezer merupakan eksekutor mendiang Brigadir Joshua dengan perintah Ferdy Sambo dan Bripka Ricki Rizal wibowo pada waktu itu menolak untuk mengeksekusi Brigadir Joshua.
Dalam hal ini ada beberapa catatan penulis terhadap vonis tersebut yang mana dijadikan pertimbangan hakim dalam putusannya. Apakah majelis hakim tersebut melupakan SEMA Nomor 4 tahun 2011?
Diketahui di dalam SEMA tersebut untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator. Yang bersangkutan harus mengakui kejahatan yang dilakukannya dan bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan saksi di dalam proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Nah, apabila kita lihat dalam perkara Richard Eliezer, perkara tersebut merupakan perkara tindak pidana umum yang seharusnya tidak berlaku pengajuan justice collaborator dalam perkara tersebut.

Perihal Vonis Rendah dari Tuntutan dalam Perkara Richard Eliezer

Diketahui dalam penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap seseorang terdakwa sepenuhnya bergantung kepada penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan. Sebab, majelis hakim terikat dengan minimal dua alat bukti dalam memutus seorang terdakwa bersalah atau tidak Pasal 183 KUHAP.
Kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut. Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu sesuai Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut. Sementara vonis yang dijatuhkan kepada Richard Eliezer dalam perkara pembunuhan Brigadir Joshua tampaknya di mata publik melahirkan pro dan kontra.
Publik ramai-ramai mendukung bahwa Richard Eliezer harus di vonis ringan dari tuntutan, agaknya hal tersebut terwujudkan di mana tuntutan penuntut umum terhadap Richard Eliezer adalah 12 tahun penjara namun majelis dalam perkara tersebut justru memutus dengan 1 tahun dan enam bulan penjara. Secara hukum, hal ini adalah hal yang dibenarkan di mana rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa bukan surat tuntutan jaksa.
ADVERTISEMENT
Jika melihat, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 354) menuliskan: Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Karena di dalam KUHAP sendiri tidak ada pengaturan bahwa Majelis hakim dalam memutus perkara harus sesuai dengan apa yang dituntut Penuntut Umum.
Penuntut Umum perkara Richard Eliezer kita ketahui dalam tuntutannya, menyimpulkan Richard Eliezer telah memenuhi unsur perbuatan pembunuhan berencana sebagaimana yang telah didakwakan dalam dakwaan Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat ke-1 KUHP pertanyaannya kenapa majelis hakim bias menghukum Richard Eliezer dengan pidana 1,5 tahun padahal diketahui ancaman hukuman pasal tersebut sangat tinggi, secara logika hukum kita mengetahui bahwa di dalam KUHP sendiri dalam pasal-pasalnya hanya mengatur maksimum penjara misalkan seperti pasal 340 KUHP berbunyi sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Di dalam Pasal 340 KUHP di atas frasanya tidak mengatur tentang minimal hukuman tetapi maksimal hukuman, berbeda dengan Undang-undang khusus seperti Undang-Undang Narkotika yang mengatur minimal dan maksimal seperti contoh pasalnya sebagai berikut.
“Pasal 112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
ADVERTISEMENT
Jadi majelis hakim dalam suatu tindak pidana dalam memutus bersalahnya seorang terdakwa tidak boleh memutus di bawah minimal dan maksimal dari ancaman pasal yang sudah ditentukan Undang-undang tersebut, jika memutus di bawah atau di atas tuntutan yang buat oleh penuntut umum hal tersebut diperbolehkan dan memang kewenangan hakim dalam hal ini sesuai penjelasan di atas.

Perihal Jaksa atau Penuntut Umum dalam Perkara Eliezer Tidak Mengajukan Banding

Penulis lebih menyoroti hal ini, di mana pernyataan Kejaksaan Agung dalam vonis Richard Eliezer tidak akan mengajukan banding karena menilai bahwa pertama keluarga korban Alm. Brigadir Joshua mengikhlaskan dengan putusan majelis hakim dan jaksa dan penuntut umum pun menghormati majelis hakim tersebut di samping itu juga karena Richard Eliezer sebagai saksi justice collaborator.
ADVERTISEMENT
Di dalam SOP kejaksaan dalam hal putusan hakim diputus lebih dari 2/3 tuntutan maka SOP kejaksaan dalam menangani perkara wajib banding hal ini dituangkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/J-A/4/1995 di mana dalam Bab Upaya Hukum.
1) Permintaan pemeriksaan tingkat banding agar dilaksanakan Jaksa Penuntut Umum dalam hal, pertama, terdakwa banding maka Jaksa Penuntut Umum harus meminta banding agar masih dapat mengunakan upaya hukum kasasi karena adanya ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI.
Kedua, putusan Hakim lebih rendah dari 2/3 (dua pertiga) tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum. Ketiga, putusan Hakim 20 (dua puluh) tahun pidana penjara atau kurang dari 20 (dua puluh) tahun penjara, sedangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah pidana mati. Dan, keempat, putusan Hakim 20 (dua puluh) tahun pidana, sedangkan Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Jadi di dalam perkara vonis Richard eliezer secara normatif melihat SOP kejaksaan idealnya mereka harus mengajukan banding karena Putusan Hakim lebih rendah dari 2/3 (dua pertiga) tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
Surat edaran Jaksa Agung ini lahir dengan latar belakang agar tuntutan pidana yang memenuhi rasa keadilan masyarakat; membuat jera pelaku tindak pidana, menimbulkan efek pencegahan dan memiliki daya tangkal bagi yang lain; menciptakan kesatuan kebijakan penuntutan sejalan, dengan asas bahwa Kejaksaan adalah satu tidak dipisah-pisah; mencegah disparitas tuntutan pidana atas perkara sejenis antara satu daerah dan daerah lain dengan memperhatikan kasustik pada setiap perkara pidana.
Apabila hal ini merupakan hak preogratif Jaksa agung untuk menentukan jaksa banding atau tidak di dalam perkara Richard eliezer dalam vonis majelis hakim yang memvonis 1,6 tahun terhadap Richard eliezer dengan mengesampingkan surat edaran di atas, maka haruslah kemudian dapat menjadi preseden tentang keadilan substanstif yang di mana dapat diterima masyarakat seperti kata keterangan kejaksaan agung yang diwakili yang diwakili Fadil Zumhana dalam keterangan persnya pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2023.
ADVERTISEMENT
Jadi dalam hal terdakwa sudah dimaafkan oleh keluarga korban dan terdakwa mengajukan diri sebagai justice collaborator maka secara logika haruslah dapat juga diterapkan hal yang sama, jika hal ini memang keadilan substanstif.
Menurut penulis di dalam Hukum Acara Pidana yang dipraktikkan khususnya di Indonesia saat ini Putusan Hakim maupun aparat penegak hukum lainnya lebih mengedepankan keadilan Prosedural dan bukan substansial atau substantif, artinya apabila hal ini menjadi tonggak pembaharuan peradilan kita dalam menyikapi suatu perkara maka kita harus sama-sama bersepakat untuk melihat ini sebagai kemajuan berfikirnya Hukum Negara kita secara progressif.
Karena penulis khawatir keadilan di dunia peradilan kita hari ini dibentuk dan digiring oleh logika awam (trial by the netizen) dan bukan dengan cara kerja peradilan yang sudah tersistem tersebut, karena sejatinya hukum merupakan suatu sistem dan khususnya di dalam Hukum Acara Pidana saya berpendapat bahwa sampai hari ini harus mengedepankan dan mengadopsi keadilan prosedural.
ADVERTISEMENT
Apabila hal ini merupakan kemajuan dalam dunia peradilan kita saat ini izinkan saya mengutip Teorinya Lawrence Friedman tentang budaya hukum, saya berharap teori ini dapat berjalan di negara Indonesia yang kita cintai ini yaitu di mana.
“Budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang sebenarnya; dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma yang dimilikinya menciptakan norma hukum’.”