6 Hambatan Ekspor Indonesia

Yudhistira Haryo Nurresi Putro
Micro Entrepreneur Facilitator of Jakpreneur
Konten dari Pengguna
10 Maret 2020 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhistira Haryo Nurresi Putro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok : yuksinau.id
zoom-in-whitePerbesar
Dok : yuksinau.id
ADVERTISEMENT
Ekspor adalah sebuah kegiatan, sederhananya memindahkan barang dari satu tempat kepada tempat lainnya ke luar daerah pabean Indonesia dalam rangka transaksi.
ADVERTISEMENT
Pada setiap kegiatan ekspor, hambatan adalah keniscayaan. Hambatan tersebut memiliki pengaruh terhadap kinerja yang output-nya adalah "apa yang dihasilkan dan berapa banyak yang di dapatkan?".
Kali ini mencoba sedikit mengurai apa saja yang menghambat ekspor Indonesia secara umum :
1) Ekspor Indonesia selama ini cenderung ditopang natural intensive products
Sejauh ini dalam 50 tahun terakhir, Indonesia mayoritas mengandalkan ekspor komoditas ke luar dibandingkan produk manufaktur, Faktor pertama adalah sebagian besar Pengusaha memilih mengekspor komoditas secara langsung tanpa diolah karena sudah memiliki harga cukup tinggi.
Faktor kedua penyebab komoditas menjadi pendorong ekonomi karena keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing masih tertinggal jika dibandingkan tetangga dari ASEAN lainnya. Peringkat easy of doing business Indonesia berada pada posisi 73 berdasarkan data World Bank pada akhir 2019.
ADVERTISEMENT
2) Surplus Perdagangan disebabkan karena kenaikan harga dan bukan karena nilai tambah
Mengindikasikan bahwa belum optimalnya industri manufaktur sebagai lini yang mampu memberi nilai tambah terhadap suatu produk, jika ditarik lebih jauh melambatnya manufaktur bisa jadi disebabkan DNI (Daftar Negatif Investasi) Indonesia yang masih tinggi sehingga menghambat investor masuk. Manufaktur Indonesia belum cukup kuat juga terindikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
• Sebaran Industri belum merata di daerah.
• Produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan atau permintaan bahan baku domestik.
• Kandungan impor yang tinggi pada produk manufaktur menyebabkan kinerja ekspor non-migas menjadi fluktuatif.
• Kandungan impor yang tinggi menyulitkan perencanaan dan pengendalian biaya produksi untuk mewujudkan perusahaan yang efisien serta produktif.
ADVERTISEMENT
3) Pemaparan market analysis atau market intelligence masih minimal
Indonesia memiliki perwakilan dagang di luar negeri yakni ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) dan Atase Perdagangan, pada periode 2013-2017 pemaparan berupa market intelligence dan market brief akan suatu produk masih diterbitkan.
Pada 2018 hanya satu yakni ITPC Osaka menerbitkan pemaparan tentang produk seafood di pasar Jepang, hingga kini belum ada lagi pemaparan yang diterbitkan.
Untuk dapat mengecek market brief atau market inte
lligence pada suatu negara yang dikeluarkan oleh ITPC/Atase Perdagangan pada tahun sebelumnya, Anda dapat mencari di google dengan kata kunci : market brief Xxxxx atau market intlligence Xxxx (Sebutkan nama produknya).
4) Ego sektoral antar lembaga pemerintah terkait ekspor.
ADVERTISEMENT
Ada Suku Dinas pada tingkat kota/kabupaten, ada Dinas untuk tingkat provinsi, ada Kementerian untuk tingkat nasional dan ada pula badan-badan yang menangani teknis ekspor dalam tahapan pengurusannya.
Masing-masing Instansi memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang berbeda-beda dengan rincian detail program dan cakupan wilayah yang membatasi.
Sedikit ilustrasi betapa besarnya ego masing-masing sektoral. Pada satu kejadian antara Kementerian P & L.
Kementerian P memiliki lembaga di luar negeri yang ditugaskan sebagai sales untuk produk Indonesia, pada sisi lain Kementerian L juga memiliki lembaga yang menjadi perwakilan Indonesia sebagai sebuah negara.
Ketika ada tamu ingin meminta informasi serta baru pertama kali datang ke Perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan, namun dengan satu alasan perwakilan Indonesia ‘mengoper’ kepada lembaga dari Kementerian P yang bertugas sebagai sales untuk menangani, di satu sisi lembaga dari Kementerian P menganggap hal ini bukan menjadi ranah mereka.
ADVERTISEMENT
Pada kasus lainnya ketika lembaga dari Kementerian P ingin membuka kantor di kota dagang (bukan ibu kota) suatu negara, namun dikarenakan di Kota dagang tersebut sudah ada perwakilan Indonesia dari Kementerian LN, maka hal ini dikhawatirkan olehnya Karena bisa mengambil ranah mereka.
Persaingan antar birokrat memang menjadi keniscayaan untuk terjadi, pengertian dari mengambil ranah ini diartikan sebagai masuk ke wilayah sebagai “lapak jualan” yang dapat menggerus atau menghambat kinerja dalam rangka mencapai target melalui indikator keberhasilan yang telah ditentukan. Berujung pada usaha untuk kepentingan peningkatan kinerja dan mungkin kenaikan jabatan personel tertentu.
ADVERTISEMENT
5) Kurang pemahaman dan pengenalan terkait informasi pasar non-tradisional.
Pelaku ekspor pun bisa jadi belum memahami apa itu Negara Tujuan Ekspor (NTE) non-tradisional dan FTA. Akses informasi mungkin banyak, namun luput dari pengetahuan atau jangkauan Mereka. Sehingga diperlukan wawasan awal yang membuat mereka paham tentang peluang pada pasar non-tradisional. Sebab, NTE non-tradisional memang tidak sekadar asal masuk hanya karena menghindari NTE tradisional, sebab tiap produk punya karakteristik yang pasti berbeda dalam rangka optimalisasi pemasaran.
6) Free Trade Agreement : Dua mata pisau
Free Trade Agreement atau disingkat FTA merupakan suatu perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan antara suatu negara dengan negara lainnya. Umumnya adalah soal pengurangan tarif, Dalam perjanjian ini disepakati pengurangan (dapat hingga nol persen) tarif bea masuk untuk seluruh produk barang (terdapat negative list dan sensitive list) dan menyepakati isu perdagangan jasa serta isu perdagangan lainnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sering kali terkesan hanya ikutan dalam putaran kompromi dagang, permasalahan internal tidak diperkuat terlebih dahulu kemudian maju dengan tangan kosong dan nihil strategi pada akhirnya berdampak pada nilai ekspor yang tidak mencapai hasil yang signifikan. Indonesia dinilai masih kewalahan memanfaatkan Perundingan Perdagangan Internasional (PPI), baik yang bersifat bilateral, regional, maupun global.
Persiapan dan penyusunan strategi terkesan tak maksimal kala berhadapan dengan negara yang secara tradisi mengungguli nilai ekspor nasional, Indonesia selayaknya mempersiapkan sektor yang punya taji.
FTA merupakan pintu gerbang kemajuan perekonomian. Namun yang terjadi bak sebaliknya salah satunya melalui ACFTA, aliran deras impor dari Tiongkok pun masuk secara masif, meski ekspor Indonesia telah bebas 0% ke Tiongkok namun pukulan impor dari negara tersebut masih lebih berat.
ADVERTISEMENT
Menjadi dua mata pisau karena satu sisi Indonesia mayoritas mengapalkan migas dan bahan mentah ke Tiongkok yang pada akhirnya dengan pembebasan bea masuk merangsang keunggulan komparatif produk manufaktur negeri tersebut, pada akhirnya ekspor barang jadi yang ada di Indonesia tidak bisa disaingi secara kualitas maupun harga, berujung dengan ‘kekalahan’ Indonesia dalam upaya menguatkan posisi tawar.