Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keperkasaan Gatotkaca yang Tinggal Cerita
2 September 2020 6:37 WIB
Tulisan dari Yudi Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Ayah, kok pesawatnya dimasukin ke museum? Bukannya itu pesawat buatan bapak Habibie?” celetuk Zidan, anak kedua saya sambil matanya terus menatap televisi yang sedang menyiarkan prosesi penurunan bagian-bagian pesawat yang sudah tiba di Yogya hari ini (25/08/20).
ADVERTISEMENT
Setelah cuplikan berita itu berganti, wajahnya menatap saya, seperti menunggu jawaban dari pertanyaannya barusan. “Betul itu pesawat buatan bapak Habibie. Kalau mengapa dimasukin ke museum, Ayah tidak tahu alasannya, nak!,” ucap saya singkat. Zidan hanya diam saja mendengar jawaban saya yang singkat, tapi saya tahu otaknya sedang berputar-putar seperti ada yang sedang dipikirkannya. Sejujurnya, karena saya pun tidak mengetahui jawaban yang sesungguhnya.
Berita itu membetot perhatian anak yang masih duduk di sekolah dasar bisa jadi karena beberapa kali menyebut nama idolanya, bapak Habibie. Sosok Habibie mulai melekat di dalam pikirannya mungkin karena saya pernah mengajaknya nonton film mengenai perjalanan hidup bapak presiden ketiga kita itu di bioskop. Sejak itu, ia sering bertanya-tanya mengenai Habibie dengan penuh antusias. Dan hingga kini, harus diakui, belum ada sosok yang diidolakan anak-anak melebihi Habibie. Saya yakin jawaban itu tidak memuaskannya, seperti biasanya, pada suatu saat nanti dia akan mengajak saya mendiskusikannya kembali. Dari beberapa berita yang saya baca, memang tidak menyebutkan alasan spesifik mengapa pesawat yang diberi nama Gatotkaca itu akhirnya mendarat di museum.
ADVERTISEMENT
****
Seperti diketahui, dalam mitologi Jawa, Gatotkaca digambarkan sebagai manusia perkasa yang memiliki otot kawat, tulang besi. Selain sakti mandraguna, putra dari Dewi Arimbi juga bisa terbang. Mungkin karena terinspirasi dari tokoh pewayangan itulah, pesawat terbang baling-baling yang dibuat dan dirakit tangan-tangan terampil anak bangsa diberi nama.
Pesawat terbang yang digagas salah satu putra terbaik negeri ini almarhum Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, mengudara pertama kali pada 10 Agustus 1995. Karena uji coba waktu itu berjalan mulus, sebagai bentuk penghargaan, tanggal itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Namun perjalanan selanjutnya, banyak menghadapi kerikil tajam.
Kurang dari tiga tahun setelah peristiwa membanggakan itu, Indonesia dihantam krisis. Tidak hanya sektor ekonomi yang terpuruk, politik dan sosial pun ikut terpukul. Karena begitu dahsyatnya guncangan yang terjadi, pemerintah akhirnya mengundang IMF, lembaga keuangan internasional, untuk turun tangan mengatasi krisis.
ADVERTISEMENT
Salah satu persyaratan mendapatkan bantuan pinjaman dari IMF, pemerintah harus melakukan efisiensi anggaran. Karena industri strategis, dimana IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) termasuk didalamnya, selama ini dianggap melakukan pemborosan, maka anggarannya harus dipangkas. Nasib yang sama pun menimpa industri strategis lainnya.
Pesawat yang dipersembahkan sebagai kado 50 tahun kemerdekaan dan menjadi langkah awal kebangkitan industri dirgantara, sejak sukses dalam uji coba 25 tahun yang lalu, cerita mengenai N250 menjadi jarang sekali muncul, bagai ditelan bumi. Kalaupun beritanya muncul, karena media mewawancarai penggagasnya, BJ Habibie.
Cerita yang keluar dari bibirnya biasanya begitu begitu deras dan lancar, seperti orang tua yang bercerita mengenai prestasi atau perkembangan anaknya. Bagi Rudy, begitu beliau sering disapa, N250 mungkin sudah seperti anak ketiganya.
ADVERTISEMENT
Setelah lama tidak terdengar kembali kabar beritanya, beberapa minggu yang lalu di tengah gempita perayaan 75 tahun Indonesia merdeka, terselip berita mengenai N250. Bagi orang yang sedikit tahu kisahnya, tentu kemunculan berita itu mengusik rasa penasaran.
Namun sayang, berita yang muncul bukan dalam bentuk dukungan. Berita yang beredar di lini masa beragam media daring adalah keputusan N250 menjadi penghuni Museum Pusat Dirgantara Mandala (Muspusdirla) Yogyakarta. Iya, sang Gatotkaca itu mulai 25 Agustus 2020 sudah tidak akan pernah lagi mengudara. Dengan demikian, saya pun harus mengubur dalam-dalam impian bisa terbang bersamanya sejak 25 tahun lalu.
Terus terang, ketika membaca berita tersebut muncul perasaan campur aduk antara kaget, kesal dan sebal. Menurut saya berita ini seharusnya menjadi berita besar yang menjadi perhatian publik. Bagaimana tidak, mahakarya anak negeri yang sempat menggemparkan dunia penerbangan, karena ada sebuah negara berkembang yang kurang dikenal mampu menciptakan produk moda transportasi udara berteknologi tinggi yang dilengkapi dengan peralatan canggih di kelasnya hingga 30 tahun ke depan. Sementara negara-negara lain masih berkutat dengan moda transportasi darat, seperti mobil dan kereta cepat. Dan sekarang, mahakarya itu malah dimuseumkan.
ADVERTISEMENT
Bukankah seharusnya fakta itu menjadi momentum untuk menghidupkan dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa, bahwa kita adalah negara yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata karena telah mampu menciptakan moda transportasi udara sendiri yang bisa membuat negeri ini berdikari di bidang transportasi.
Sementara pada sisi lain, masyarakat disuguhkan produk-produk yang berasal dari negara lain. Mulai dari produk-produk remeh-temeh seperti kancing, resleting, sepatu hingga produk-produk elektronik dan alat komunikasi canggih.
Pesawat N250 itu kan bukan benda purbakala, secara teknologi masih sesuai dengan perkembangan saat ini, proses sertifikasinya pun hampir rampung, sudah 80%, tinggal sedikit lagi untuk bisa diproduksi massal, tapi mengapa harus ditempatkan disana? Mengapa tidak menuntaskan saja proses sertifikasinya sehingga impian jutaan rakyat Indonesia menjelajah nusantara dengan pesawat buatan anak negeri bisa segera terwujud.
ADVERTISEMENT
Saya sebenarnya tidak mau berspekulasi atau berfikir macam-macam mengenai latar kebijakan itu akhirnya muncul. Sempat terlintas juga dalam pikiran, jangan sampai kejadian ini membuat anak-anak bangsa yang mempunyai otak encer seperti Habibie malas atau tumbuh rasa pesimis untuk berkarya dan menciptakan produk-produk inovatif berteknologi tinggi.
Sempat juga pikiran iseng muncul, bagaimana bila kita mempunyai dua hari teknologi nasional, tanggal 10 dan 25 Agustus. Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dan 25 Agustus sebagai Hari Kemunduran Teknologi Nasional. Ini hanya pikiran iseng saja. Sukur-sukur disetujui, hehehe.
Ada juga pikiran iseng yang lain, jangan-jangan dikasih nama Gatotkaca, bukan karena melihat kesaktian dan kemampuanya terbang, tapi karena sudah memperkirakan nasibnya akan seperti ini. Kesaktiannya hanya hidup dalam dunia imaji saja, tapi tidak pernah benar-benar ada dalam kenyataan.
ADVERTISEMENT
Dengan menempatkan N250 di museum, berarti secara tidak langsung kita sedang membiarkan pesawat itu tetap hidup, tapi hanya sebatas dalam dunia imaji bangsa saja. Bila suatu saat nanti anak-cucu kita mengunjungi museum tersebut, paling tidak mereka bergumam bisa dalam hati, “Ohh ini toh, bentuk pesawat yang pernah diceritakan bapak atau kakek kita dulu!”
Ah, sudah lah, mungkin itu hanya pikiran iseng saja. Pikiran yang muncul karena masih bingung harus menjawab apa bila tiba-tiba Zidan mengajak diskusi lagi.
****
*Oleh : Yudi Rachman
Pengamat Kebijakan Publik. Peneliti di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)