Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Himpitan dalam Penyekatan
21 Juli 2021 14:13 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yudi Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemarin, seorang teman berceloteh, “Bro, PPKM Darurat diperpanjang loh. Kamu dah tau?”. “Tau sih, cuma kan daerah kita ngga ada penyekatan”, sahut ku. “Iya memang, cuma menurut gue, yang akan kena dampaknya nanti pasti rakyat kecil lagi, kisruh lagi ini ujung-ujungnya kayak kemarin,” timpalnya.
ADVERTISEMENT
Saya pun sejenak menyelami kalimat terakhir sembari nyeruput kopi hitam pahit buatan ibu kantin di kampus tempat saya mengabdi.
Karena penasaran, saya kemudian menelusuri beberapa akun berita di Instagram. Ternyata, hipotesis teman saya tadi serasi dengan fakta di lapangan. Ketegangan tak terelakkan dikarenakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM).
Tidak hanya di Jawa-Bali, pergolakan PPKM ini juga marak dibeberapa daerah. Mulai dari pengempesan ban becak motor di Tana Toraja, penutupan paksa dagangan di Medan yang berujung penyiraman air panas ke petugas, hingga yang teranyar suami istri diperlakukan kasar oleh oknum petugas PPKM di Gowa.
Saya mafhum bahwa tiap keputusan yang dicetus oleh pemerintah pasti menuai pro kontra. Menjadi lumrah karena sekarang negara ini sudah menganut paham demokrasi. Saya semula mengira hal ini biasa-biasa saja; ramai di awal, nanti juga sepi sendiri. Namun, prediksi itu ternyata meleset. Semakin hari, dampak pemberlakuan PPKM ini semakin riuh tak terkendali.
ADVERTISEMENT
Pro kontra kebijakan PPKM ini awalnya mengundang tanda tanya besar di masyarakat, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Bisa dimaklumi karena mereka lah yang paling tersudut atas pemberlakuan ini. Setidaknya, pendapatan harian mereka goyah. Bekerja bagai kuda seharian saja belum tentu bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga, apalagi ‘disuruh’ berdiam dirumah.
Tak heran, mereka tetap nekat mengais pundi-pundi sampai ada yang berprinsip, “ga apa-apa tertular, yang penting keluarga tetap bisa makan”. Sesederhana itu harapan mereka!
--------------------------------------
Sembari nyeruput kopi, jari jemari saya pun terus menari lincah di atas layar gawai untuk membuka satu persatu isi grup Whatsapp yang sudah sesak dan antre untuk dibaca.
Tanpa sengaja, saya tertuju pada potongan foto kiriman teman yang berisi aturan PPKM di negara tetangga. Isinya, “if you lost less than 20 hours of work, you’ll get up to $375 per week of lock down. If you lost 20 hours or more of work, you’ll get up to $600 per week of lockdown”.
ADVERTISEMENT
Ini menarik! Kebijakan ini cukup relevan dan logis karena ekonomi masyarakatnya dijamin oleh pemerintah. Jadi, mereka pun tak perlu repot-repot mengadu nyawa di tengah gencarnya serbuan Corona.
Saya lantas membayangkan, apakah mampu negeri ini jika menerapkan hal seperti itu?
Kartu prakerja dan subsidi bagi pelaku usaha kecil menengah memang sudah pernah diupayakan. Namun, strategi itu dianggap belum efektif karena belum berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini, malah sebaliknya. Ditambah lagi belum optimalnya PPKM, makin terhimpitlah mereka dalam penyekatan.
Kalimat sakti seperti, “Bapak enak digaji negara, saya engga pak. Mau makan apa anak saya besok kalau saya tidak jualan” menjadi default yang manjur ketika para pedagang disidak petugas PPKM untuk menutup dagangannya.
ADVERTISEMENT
Saya rasa petugas pun bakal iba mendengar kalimat tersebut, tidak tega. Tak heran, banyak warganet yang sepakat dengan luapan sang pedagang karena suara itu seolah mewakili isi hati kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Suara pedagang ini patut menjadi catatan dan bahan evaluasi bagi pemerintah setelah PPKM ini usai. Bahwa sesungguhnya mereka itu tidak digaji bulanan layaknya pekerja kantoran; bahwa mereka itu bisa makan kalau hari itu mereka jualan; bahwa mereka tidak takut jika nyawa harus menjadi taruhan. Saya percaya bahwa pemerintah pasti sangat prihatin dan turut memikirkan kemakmuran dan kesehatan rakyatnya, apalagi dalam kondisi gawat saat ini.
--------------------------------------
Ah, kopi hitam saya sudah mulai menguap, dingin. Saya tidak terbiasa nyeruput kopi dingin, takut kembung. Seperti jeritan para pedagang kecil, yang tidak terbiasa dengan aturan ini itu karena mereka lebih takut kalau perut mereka busung.
ADVERTISEMENT
Semoga setelah masa perpanjangan PPKM usai, ada titik terang yang bisa saling menguntungkan semua pihak, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah agar roda ekonomi di bawah tetap stabil untuk menopang roda atas. Dan, tidak ada lagi jeritan dan himpitan akibat kegegabahan strategi dalam menangani pandemi ini. **