Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pro dan Kontra Gelar Guru Besar
13 Juni 2021 14:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yudi Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan Indonesia memang selalu memikat untuk dibahas. Beberapa hari yang lalu, beberapa media, baik cetak maupun elektronik, ramai-ramai mengangkat berita yang sedang hangat di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Namun, persoalan yang diangkat sekarang bukan tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sedang riuh; bukan tentang sistem zonasi yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga pelaksanaannya; bukan juga tentang sistem pembelajaran selama COVID-19 yang sudah diulas ratusan kali oleh para praktisi dan akademisi.
Adalah penganugerahan sebuah gelar kehormatan yang memantik pro kontra, khususnya di kalangan akademisi.
Mungkin pembaca yang budiman pernah menjumpai gelar seseorang dengan singkatan Dr. (H.C.). ‘Dr’ atau Doktor adalah gelar yang disematkan kepada seseorang yang sudah menuntaskan pendidikan formal jenjang doktor.
Akan tetapi, apabila gelar ‘Dr’ tersebut dihiasi (H.C), maka sang penyandang gelar tentu bukan orang sembarangan. ‘H.C’ yang merupakan kependekan dari Honoris Causa dianugerahi kepada orang-orang terpilih sebagai pengakuan atas jasa-jasa yang sudah diberikan kepada masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Tentu, mereka yang mendapatkan gelar ini tidak perlu bersusah payah menempuh pendidikan formal jenjang doktor seperti kebanyakan orang. Ini bisa dikatakan merupakan jalur kilat untuk meraih gelar doktor. Tentu, ada kriteria-kriteria khusus, terukur, dan teruji agar seseorang bisa mendapatkan gelar bergengsi tersebut.
Di Indonesia, sudah banyak tokoh, pemimpin partai, menteri, bahkan komedian yang mendapatkan gelar Dr. (H.C). Dari kalangan komedian, misalnya, Lies Hartono alias Cak Lontong pernah menerima gelar bergengsi tersebut dari almamaternya, Institut Teknologi Surabaya (ITS), pada tahun 2017 silam atas dedikasi dan kiprahnya di bidang seni dan budaya.
Dalam sambutannya, yang juga mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu Susi Pudjiastuti yang juga menerima gelar serupa, Cak Lontong sempat memplesetkan kepanjangan Dr. (H.C) tersebut menjadi ‘Doktor Honor e Gausah’. Memang dasar komedian, gelar terhormat saja masih sempat dipelintir. Hehe.
ADVERTISEMENT
Namun, yang ingin saya ulas dalam artikel ini bukan pembahasan tentang gelar kehormatan Dr. (H.C). Melainkan gelar dalam dunia akademik yang (mungkin) baru disematkan kepada segelintir orang saja. Jumat lalu (11/06/21), Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) secara sah menganugerahi gelar yang tergolong langka, yaitu gelar Guru Besar Tidak Tetap dengan gelar ‘Prof. (H.C)’, atau Professor Honoris Causa.
Tentu, untuk merengkuh level tertinggi gelar akademik tersebut, seseorang mesti bersusah payah dalam menulis artikel yang diterbitkan di jurnal bereputasi, mengumpulkan angka kredit yang tidak sedikit, serta mencurahkan segala tenaga untuk melakukan kegiatan pengabdian di masyarakat.
Gelar langka tersebut disematkan oleh Unhan RI melalui sidang senat terbuka Pengukuhan Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Strategik FSP Unhan RI kepada Presiden ke-5 RI Prof. Dr. (H.C) Hj. Megawati Soekarnoputri.
ADVERTISEMENT
Memang, tidak ada unjuk rasa menolak penganugerahan itu secara luring, yang ada unjuk rasa secara daring.
Sejumlah praktisi hingga akademisi mengkritisi gelar kehormatan tersebut yang dirasa ‘terlalu mudah’ untuk didapat, atau ada kesan seperti ‘diobral’. Salah satunya terlontar dari Associate Professor Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir. Melalui portal CNN Indonesia, Sulfikar Amir menyatakan bahwa pemberian gelar yang ‘asal-asalan’ akan menciderai serta mengotori proses akademik.
Memang secara legal formal, penganugerahan gelar Guru Besar Tidak Tetap termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengankatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 154/E/KP/2013 tentang Guru Besar Tidak Tetap.
Akan tetapi, menurut Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto bahwa sampai saat ini kampus-kampus di Indonesia belum memiliki standar dan etika yang akurat dan terukur dalam pemberian gelar maupun jabatan akademik itu.
ADVERTISEMENT
Dua pandangan tersebut mendapat balasan dari dua Guru Besar dari dalam dan luar negeri. Mengutip dari laman Sindo, Rektor Universitas Negeri Padang, Prof. Ganefri, menyatakan bahwa Bu Mega sudah layak mendapatkan gelar Guru Besar Tidak Tetap karena sudah melalui rangkaian uji kelayakan yang objektif oleh tim promotor.
Beliau juga menambahkan bahwa Bu Mega juga sudah pernah mendapatkan beberapa gelar Dr. (H.C) dari berbagai universitas di dalam dan luar negeri. Inilah yang kemudian memperkuat alasan mengapa Bu Mega memang patut dan memenuhi syarat menyandang gelar Profesor Kehormatan.
Xu Liping, Guru Besar dari University of Chinese Academy of Social Sciences, juga sependapat dengan Prof. Ganefri. Xu Liping mengutarakan bahwa Megawati dianggap berhasil mendorong anggota ASEAN dengan Tiongkok untuk menandatangani Code of Conduct (CoC) untuk Laut China Selatan.
ADVERTISEMENT
Dampak dari CoC ini sangat signifikan bagi perdamaian dan kestabilan di kawasan. Atas dasar itu, Xu Liping yang merupakan peneliti sekaligus Guru Besar Hubungan Internasional ini sangat mendukung gelar Profesor Kehormatan untuk Megawati.
Merespons pro dan kontra dari para profesor di atas, saya pribadi lebih memilih melihat hal ini dari dua sisi. Megawati merupakan seorang tokoh nasional, putri dari pendiri bangsa Indonesia, serta memiliki banyak kontribusi terhadap bangsa ini, terutama pada saat menjabat sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia rentang 2001-2004.
Megawati juga sudah berperan besar dalam mendorong dan mengawal reformasi besar dalam tata politik dan pemerintahan di Indonesia, khususnya pada saat negara dan bangsa Indonesia mengalami masa-masa sulit pasca reformasi 1998. Saya sendiri pada saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar dan belum begitu paham tentang isu-isu pelik negara. Yang saya tau saat itu harga permen eceran masih lima puluh perak.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penganugerahan gelar Guru Besar Tidak Tetap, atau Profesor Kehormatan, atau disingkat Prof. (H.C) sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti).
Hal ini sebagai bentuk antisipasi dan pengawasan terhadap kampus yang bisa saja (mungkin) memberikan gelar secara serampangan kepada orang-orang yang belum dianggap layak menyandangnya.
Jangan sampai, gelar akademis yang memiliki marwah mulia di dunia pendidikan tercoreng dengan kecerobohan sebuah institusi pendidikan dalam memberikan gelar-gelar kepada seseorang. Apalagi pemberian gelar tersebut sarat dengan nuansa politik, misalnya.
Bagaimana menurut pembaca sekalian? Saya yakin pasti pembaca sekalian juga memiliki asumsi yang beragam, kan? Selamat berargumen!
Oh iya terakhir, selamat atas gelar profesornya, Bu Mega!!
ADVERTISEMENT