Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Skripsi Palsu
11 September 2021 13:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yudi Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat masih menjadi mahasiswa sarjana, saya adalah satu dari sekian banyak mahasiswa di kampus yang awalnya (mungkin) buta tentang apa itu skripsi, bagaimana proses menulisnya, dan seberapa besar dampaknya terhadap kelulusan saya.
ADVERTISEMENT
Pikiran saya saat itu, skripsi hanyalah sebuah bundelan kertas tertata rapi yang disampul hardcover, serta dibubuhi tanda tangan pembimbing dan beberapa penguji. Itu pun saya ketahui belakangan setelah mendapat mentoring dari kakak tingkat di kampus.
Di tahun kedua kuliah, saya mulai meringankan langkah untuk melenggang ke perpustakaan demi meminjam buku kuliah yang harganya lumayan menguras kantong.
Sekalian, menuntaskan rasa penasaran saya tentang rupa skripsi itu. Saya menyambangi perpustakaan yang berada di lantai 7 dengan menaiki belasan anak tangga, soalnya kalau naik lift selalu sesak!
Tahun ketiga, barulah ada kesempatan untuk mengambil mata kuliah Metodologi Penelitian. Yang dipelajari yaitu perihal teknik, metode, membuat analisis, sampai dengan menyimpulkan hasil penelitian.
Tak jarang, dosen saat itu menyemangati kami dengan segelintir untaian kata-kata magis nan bijak, “Menulis skripsi itu adalah sebuah proses. Jadi nikmatilah setiap prosesnya.”
ADVERTISEMENT
Setahu saya, menulis skripsi adalah sebuah pekerjaan yang rumit, menguras waktu, serta bisa menyebabkan kemageran. Dengan begitu, mana mungkin saya bisa menikmati prosesnya? Keluh saya saat itu.
Di tahun keempat, saya perlahan mulai menggarap skripsi. Harap diketahui, kami mahasiswa jurusan pendidikan saat itu baru berhak menulis Skripsi di semester 8. Semester 7 dihabiskan di tempat praktik. Jadi, kami baru benar-benar merasakan getirnya merangkai kata di Bab 1 dan 2 itu sejak semester 8.
Adrenalin serasa dipacu untuk segera lulus tepat waktu. Ditambah lagi harus kejar-kejaran dengan pembimbing. Alhasil, saya pun banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, mengais referensi, diskusi, dan kadang tidur siang juga di sana. Yang terakhir tidak untuk ditiru!
ADVERTISEMENT
Strategi mepetin kakak tingkat untuk mentoring sampai mengekor dosen pembimbing untuk minta validasi adalah dua dari sekian jurus agar tujuan paripurna tercapai, sidang skripsi dan lulus. Sampai sebegitunya usaha demi lulus.
Dan ternyata, ini yang yang dinamakan ‘menikmati proses’ kata dosen saya itu; hanya untaian konotasi belaka!
***
Beda masa, tentu beda juga strategi. Zaman now, tentu masih banyak mahasiswa yang berjuang pontang-panting seperti saya dulu, atau bahkan lebih ekstrem.
Tapi, setelah saya amati, ada juga sekelompok mahasiswa yang tidak mau bersusah payah menggarap skripsi. Entah karena sibuk, malas, atau memang awam; hanya Tuhan dan mereka yang tahu.
Celah kecil ini pula yang kemudian dimanfaatkan oleh para joki untuk meraup pundi. Seperti ungkapan, “Selalu ada kesempatan dalam setiap kesempitan”.
ADVERTISEMENT
Bagi para joki, skripsi ini bagaikan ‘barang’ komersil yang laris manis untuk digarap. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Dulu, waktu masih nguli di ibu kota, saya pernah diceritakan oleh seorang teman dan malah sampai diajak untuk bergabung menjadi joki, alias oknum pembuat skripsi tadi.
Namun, rayuan gombal itu saya tolak dengan prinsip bahwa saya tidak mau ‘kaya’ dengan cara ‘berdusta’ walaupun pundi yang ditawarkan sangat menggiurkan. Tidak etis rasanya menyebutkan nominal, tapi sekali garap cukuplah untuk beli motor bebek bekas.
Strategi jualan yang terselubung dan apik membuat praktik ilegal ini dengan leluasa bergerak dan nyaris tak tersentuh. Bagi yang ingin selesai tanpa harus bersusah payah, ada opsi sewa oknum untuk menuntaskan bundelan berpuluh halaman itu.
ADVERTISEMENT
Cukup dengan mengeluarkan kocek rupiah, skripsi jadi, sidang, lulus, dan wisuda dengan gelar sarjana. Sangat sederhana.
Apakah kejahatan akademis seperti itu bisa dihentikan? Tentu ini kembali kepada mahasiswa sendiri. Saya cemas kalau hal ini dibiarkan terus-menerus, maka akan ada ribuan skripsi palsu yang menghiasi rak-rak perpustakaan dan laman repository.
Akhirnya, skripsi hanya sebatas ‘syarat’ untuk lulus saja, bukan media untuk mengasah kemampuan berpikir ilmiah mahasiswa.
Jika tujuan utamanya hanya untuk mendapatkan selembar kertas tipis ijazah menggunakan skripsi palsu, percayalah itu semua hanya tanda bahwa anda pernah sekolah, bukan tanda bahwa anda pernah berpikir (Rocky Gerung).
Terakhir, pesan saya untuk para mahasiswa semester akhir, skripsi adalah wadah untuk menuangkan segala pemikiran kritis analisis dalam mengungkap suatu krisis.
ADVERTISEMENT
Kalau itu semua menjadi pemikiran kritis dan analisis palsu, niscaya jalan hidupmu ke depan juga akan penuh dengan kepalsuan.
Apalagi, ketika kalian tersenyum sumringah menggenggam skripsi palsumu, percayalah, skripsi palsumu itu juga akan ‘tertawa’ melihat kepalsuanmu. **