Konten dari Pengguna

Bagaimana Komunikasi Terapeutik Mampu “Menyembuhkan” Seseorang

Yudistira Putra
Mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Airlangga
10 Desember 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudistira Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komunikasi terapeutik: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Komunikasi terapeutik: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembuka, saya hendak menekankan bahwa komunikasi terapeutik tidak “benar-benar” menyembuhkan seseorang secara langsung. Masyarakat sekarang memiliki kecenderungan untuk mengkonkretkan sesuatu yang sebetulnya merupakan kiasan, semisal ketika kita mengeluarkan sebuah ungkapan seperti:
ADVERTISEMENT
Akan banyak dari masyarakat kita yang sebetulnya tidak memahami bahwa buah apel, atau Malus domestica, jika kita benar-benar ingin ilmiah, benar-benar menjauhkan dokter dari kita. Sebuah apel hanya mengandung kandungan vitamin C yang tinggi, dan dengan demikian meningkatkan kadar sistem imun kita – kita tidak mudah sakit – kita tidak perlu ke dokter, sesederhana itu!
Tentunya kita dapat melihat bahwa hal ini serupa dengan peran komunikasi terapeutik dalam kehidupan kita sebagai seorang dokter: apakah komunikasi terapeutik mampu “menyembuhkan” pasien kita? Tidak. Namun, sama seperti apel, apakah itu artinya komunikasi terapeutik menjadi tidak penting karena “apel” atau komunikasi terapeutik tidak “menjauhkan dokter” atau menyembuhkan pasien secara langsung? Tentu tidak.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah, bagaimana sih sebetulnya komunikasi terapeutik mampu membantu tenaga medis (terutama dokter) dalam hal menyembuhkan pasiennya?
Untuk memulai, komunikasi terapeutik mampu meningkatkan kepuasan pasien seorang dokter. Di mana kepuasan pasien di sini adalah berbanding lurus dengan berbagai hal, salah satunya adalah kepuasan staf.
Meski terdengar cukup unik, ketika seorang pasien berbahagia karena sang dokter berhasil mengkomunikasikan diagnosis kita secara terapeutik, staf klinik/rumah sakit tersebut akan memberikan umpan balik yang positif juga kepada pasien tersebut! Menghasilkan sebuah siklus kepositifan yang berputar dan berputar!
Selain itu, komunikasi terapeutik tentu akan membuatnya lebih compliant ‘taat’ kepada instruksi dokternya. Bayangkan sebuah skenario di mana kita adalah sebagai pasien. Kita sudah sakit-sakitan, lelah, dan ingin segera sembuh.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika kita pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan, sang dokter berbicara dengan suara datar semi-mengerang seolah-olah ia baru saja bangun dari tidur 1000 tahunnya. Bukankah kita akan malas dengan dokter seperti itu? Bahkan mungkin muncul sentimen, “bila dokter yang menasihatiku tentang kesehatan saha berlaku seperti seorang mayat hidup, maka mengapa aku harus mengikutinya??”
Alhasil terjadi ketidaktaatan.
Namun, apabila sang dokter dengan antusias, compassionate, dan dengan atentif memberikan perawatan kepada pasiennya dengan niat hati yang tulus untuk mengobati pasiennya, bukankah sang pasien akan terenyuh dengan hal tersebut?
Yang terakhir, komunikasi terapeutik memungkinkan pasien kita untuk menurunkan rasa kecemasannya.
Ketika seorang dokter berbicara dengan halus dan lembut, pasiennya akan mengalami kecenderungan untuk merasa damai di hati mereka, bahwa mereka di sini tidak berjalan sendirian dan kita sebagai tenaga medis akan ada di samping mereka dalam perjalanan ini. Ini tentunya menjadi salah satu komponen inti dalam penyembuhan, orang yang cemas adalah orang yang irasional, dan orang yang irasional akan mengambil keputusan yang kurang bijaksana.
ADVERTISEMENT
Tentunya, seorang dokter yang baik tidak mau pasien kita mengambil keputusan yang gegabah. Kita ingin pasien mengambil keputusan yang terbaik, bagi kesehatannya.
Bagi seorang dokter yang terfokus kepada apa yang riil saja, tugasnya hanyalah satu, yaitu mengembalikan fungsi fisiologis pasien ke kondisi semula
Akan tetapi, bagi seorang dokter yang benar-benar mengabdi bagi kesehatan pasiennya, kesehatan tidak hanya terletak di tubuh dan daging, namun juga kepada hati dan jiwa pasiennya.