Hikayat Buku dan Minat Literasi Kita

Yulfita Risnawati
Menekuni dunia pendidikan sejak lulus S1 Hukum UII, pernah mengajar di Sekolah Inklusi Sunni. Mempunyai ketertarikan di dunia pariwisata dan kuliner. Saat ini menjadi pemilik dan pengajar di lembaga pendidikan mandiri.
Konten dari Pengguna
14 Januari 2024 10:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yulfita Risnawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap weekend atau ketika tidak ada kesibukan mengajar, aku selalu meluangkan waktu berjalan-jalan ke toko buku. Di Kota Jogja ada banyak toko buku, mulai dari Shopping Centre di selatan Pasar Beringharjo, toko buku Toga Mas di Jalan Gejayan, Sosial Agency yang pamornya mulai surut atau di toko buku Gramedia.
ADVERTISEMENT
Dulu di akhir 90-an, toko buku menjadi pusat informasi dan tempat anak muda untuk healing. Toko buku dan perpustakaan daerah selalu ramai berjubel dengan orang-orang yang tidak hanya mengerjakan skripsi atau tesis tetapi juga untuk membaca surat kabar dan bersosialisasi. Tetapi dekade belakangan ini toko buku dan perpustakaan kehilangan gaungnya. Internet dan gadget menggantikan peran buku secara significant. Cukup dengan menggeser dua jari maka informasi akan tersaji.
Dominasi buku tidak hanya digantikan e-book tetapi juga kesenangan lewat media sosial dan game online. Menurut Gita Wirjawan, keberadaan e-book pun tidak seberkembang buku di zamannya. Mantan menteri perdagangan era SBY itu menyebut, kesenangan membaca buku yang pernah dirasakan generasi X dan generasi milenial, tidak akan dipahami oleh generasi Z.
ADVERTISEMENT

Minat Baca Rendah dan Tidak Beretika

Dalam diskusinya dengan Co-founder Periplus Bookstore, Judo Suwidji, Gita Wirjawan mengeluhkan minat baca anak muda kita yang cenderung rendah. Menurut data UNESCO tahun 2017, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah perihal literasi dunia. Persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, jika berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 278,69 juta jiwa. Maka dari 1,000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang mau membaca.
Sementara berdasarkan survei dari Program of International Student Assessment (PISA) tahun 2019, minat baca Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara. Artinya, Indonesia termasuk dalam 10 negara yang memiliki tingkat literasi terendah di antara negara-negara yang disurvei. Uniknya, dari sisi penilaian infrastuktur yang mendukung budaya baca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
ADVERTISEMENT
Berkebalikan dengan minat baca yang rendah, pengguna aktif media sosial di Indonesia begitu besar. Menurut We Are Sosial, pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada tahun 2022. Survei Kementerian Kominfo dan Katadata Insight Center (KIC) tahun 2021 juga menyebut, mayoritas orang Indonesia menggunakan media sosial terutama whatsapp, Instagram, facebook dan Tik-tok untuk berinteraksi sehari-hari.
Kegemaran masyarakat Indonesia bersosial media nyatanya berimbas kepada cap sebagai pengguna sosial media paling tidak beretika. Dalam laporan 'Digital Civility Index (DCI) tahun 2020, netizen Indonesia menjadi netizen paling tidak beretika se-Asia. Di mana survei ini menyangkut keterpaparan mereka terhadap 21 risiko online yang berbeda melalui empat kategori. Yaitu perihal reputasi, perilaku, seksual, dan pribadi.
ADVERTISEMENT
Judo Suwidji menilai kemunduran tingkat kesopanan netizen Indonesia disebabkan paparan informasi sesat serta hoaks yang berkeliaran di media sosial. Menurut Co-founder Periplus Bookstore itu, buku dan surat kabar selalu melalui proses kurasi atau editing sehingga terjaga kualitas informasinya. Sementara generasi saat ini lebih menyukai berita yang singkat dan cepat tetapi cenderung tanpa kurasi dan rentan paparan hoaks. Yang dicari hanya yang mudah didapat (tinggal geser dua jari) serta menyenangkan saja (dopamine). Kebiasaan instan itu menunjukkan kecenderungan pemikiran yang kurang mendalam, dangkal serta emosional. Terlalu diambil kulitnya saja tetapi tidak didalami.

Indonesia Emas dan Minat Literasi

Ilustrasi anak sekolah SD Negeri Foto: Shutter Stock
Pada tahun 2045 atau 100 tahun setelah Indonesia merdeka, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia sekitar 70%-nya adalah usia produktif (15-64 tahun), kemudian 30%-nya penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun). Di era itu, Indonesia digadang-gadang memasuki masa Indonesia Emas.
ADVERTISEMENT
Persentase anak muda produktif yang begitu besar bisa menjadi motor bagi kemajuan bangsa. Peran anak muda dan media sosial menjadi penyangga bagi budaya literasi di masa depan. Judo Suwidji menyebut, rata-rata buku yang meledak (best seller) saat ini, biasanya karena popular di media sosial. Artinya masih ada ruang-ruang bagi perbaikan melalui kebijakan bersosial media. Selanjutnya peran pemerintah menjadi kunci untuk mengeluarkan regulasi yang mendorong perbaikan budaya literasi.
Literasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin “literatus” yang berarti orang yang belajar. Di mana proses belajar sangat berhubungan dengan aktivitas membaca dan menulis. Secara lebih kontekstual, National Institute for Literacy mendefinisikan Literasi sebagai “suatu kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Dari semua definisi tentang literasi, kemampuan baca-tulis menjadi intinya.
ADVERTISEMENT
Jika melihat fakta saat ini, mungkinkah Indonesia Emas dapat terwujud tanpa literasi? Gita Wirjawan dan Judi Suwidji dalam diskusinya di Endgame, optimis bahwa negeri bisa mewujudkan Indonesia Emas yang berliterasi. Kuncinya terletak pada pondasi budaya adiluhung nenek-moyang kita, yaitu budaya gotong royong. Ditanggung bersama-sama oleh segenap pihak dan dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur.
Serupa dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara, budaya literasi harus disemai dan ditumbuhkan sejak dari rumah tangga, dipupuk di institusi pendidikan, dan dirawat oleh seluruh lapisan masyarakat. Selanjutnya, media kontemporer (baik internet maupun televisi) harus turut serta untuk menyiram dan memberi cahaya kehangatan cita-cita mulia itu.
Mustahil kita dapat menaikkan derajat dialektika bangsa Indonesia tanpa tumbuh subur dan mewanginya bunga literasi di negeri ini. Mari kita bersama-sama, bergotong-royong dan bersiap mengambil peran!
ADVERTISEMENT