Konten dari Pengguna

Membangun Kembali Kepercayaan Merek Setelah Krisis

Yuliani Dewi Risanti
Dosen Program Studi Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Padjadjaran.
10 Agustus 2024 14:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuliani Dewi Risanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Respon Komunikasi Krisis,  Sumber: dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Respon Komunikasi Krisis, Sumber: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Di penghujung Mei 2024, media sosial Instagram dan TikTok dihebohkan dengan video seekor tikus yang sedang asyik makan kue di etalase toko kue merek ternama di sebuah Mal di kawasan Jakarta Utara. Video berdurasi dua belas detik itu menjadi viral dan dalam sekejap mendapat beragam reaksi dari penontonnya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, pihak manajemen langsung memberikan pernyataan kepada media bahwa toko akan ditutup sementara selama tiga hari. Keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari upaya menangani insiden yang terjadi dan menunjukkan komitmen terhadap kualitas dan kebersihan makanan.
Dalam keterangan resminya disebutkan bahwa perusahaan juga akan membuang produk dan kemasan yang dipajang serta peralatan dapur yang mereka gunakan. Selain itu, perusahaan juga berkomitmen untuk mengganti seluruh tampilan etalase dan akan bekerja sama dengan ahli pengendalian hama serta berkoordinasi dengan manajemen mal.
Media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari bagi sebagian besar orang, dan betapa cepatnya berita buruk dan isu-isu buruk menyebar melalui media sosial tidak dapat dihindari. Meskipun lingkungan media sosial terus berubah, aturan dasar komunikasi krisis tetap sama.
ADVERTISEMENT
Krisis ini harus ditangani dengan cepat, akurat, profesional, dan hati-hati. Selain menambah kejujuran, ketulusan, dan transparansi, media sosial telah membawa rencana komunikasi ke tingkat yang baru dengan mempercepat prosesnya (Goh, 2020). Penting untuk mulai membangun upaya media sosial organisasi dan tidak menunggu hingga krisis terjadi.
Berdasarkan percakapan online yang dipantau pada akun Instagram resmi perusahaan, diketahui mayoritas pengikut mempertanyakan kebersihan dan keamanan merek tersebut dari hama tikus. Kejadian ini menjadi pertanda krisis kepercayaan konsumen yang dapat menyebabkan rusaknya reputasi perusahaan.
Ilustrasi pembeli melakukan negosiasi dengan penjual di sebuah toko. Foto: Getty Images
Menurut Robert G. Eccles, dkk dalam tulisannya yang berjudul Reputation and Its Risk pada Harvard Business Review, menyebutkan bahwa perusahaan dengan reputasi positif yang kuat akan memberikan nilai lebih. Pelanggan akan menjadi lebih setia dan membeli lebih banyak produk dan layanan dari perusahaan yang memiliki reputasi yang baik karena pelanggan percaya perusahaan tersebut akan menghasilkan produk yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari hal tersebut, menjaga reputasi perusahaan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan dan keberlanjutan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang.
Perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis, terutama dengan adanya sosial media yang penggunaannya sudah sangat melekat pada sebagian besar masyarakat menyebabkan perubahan pada bagaimana perusahaan harus merespons krisis.
Rumor mengenai insiden yang terjadi pada perusahaan akan dengan cepat mudah tersebar dalam hitungan detik. Publik cenderung menyenangi rumor yang belum tentu kebenarannya sehingga menggerus kepercayaan publik pada perusahaan tersebut serta berdampak langsung pada menururnnya penjualan.
Bagaimana sebaiknya perusahaan merespons krisis komunikasi di era digital? Selain melakukan benchmark atau berdasarkan pengamatan pada bagaimana cara perusahaan lain menangani krisis, perusahaan juga dapat merancang strategi penanganan krisis berdasarkan teori.
ADVERTISEMENT
Situational Communication Crisis Theory (SCCT) dari W. Timothy Coombs pada tahun 2007 adalah teori dalam bidang komunikasi krisis. Dalam teori ini menunjukkan bahwa seorang manajer krisis harus mampu menyesuaikan strategi respons krisis dengan tingkat tanggung jawab dan ancaman pada reputasi yang ditimbulkan oleh adanya krisis. Menurut Coombs, strategi dalam merespons krisis mempunyai tujuan dalam melindungi reputasi, mengubah persepsi pada organisasi saat krisis serta mengurangi dampak negative yang ditimbulkan akibat krisis.
Ilustrasi affiliator. Foto: metamorworks/shutterstock
SCCT menunjukkan bahwa cara perusahaan berkomunikasi dengan publiknya akan memengaruhi persepsi public terhadap organisasi tersebut. Persepsi tersebut dapat membentuk bagaimana publik suatu perusahaan bereaksi atau berperilaku secara emosional terhadap perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, keputusan komunikasi yang diambil oleh manajer krisis setelah krisis dapat mempunyai konsekuensi yang besar, baik positif maupun negatif. Manajer krisis harus bertindak secara strategis untuk menyelamatkan reputasi organisasi. Penelitian Coombs tentang teori komunikasi krisis situasional berfokus pada respons krisis dan pengaruh reputasi perusahaan.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan hal tersebut, respons mendasar pada awal krisis perlu dilakukan, misalnya dengan mendefinisikan permasalahan apa saja yang terjadi, bagaimana isu tersebut bisa mengarah pada krisis dan berdampak pada pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. Perusahaan perlu menyesuaikan informasi dengan apa yang dilakukan perusahaan untuk mencegah terulangnya krisis (Coombs, 2007). Selain kompleksitas yang terlibat dalam komunikasi krisis itu sendiri, teknologi komunikasi digital semakin memperumit cara krisis dikelola dan dikomunikasikan (Veil, et.al, 2011).
Media sosial dapat menjadi platform yang efektif bagi organisasi untuk mencegah eskalasi krisis lebih lanjut. Perusahaan harus mempercayai dan memelihara hubungan yang jujur dengan konsumen. Memberikan informasi yang transparan kepada konsumen dan memastikan bahwa mereka benar-benar memahami permasalahan yang ada merupakan cara yang lebih efektif dan efisien dibandingkan mengadakan konferensi pers dan menggunakan media massa tradisional untuk menyebarkan pesan klarifikasi.
ADVERTISEMENT
Namun kredibilitasnya tetap harus dipertimbangkan karena alasan itu juga. Salah satu sumber kredibilitas adalah keterpercayaan. Hal ini dapat merugikan perusahaan jika publik eksternal mempunyai persepsi bahwa pesan yang disampaikan dalam platform resmi sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan. Untuk meningkatkan kredibilitas pesan dan sumber informasi, perusahaan harus tetap menjaga komunikasi yang transparan dengan audiens untuk mendapatkan lebih banyak kepercayaan dan menciptakan niat untuk menyebarkan informasi dengan sukarela melalui konten buatan pengguna sebagai media yang dapat meningkatkan kredibilitas pesan. dan sumber informasi.
Pasalnya, isu negatif bisa terjadi kapan saja dan perusahaan harus siap meresponsnya dengan segera. Semakin lama perusahaan menunggu untuk merespons, semakin besar krisis yang terjadi. Ketika sebuah organisasi mengabaikan apa yang dikatakan atau ditulis pelanggan di media sosial, masyarakat dapat mulai berpikir berbeda dan mengambil kesimpulan sendiri yang dapat menyesatkan informasi dan berdampak buruk pada reputasi perusahaan. Setiap krisis harus ditangani dengan hati-hati karena strategi komunikasi tertentu bisa sangat efektif dalam beberapa kasus, namun tidak cocok untuk kasus lainnya. Pada akhirnya, setiap respons terhadap krisis harus menjadikan pelanggan sebagai prioritas mereka, sikap yang tulus dan tulus dalam menjelaskan apa yang terjadi dan niat untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan akan membantu krisis reda dan mendapatkan kembali kepercayaan.
ADVERTISEMENT