Konten dari Pengguna

Ketimpangan Akses Pendidikan: Anak dari Keluarga Miskin Terkendala Biaya

Yulianingsih
Mahasiswa UIN Jakarta Prodi Manajemen Pendidikan
24 November 2024 13:04 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yulianingsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/children-infant-girl-school-306607/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/children-infant-girl-school-306607/
ADVERTISEMENT
Dalam membangun masa depan bangsa, Pendidikan menjadi fondasi yang paling utama yang dibutuhkan untuk mencetak generasi bangsa. Pendidikan juga merupakan hak dasar bagi setiap anak yang berarti, setiap anak berhak mendapatkan Pendidikan. Karena dengan Pendidikan, anak-anak diharapkan mampu memunculkan potensi terbaik mereka, mengatasi tantangan hidup yang akan dihadapinya, dan berkontribusi bagi masyarakat. Tapi sayangnya, pada kenyataan yang ada di lapangan menunjukan bahwa, masih banyak ketimpangan besar yang terjadi pada Pendidikan di Indonesia, terutama anak-anak yang berasal dari keluarga miskin. Masalah besar yang harus mereka hadapi adalah biaya Pendidikan yang semakin tinggi, hal ini memicu terjadinya putus sekolah dikalangan pendidik dari golongan miskin.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun ajaran 2023/2024 menunjukan bahwa tingkat putus sekolah mencapai 0,19% untuk tingkat SD, o,18% di tingkat SMP, 0.19% di tingkat SMA, dan 0,28% untuk tingkat SMK. BPS juga mencatat angka pengulangan pada siswa di sekolah. Angka tertinggi ada pada tingkat SD dengan angka mengulang sebesar 0,46% kemudian disusul oleh tingkatan SMK dengan 0,27% SMP dengan 0,46% dan SMA dengan 0,18% (Irfan, 2024).
Alasan utama penyebab terjadi ketimpangan pendidikan adalah ketidakmampuan membayar biaya Pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah di daerah Pendesaan, yang di mana akses ke sekolah sangat terbatas dan banyak anak yang harus berjalan jauh untuk belajar.
Selain itu, kualitas Pendidikan di daerah terpencil juga masih jauh dari standar. Kurangnya guru yang kompeten, minimnya buku pelajaran, hingga fasilitas seperti listrik dan internet yang tidak memadai membuat anak di daerah tersebut tertinggal dan sulit bersaing dengan mereka yang berada di perkotaan.
ADVERTISEMENT
Dari kisah seorang anak Bernama faldo (13) dari Kupang, NTT adalah contoh bahwa kemiskinan memang masih membayangi harapan anak-anak untuk bersekolah sesuai usianya. Ia terpaksa putus sekolah karena keluarnganya tidak mampu membayar uang komite sebesar Rp50.000 per bulan. Ibunya harus menghidupi tujuh anak tanpa bantuan sang ayah yang tak lagi mengirimi uang dari perantauannya. Faldo tidak memiliki pilihan lain, meski memiliki keinginan besar untuk kembali belajar, ia hanya bisa berkata, “mau sekolah, tapi siapa yang bayar?”, kisah ini diambil dari laporan UNICEF dan data yang menunjukan 70% anak putus sekolah selama pandemi disebabkan kendala ekonomi. Data lebih lengkap dapat ditemukan di laporan UNICEF terkait Pendidikan selama pandemi.
Masalah ini bukan hanya soal ketidakadilan, tetapi juga menjadi ancaman nyata terhadap masa depan bangsa. Jika hal ini terus dibiarkan, ketimpangan Pendidikan akan menghasilkan generasi yang tidak siap menghadapi tantangan global, bukan hanya itu hal ini juga akan memperbesar skala kesenjangan ekonomi, dan menghambat kemajuan sosial.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan akses Pendidikan ini tidak datang begitu saja, ada beberapa faktor yang memengaruhinya, yang paling utama adalah biaya Pendidikan yang tinggi. Meskipun sekolah negeri menawarkan Pendidikan gratis hingga tingkat tertentu, tetap saja itu menjadi beban besar bagi keluarga miskin. Komponen biaya seperti seragam, buku pelajaran, alat tulis, transportasi, hingga kebutuhan tambahan seperti uang ekstrakurikuler sering sekali memberatkan siswa. Selain itu juga, sekolah swasta yang kualitasnya lebih baik biasanya membutuhkan biaya masuk dan bulanan yang jauh lebih tinggi, sehingga menjadi tidak terjangkau bagi Sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah. Laporan BPS (2022) menunjukkan 25,9% keluarga miskin mengalami kesulitan membiayai pendidikan anak. World Bank juga menggarisbawahi bahwa biaya tambahan di luar biaya sekolah menjadi kendala utama.
ADVERTISEMENT
Bahkan, laporan UNICEF (2021) menyebutkan dana BOS yang terbatas, serta ketimpangan distribusi dana di daerah berpendapatan rendah menurut UNESCO. program subsidi Pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) pun sering kali tidak bisa menjangkau anak-anak yang benar-benar membutuhkan bantuan. Banyak anak yang tidak mendapatkan akses ke program ini karena berbagai kendala seperti administratif, kurangnya informasi, atau krateria penerima yang terlalu ketat. Di sisi lain, alokasi anggaran untuk daerah terpencil juga sering kali terbatas, hal ini menyebabkan sekolah-sekolah di sana kekurangan fasilitas, tenaga pengajar, dan dukungan operasional.
Ketimpangan tersebut bisa membawa dampak besar, salah satunya adalah tingginya angka putus sekolah. Ketika biaya sekolah terasa lebih berat daripada kebutuhan primer, banyak keluarga akhirnya lebih memilih untuk menghentikan Pendidikan anak-anak mereka. Akibatnya, anak-anak ini sering kali terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena tidak memiliki Pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah jangka Panjang. Anak-anak yang tidak mengenyam Pendidikan dengan baik akan tumbuh menjadi generasi yang kurang terampil, sulit bersaing, dan tidak mampu mendukung pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam skala nasional, hal ini memperburuk kesenjangan sosial dan menghambat kemajuan Indonesia di tengah persaingan global dari Laporan UNESCO (2022).
Oleh karena itu, ketimpangan akses Pendidikan bukanlah masalah tanpa jalan keluar. ketimpangan akses Pendidikan harus segera menjadi perhatian utama. Pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta perlu bersinergi untuk memastikan bahwa Pendidikan benar-benar bisa dinikmati oleh semua anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka.
Tanpa langkah nyata, masa depan anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin akan terus terancam. Ada banyak langkah yang bisa diambil untuk memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, dapat menikmati hak yang sama untuk bersekolah.
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya utama yang bisa dilakukan adalah dengan memperluas program beasiswa yang dikhususkan untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Beasiswa ini harus dirancang untuk mencakup tidak hanya biaya sekolah, tetapi juga kebutuhan lain seperti seragam, buku pelajaran, transportasi, hingga alat pendukung lainnya. Proses pemberian beasiswa ini juga perlu lebih transparan dan sederhana agar anak-anak yang benar-benar membutuhkan dapat merasakan tanpa kesulitan.
Selain beasiswa, Pendidikan gratis harus diperluas cangkupannya, tidak cukup hanya memberikan Pendidikan gratis di jenjang dasar, pemerintah harus memastikan bahwa anak-anak dapat mengakses Pendidikan hingga jenjang menegah atas tanpa memikirkan biaya. Namun, kebijakan ini tidak hanya berhenti pada pembebasan biaya. Kualitas sekolah-sekolah gratis harus terus ditingkatkan agar anak-anak tidak hanya memiliki akses, tetapi juga mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Subsidi Pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) juga memegang peranan penting. Sayangnya, program ini masih memiliki banyak kelemahan dalam distribusinya. Dengan memperbaiki mekanisme pemberian subsidi, terutama di daerah-daerah terpencil, lebih banyak anak akan memiliki peluang untuk melanjutkan Pendidikan mereka. Proses pengajuan yang sederhana, sistem yang transparan, dan sosialisasi yang efektif kepada masyarakat adalah kunci agar program ini bisa lebih tepat sasaran.
Tidak hanya dari sisi kebijakan, peningkatan fasilitas Pendidikan di daerah terpencil juga menjadi langkah yang penting. Sekolah-sekolah yang minim fasilitas harus segera mendapat perhatian. Gedung sekolah yang layak, alat pembelajaran yang memadai, hingga ketersediaan guru berkualitas adalah kebutuhan dasar yang harus segera dipenuhi. Guru yang ditempatkan di daerah terpencil juga perlu diberikan insentif lebih agar mereka merasa dihargai atas dedikasinya.
ADVERTISEMENT
Langkah ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja. Kerja sama dengan sektor swasta dan Lembaga nonprofit sangat diperlukan. Program-program seperti pengadaan alat tulis gratis, pembangunan perpustakaan keliling, atau pelatihan keterampilan tambahan bagi siswa miskin bisa menjadi upaya yang nyata untuk mengurangi kesenjangan Pendidikan. Melibatkan lebih banyak pihak akan mempercepat langkah terwujudnya Pendidikan yang inklusif.
Selain langkah-langkah teknis, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarkat tentang pentingnya Pendidikan. Di banyak daerah, masih ada orang tua yang memandang Pendidikan sebagai suatu yang tidak prioritas karena keterbatasan ekonomi. Penyuluhan dan kampanye yang dilakukan di tingkat komunitas dapat membantu mengubah pandangan ini, sehingga orang tua lebih mendukung anak-anak mereka untuk terus bersekolah.
Ketimpangan Pendidikan adalah masalah yang kompleks, tetapi solusi selalu ada jika kita bergerak Bersama. Dengan langkah yang tepat, mulai dari perluasan beasiswa, Pendidikan gratis, perbaikan subsidi, peningkatan fasilitas, hingga kesadaran masyarakat, mimpi tentang Pendidikan yang merata dan adil bisa menjadi kenyataan. Masa depan bangsa ini ada di tangan anak-anak kita, dan sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk memastikan mereka memiliki kesempatan yang sama untuk meraih impian mereka.
ADVERTISEMENT
Yulianingsih
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Manajemen Pendidikan