Konten dari Pengguna

Pesantren dalam Pentas Politik

Yuliar
Seorang mahasiswa
20 Oktober 2021 8:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuliar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Para Santri Sedang Mengaji | Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Para Santri Sedang Mengaji | Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Secara historis, fungsi dasar pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan tradisional yang berbasis Islam. Namun demikian, tak dinyana, pesantren juga memiliki kedudukan yang penting dalam ranah politik, baik dalam lingkup masyarakat tradisional maupun nasional. Posisi pesantren selalu berada dalam pusaran arus tarik-menarik kepentingan politik. Sehingga, tidak sedikit pesantren yang pada akhirnya terlibat dalam arus tersebut.
ADVERTISEMENT
Hampir pada setiap kontestasi politik, pesantren dan para figur di dalamnya selalu menjadi target empuk untuk dijadikan vote getter. Bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam, tetapi juga oleh partai-partai politik nasionalis. Apalagi, sejak kontestasi Pemilu Presiden 2014 lalu, wacana politik identitas dengan simbolisasi dan atribusi bernuansa keagamaan semakin menguat. Tak ayal, pesantren pun banyak dikunjungi oleh calon-calon pejabat dengan beragam janji dan jargon-jargon sesaat.
Sebenarnya, keterlibatan santri dalam dunia politik bukanlah hal yang baru. Sejarah mencatat bahwa keterlibatan santri dalam dunia politik sudah lama terjadi dalam periode perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dapat kita lihat misalnya, pada Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Peristiwa Resolusi Jihad ini disinyalir menjadi titik tolak kebangkitan para santri dalam memperjuangkan NKRI. Resolusi Jihad yang digelorakan KH. Hasyim Asy’ari menjadi pemantik semangat sekaligus menginspirasi para pejuang untuk terjun ke medan pertempuran.
ADVERTISEMENT
Di era reformasi, partai politik berbasis Islam yang melibatkan peran figur pesantren semakin banyak bermunculan. Fenomena lahirnya partai-partai politik Islam tersebut, menurut Romli (2004), setidaknya dilatarbelakangi oleh 4 faktor, yaitu faktor teologis, sosiologis, historis, dan reformasi. Faktor teologis berkaitan dengan pandangan din wa daulah dalam Islam, yakni agama dan negara tidak dapat dipisah. Sehingga, manifestasi dari pandangan tersebut adalah diperlukannya kekuasaan politik sebagai upaya menerapkan syariat dan hukum-hukum Islam dalam sebuah pemerintahan negara.
Kemudian, faktor sosiologis berkaitan dengan jumlah umat muslim mayoritas di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, tentu menjadi kesempatan penting bagi tokoh-tokoh Islam untuk membangun wadah bagi aspirasi politik umat muslim di Indonesia. Oleh karena itu, adanya partai-partai politik Islam secara otomatis akan mendapat massa yang cukup besar dari kalangan umat Islam.
ADVERTISEMENT
Bertumbuhnya partai politik Islam juga tidak lepas dari faktor historis yang memperlihatkan peran para kiai dan para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi politik perjuangan bernapaskan Islam, seperti Nahdatul Ulama dan Sarekat Islam.
Sementara itu, faktor yang terakhir adalah terkait dengan reformasi itu sendiri. Era reformasi memberikan kesempatan dan kebebasan bagi berbagai golongan dan kelompok untuk berekspresi. Termasuk salah satunya adalah golongan Islam yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan dengan membentuk partai partai politik bernapaskan islam.
Seiring berjalannya waktu, pesantren memang tidak lagi berpaku pengajaran nilai-nilai agama Islam secara tradisional saja. Kini, pesantren telah bertransformasi menjadi lembaga pendidikan dengan budaya keilmuan yang kritis, nasionalis, dan moderat. Dapat dikatakan demikian karena pada faktanya, tidak sedikit pesantren yang mampu mencetak kader-kader bangsa yang aktif dalam diskursus kenegaraan. Sebut saja misalnya, Gus Dur. Gus Dur yang notabene merupakan cucu pendiri organisasi Islam Nahdlatul ulama, tentu sangat dekat dengan kehidupan pesantren. Namun, siapa sangka bahwa kehidupan pesantren yang dikenal dengan label “tradisional” itu justru mampu mencetak sosok negarawan yang begitu disegani bangsanya.
ADVERTISEMENT
Di kalangan umat Islam, kiai diposisikan sebagai suatu entitas elite yang memiliki kedudukan terhormat. Kiai dipandang sebagai figur yang berpengetahuan luas dan menjadi teladan bagi umat Islam. Sehingga, tidak heran apabila kiai menjadi sumber legitimasi, baik dalam domain agama maupun sosial politik (Kiswanto, 2008).
Di sisi lain, secara kultural, hubungan kiai dan santri bersifat sami'na wa atho'na. Apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh kiai, maka santri sebagai murid akan manut, taat, dan patuh. Dengan fakta yang demikian, maka kiai memiliki peluang besar dalam kontestasi politik, baik sebagai komoditas maupun sebagai pelaku kegiatan politik itu sendiri.
Meski keterlibatan figur pesantren dalam politik sudah mengakar sejak lama, tetapi bukan berarti keterlibatan tersebut bebas dari catatan yang harus diperbaiki. Keberadaan figur pesantren, baik kiai maupun santri dalam politik praktis tentu harus mengedepankan moralitas dan nilai-nilai agama Islam, serta tidak mengedepankan nafsu dan kepentingan pribadi untuk memperoleh kekuasaan. Ketika menjadi politisi, agaknya mereka harus benar-benar memperjuangkan hak rakyat yang selama ini belum dipenuhi oleh negara.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pemimpin umat, tentu ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari saat menjalankan kegiatan politik, misalnya penggunaan dalil-dalil agama tanpa mampu melaksanakannya dalam berperilaku dan bertindak. Terlebih lagi, yang mengkhawatirkan adalah apabila penggunaan dalil-dalil tersebut bertendensi negatif dan berpotensi menghasut, memecah-belah dan membodohi rakyat demi kepentingan politiknya.
Sebagai catatan akhir, bagaimanapun juga, keterlibatan figur pesantren dalam dunia politik dapat dipandang secara positif maupun negatif. Di satu sisi, keterlibatan mereka dapat memperluas jejaring dan akses politik bagi kalangan umat Islam. Hal ini tentunya juga akan berdampak pada perluasan pengaruh Islam dalam pemerintahan. Namun, di sisi lain, masuknya entitas pesantren dalam politik juga dapat berdampak pada lahirnya fragmentasi politik di kalangan umat Islam sendiri. Polarisasi dan pergulatan politik antar tokoh agama Islam agaknya akan memperlihatkan adanya perbedaan afiliasi politik yang berpotensi memecah belah dan menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam menyikapi persoalan politik.
ADVERTISEMENT