Pengalaman Menjadi Penyintas COVID-19 saat Bertugas sebagai ASN

yuliana
Sebagai Pranata Humas Ahli Pertama di Puslitbang Sumber Daya dan Yankes Balitbangkes Kemkes
Konten dari Pengguna
13 April 2021 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yuliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ventilator untuk menangani pasien yang positif virus corona atau COVID-19. Foto: nsmedicaldevices.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ventilator untuk menangani pasien yang positif virus corona atau COVID-19. Foto: nsmedicaldevices.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau dikenal dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) sampai saat ini masih sangat diinginkan oleh sebagian besar masyarakat, terbukti dengan masih banyaknya jumlah pendaftar pada saat penerimaan ASN. Mengapa? Karena profesi ASN itu dinilai masyarakat suatu profesi pekerjaan yang baik, terhormat dan punya masa depan terjamin. Namun tidak sedikit pula yang membandingkan dengan pekerjaan di bidang swasta, banyak yang beranggapan kalau pendapatan atau gaji ASN tidak sebanding dengan swasta, selain itu disiplin waktu ASN tidak seketat swasta. Padahal anggapan ini tidak semua benar.
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang ASN harus mengikuti test penerimaan yang semakin diperketat, jika dibandingkan dulu penerimaan ASN bisa lebih mudah karena jumlah pegawai masih sangat sedikit sehingga diperlukan penerimaan pegawai. Beberapa tahun terakhir ini penerimaan ASN aturannya sangat ketat, dengan jumlah formasi yang sedikit namun jumlah peminat sangat banyak, persaingan sangat tinggi dari aspek hasil nilai ujian, kompetensi yang dimiliki masing-masing pendaftar. Hal ini dikarenakan calon ASN yang dibutuhkan adalah yang mempunyai keahlian, berkompeten, cerdas, memiliki semangat kerja yang tinggi, jujur, dan loyalitas.
Melihat fenomena penerimaan ASN yang makin ketat, membuat saya teringat kilas balik saat saya diterima menjadi seorang PNS. Menjadi seorang ASN adalah suatu anugerah bagi saya. Meskipun pada tahun 2004 saya mengikuti test penerimaan CPNS hanya sekadar ikut saja, tidak berharap banyak untuk lulus. Pada saat pengumuman kelulusan di salah satu surat kabar lokal, tertulis nama saya. Perasaan bahagia juga dirasakan oleh kedua orang tua saya, ucapan syukur tak henti-hentinya karena doa yang dipanjatkan selama ini terkabul.
ADVERTISEMENT
Setelah lebih kurang 17 tahun menjadi seorang ASN kadang masih ada pertanyaan yang terlintas, seberapa banyak yang sudah saya lakukan untuk bangsa ini? Dan apakah sudah sebanding dengan yang sudah saya dapatkan? Sejenak saya renungkan, sebagai seorang ASN sudah bersumpah menjadi abdi negara, harus mentaati hukum, loyalitas, jujur, memilik etos kerja dan bersedia ditempatkan di mana pun. Ketika mendapat surat penugasan oleh pimpinan, harus dijalani, dan berbuat yang terbaik.
Semua profesi pasti ada risikonya, ada tanggung jawab diemban yang harus dijalani. Lima bulan yang lalu, tepatnya bulan November 2020, Indonesia masih dalam masa pandemi COVID-19 saya sebagai seorang ASN ditugaskan untuk ikut melaksanakan satu penelitian berupa survei status gizi di Indonesia. Ini merupakan tugas, beban dan sekaligus bentuk kontribusi saya dibidang kesehatan untuk kemajuan negeri ini. Kota Surakarta (Solo) Jawa Tengah menjadi pilihan yang harus saya datangi, meskipun kondisi saat itu masih dalam zona merah penyebaran COVID-19. Selama lebih kurang 25 hari saya melakukan kegiatan yang terkait dengan penelitian tersebut. Ini merupakan pekerjaan yang harus saya jalani, apa pun risikonya harus dihadapi sehingga dengan tekad dan niat yang baik untuk bekerja saya harus meninggalkan rumah, suami dan anak yang berada di Kota Bogor, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT

Sebagai ASN Harus Mampu Menjalani Risiko Pekerjaan

Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini keselamatan diri untuk tidak tertular virus corona menjadi hal yang sangat saya perhatikan, berusaha lebih extra ketat dalam menjaga kesehatan. Pada tanggal 1 Desember 2020 seharusnya menjadi hari terakhir saya di Kota Solo, penuh semangat dan harapan saya bisa pulang ke Kota Bogor. Namun pada tanggal 30 November 2020 saya melakukan pemeriksaan swab PCR sebagai syarat perjalanan menggunakan pesawat terbang. Namun hasil swab PCR saya Positif. Artinya saya positif tertular virus corona.
Seperti pepatah "bagai tersambar petir di siang hari", begitulah perasaan saya, berkecamuk antara terkejut, sedih, marah, malu, dan kesal. Siapa yang harus disalahkan, pimpinan yang menugaskan? Diri sendiri? Atau keadaan pandemi saat ini? Tidak ada yang harus disalahkan, saya sadar ini sudah takdir dan risiko pekerjaan yang harus saya jalani. Akhirnya keputusan yang saya ambil adalah membatalkan keberangkatan saya untuk pulang ke Kota Bogor. Pada saat itu saya menginap di rumah mertua sehingga saya langsung meminta maaf atas kejadian ini, dan memutuskan untuk mengisolasi diri di kamar sendiri tanpa kontak siapa pun.
ADVERTISEMENT
Pikiran dan perasaan saya saat itu bermacam-macam, saya harus menghilangkan rasa bersalah saya kepada mertua saya yang sudah berusia lanjut, karena sudah membawa penyakit ini ke rumah. Rasa takut pasti ada dalam hati mereka, apalagi mereka sudah mengidap penyakit bawaan (komorbid) yang rentan sekali tertular COVID-19. Selain itu saya harus memberikan pengertian kepada kedua mertua saya bahwa ini bukanlah suatu aib, bahwa tidak ada satu orang pun mau tertular virus ini.
Saya harus menguatkan diri sendiri dan mertua untuk menerima dan menghadapi bagaimana stigma para tetangga ketika mengetahui kasus ini. Meskipun kedua mertua saya tidak tertular, dan saya juga tidak merasakan keluhan apa pun, tetapi kami tetap melakukan isolasi mandiri di rumah. Selama masa isolasi saya dan mertua fokus terhadap pemulihan dan peningkatan imunitas dengan konsumsi makanan bergizi, tinggi protein, olahraga, berjemur, mengendalikan stres, dan selalu berdoa, bermuhasabah, introspeksi diri mungkin ini akibat kesalahan diri sendiri, lalai menjaga kebersihan, dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Usaha tidak mengkhianati hasil setelah 3 hari isolasi saya kembali melakukan pemeriksaan swab PCR dan alhamdulillah allah maha baik hasil nya negatif. Saya merasakan jika semua dijalani dengan ikhlas dan positif thinking akan terasa ringan, segala sesuatu itu tidak ada yang kebetulan tetapi sudah digariskan oleh sang pencipta, jadi tidak ada alasan kita untuk menolak dan menyangkal apa yang terjadi, yakinlah pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian. Belajar dari pengalaman menjadi penyintas, hidup harus tetap selalu waspada, menjaga diri, dan taat protokol kesehatan.

Menjadi ASN Sejati Demi Negeriku Indonesia

Pengalaman menjadi seorang penyintas COVID-19, membuat saya tidak pernah menyesal dan takut dalam menjalankan setiap tugas yang diberikan kepada saya, kapan dan di mana pun saya ditugaskan. Karena apa pun yang sudah menjadi pilihan kita harus bertanggung jawab dan menjalankannya dengan baik. Mungkin banyak para ASN yang pernah mengalami hal yang sama dengan saya dan tetap terus semangat menjalaninya. Menjadi seorang ASN adalah pekerjaan yang mulia, kita bisa berbuat terbaik untuk membangun bangsa, sekecil apa pun kontribusi yang kita berikan yakinlah pasti mempunyai arti untuk negeri ini. Jangan takut dengan risiko pekerjaan yang akan kita hadapi, karena tidak semua yang kita inginkan akan terwujud, tetapi lakukan dengan niat yang baik niscaya kebaikan akan kembali kepada diri kita. Jangan hitung berapa yang sudah kita dapatkan, tetapi berikan yang terbaik, jadilah seorang ASN yang berbudi pekerti luhur, mempunyai kompetensi, cerdas, cerdik, jujur, loyalitas, dan beriman.
ADVERTISEMENT
Majunya suatu negara terletak pada tangan kita, para penerus bangsa, para pembangun bangsa, jalin persatuan antar sesama, menjaga nama baik bangsa. Selalu menghasilkan karya, selalu bersemangat belajar untuk meningkatkan kompetensi diri, mari kita menjadi ASN sejati padamu negeri jiwa raga kami, jayalah ASN Indonesia.