Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bank Syariah vs Bank Konvensional dalam Menghadapi Krisis Keuangan 2008
20 Maret 2022 9:22 WIB
Tulisan dari Yuliko Hana Zakiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat memberikan dampak yang sangat besar kepada negara-negara lainnya, negara Indonesia salah satu diantaranya. Dampak yang ditimbulkan dari krisis tersebut yakni meningkatnya tingkat inflasi, turunnya nilai tukar sampai runtuhnya indeks bursa sehingga sejumlah bank atau institusi keuangan mengalami kesulitan keuangan atau bahkan mengalami kebangkrutan.
ADVERTISEMENT
Seperti pada kasus rezim suku bunga rendah yang terjadi pada tahun 2001-2005 di Amerika Serikat. Setelah Lehman Brothers dinyatakan bangkrut pada tahun 2008, dampak krisis Subrime Mortage pada perekonomian global mulai menyebar. Dampak bagi perbankan Indonesia sendiri yakni adanya penarikan dana oleh investor luar negeri di berbagai perusahaan Indonesia sehingga hal itu mengakibatkan bank mengalami krisis likuiditas, penurunan nilai aktiva produktif (earning assets) dalam bentuk kredit dan surat berharga yang dibeli bank, penurunan kecukupan modal (CAR) terutama karena kerugian berasal dari pencadangan atas penurunan kualitas aktiva produktif, hingga gagal bayar bunga kredit.
Dalam mengatasi krisis Subrime Mortage pada tahun 2008, Bank Indonesia meningkatkan BI rate untuk dapat mengurangi tingkat inflasi. Dengan meningkatnya BI rate hal ini sangat berpengaruh pada bank konvensional yakni naiknya tingkat suku bunga. Namun, meningkatnya BI rate tidak memengaruhi kinerja dari bank syariah. Meskipun dalam kenaikan tingkat bunga membuat daya tarik untuk nasabah bank Konvensional untuk menyimpan uangnya di bank, hal itu tidak membuat investor tertarik karena akan mendapatkan beban bunga yang lebih tinggi. Lalu, mengapa bank syariah dinyatakan lebih kuat dalam menghadapi krisis keuangan?
ADVERTISEMENT
Seperti kita tahu bersama, Bank Syariah merupakan salah satu bentuk dari layanan perbankan yang berlandaskan sistem perekonomian islam. Seperti yang kita sering kali dengar, bahwasanya dalam sistem perbankan syariah tidak menggunakan sistem bunga namun menggunakan sistem bagi-hasil sesuai akad yang telah disepakati bersama. Prinsip dasar dalam bank syariah yakni mengedepankan konsep bagi hasil dalam akad penyaluran, pembiayaan, ataupun penempatan dana. Oleh karena itu, potensi keuangan ataupun risiko ditanggung oleh kedua pihak secara bersama-sama.
Sistem bagi hasil dan fleksibelitas dari kebijakan perbankan syariah menjadi kekuatan dalam menghadapi krisis keuangan. Perbankan syariah mengambil tujuan yakni keuntungan jangka panjang serta membangun hubungan kemitraan dengan nasabahnya tujuan tersebut juga merupakan keunggulan dari sistem perbankan syariah.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga dibuktikan dari data Statistik Perbankan Syariah. Pada September 2008, total aset perbankan syariah berada sebesar 45,857,224,000,. Angka itu naik jika dibandingkan dengan total aset perbankan syariah pada September 2007 sebesar 31,802,773. Dilihat dari data tersebut, meskipun dalam keadaan krisis keuangan tahun 2008, perkembangan perbankan syariah menunjukkan gejala positif dan mengalami kemajuan yang cukup berarti.
Data tersebut juga sejalan dengan penelitian dari Soqmanoreqa pada tahun 2011 beliau menyatakan, krisis ekonomi global tidak memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perbankan syariah tetap baik walaupun sedang krisis global melanda Indonesia.
Live Update
Mantan Menteri Perdagangan RI Tom Lembong menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/11). Gugatan praperadilan ini merupakan bentuk perlawanan Tom Lembong usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Updated 26 November 2024, 10:01 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini