Konten dari Pengguna

Potret Keberagaman di Singapura

31 Agustus 2020 23:51 WIB
comment
23
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yulinur Rudy Purnadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Singapura saat ini menjadi salah satu negara yang dapat dianggap maju dari segi ekonomi dan pembangunan. Oleh Bank Dunia, Singapura dikategorikan sebagai negara high income dengan pendapatan per kapita di atas $54.530.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tentu tidak lepas dari kestabilan politik dan sosial, serta dukungan masyarakat Singapura yang terdiri atas etnis dan agama yang berbeda. Menurut data Departemen Statistik Singapura, komposisi penduduk Singapura per Juni 2019 terdiri atas etnis Tionghoa (76%), Melayu (15%), India (7,5%), dan etnis lainnya. Per 2015 mayoritas penduduk Singapura merupakan pemeluk agama Buddha (45,2%), Nasrani (18,8%), Islam (14%), dan Hindu (5%). Sebanyak 18,5% warga Singapura tidak beragama.
Keberagaman ini dapat kita saksikan pada momen-momen perayaan seperti kemeriahan Imlek di awal tahun, keramaian Geylang Ramadan Bazaar, dan warna-warni perayaan Deepavali di penghujung tahun. Penetapan delapan dari 11 hari libur Singapura yang berkaitan dengan perayaan keagamaan juga merefleksikan keberagaman ini.
Suasana jalan di Singapura merayakan Deepavali. Sumber: pixabay.com
Sebagai seorang muslim, saya dan keluarga tidak pernah mengalami diskriminasi dalam bentuk apapun selama bertugas di Singapura. Lalu bagaimana Singapura mengelola keberagaman? Berikut beberapa kebijakan yang berupaya mempersatukan masyarakat Singapura yang berbeda etnis dan agama.
ADVERTISEMENT
Bahasa Pemersatu dan Pendidikan kewarganegaraan
Singapura mengadopsi tiga bahasa resmi dari etnis-etnis utama, yaitu Mandarin, Melayu dan Tamil. Untuk mempersatukan ketiganya dan sekaligus mempersiapkan warganya untuk bersaing di tingkat global, Singapura mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa kerja dan lingua franca. Keempat bahasa ini dapat kita jumpai di berbagai tempat di Singapura. Lagu kebangsaan Singapura misalnya berbahasa Melayu, sedangkan di berbagai jalan dapat dijumpai penggunaan bahasa Mandarin maupun Tamil.
Di bangku sekolah, anak-anak Singapura telah diberikan pendidikan kewarganegaraan yang menyatu dengan pelajaran karakter dari tingkat sekolah dasar dan terus diajarkan hingga sebelum memasuki bangku kuliah. Kurikulumnya terus diperbarui mengikuti perkembangan zaman.
Untuk memberikan pelajaran dari peristiwa tahun 1964 dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberagaman di tengah masyarakat Singapura, Racial Harmony Day diperingati setiap tahunnya di sekolah-sekolah melalui pemakaian baju tradisional, permainan tradisional dan saling mencicipi makanan dari berbagai etnis dan budaya.
ADVERTISEMENT
Racial Harmony Day. Sumber: thefinder.life
Membaurkan Warga dari Latar Belakang yang Berbeda
Salah satu kebijakan mengelola keberagaman di Singapura yang menurut saya cukup penting adalah Ethnic Integration Policy, yaitu memastikan terdapat percampuran etnis yang imbang di rumah susun publik, atau yang biasa disebut HDB di Singapura. Jadi jika anda sedang mengunjungi HDB yang dihuni sekitar 80% penduduk Singapura, kemungkinan besar anda tidak akan menemui warga dari etnis tertentu saja. Kebijakan yang diterapkan sejak 1989 ini merupakan respons atas meningkatnya pengelompokan etnis di wilayah tertentu dan bertujuan agar warga dari berbagai latar belakang dapat tinggal dan berinteraksi satu dengan yang lain.
Suasana di salah satu HDB Singapura. Sumber: hdb.gov.sg
Satu hal lainnya yang saya temui di Singapura adalah tersebarnya Community Centre/Club (CC) di berbagai wilayah Singapura sebagai tempat warga dari beragam latar belakang dapat melakukan berbagai aktivitas dari membaca, mengikuti kursus, hingga berolahraga. Tidak jarang saya temui CC dengan fasilitas yang lengkap. Mau mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus public speaking, main tenis, bola basket, berenang, hingga bowling, semuanya bisa dilakukan di satu tempat. CC ini awalnya merupakan warisan dari pemerintah kolonial Inggris yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Singapura.
ADVERTISEMENT
Konstitusi dan Hukum yang Responsif
Salah satu pilar kestabilan sosial di Singapura adalah sistem hukum yang tegas tanpa memandang latar belakang ras dan agama. Hal ini tertuang di dalam konstitusi Singapura dan diikuti oleh beberapa kebijakan, seperti pembentukan Presidential Council for Minority Rights sejak tahun 1970 yang bertugas memastikan tidak ada produk hukum yang dapat merugikan kelompok minoritas.
Supreme Court Singapura. Sumber: commons.wikimedia.org
Di awal 1990-an, Singapura memperkenalkan Maintenance of Religious Harmony Act (MRHA) untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Dengan perkembangan teknologi internet dan media sosial, baru-baru ini MRHA telah diamandemen untuk memberikan keleluasaan bertindak lebih cepat terhadap pihak-pihak yang dianggap merusak hubungan antar umat beragama.
Perubahan itu diantaranya adalah peningkatan hukuman maksimal, restraining order yang berlaku segera, dan kewajiban pemberitahuan bila ada kontribusi dana dari luar negeri sejumlah S$10.000 atau lebih. Menariknya, MRHA mengenalkan konsep Community Remedial Initiative yang memberikan kesempatan bagi pelanggar hukum untuk mengikuti program pengenalan pihak-pihak yang menjadi korban. Apabila CRI dilalui, tuntutan hukum akan digugurkan. Hingga penulisan artikel ini kewenangan di dalam MRHA belum pernah digunakan.
ADVERTISEMENT
Itulah beberapa kebijakan di Singapura yang bertujuan untuk mengelola keberagaman dan menjaga keharmonisan antar etnis maupun umat beragama. Ibarat pelangi, perbedaan akan indah dan dapat menjadi kekuatan suatu negara bila diiringi dengan saling memahami dan menghormati.