Konten dari Pengguna

Utang Luar Negeri: Malapetaka atau Berkah

Yulius Kaka
Bekerja sebagai staf Kementerian Luar Negeri RI
22 April 2018 22:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yulius Kaka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Utang Luar Negeri: Malapetaka atau Berkah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini tidak jarang isu utang luar negeri Indonesia menjadi topik pembicaraan beberapa kalangan. Berbagai asumsi datang, mulai dari aparat Pemerintah, LSM, figur politik, dan masyarakat umum, seputar tren meningkatnya utang luar negeri, peruntukan dan manfaatnya dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, terutama di era demokrasi seperti sekarang ini; ketika kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat menjadi bagian dari budaya demokrasi bangsa.
Di sisi lain, adalah suatu hal yang lumrah rakyat mempertanyakan kebijakan Pemerintah dalam membangun negara. Namun, anggapan dan asumsi tersebut seyogyanya disampaikan secara terukur untuk menghindari pemahaman keliru yang kemudian mengarah pada ketidakpercayaan publik kepada Pemerintah.
Banyak negara memiliki persoalan serupa dengan Indonesia dalam hal besaran utang luar negeri. Indonesia bahkan dibilang lebih beruntung dibandingkan dengan negara-negara lain seperti, Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Jerman, Belanda yang notabene memiliki utang jauh lebih besar.
Data dari CIA Factbook menetapkan AS dalam urutan wahid dari daftar negara di dunia dengan utang paling tinggi. Diikuti oleh Inggris, Jerman, Belanda, Jepang. Posisi Indonesia berada pada urutan 32 dunia. Utang AS pada Desember 2016 tercatat $17.9 triliun. Besaran hutang AS ini hampir mencapai Gross Domestic Product (GDP) negara Paman Sam tersebut pada tahun yang sama (2016) mencapai $19 triliun. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan utang Indonesia yang hanya mencapai $344,7 miliar.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami bahwa utang Indonesia telah ada sejak puluhan tahun silam, bahkan ditengarai merupakan peninggalan Kolonial Belanda, kemudian dilanjutkan di era presiden Soekarno, Soeharto, hingga Presiden Jokowi. Harus diakui bahwa utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan tajam di era presiden Soeharto, yang telah memimpin bangsa ini selama 37 tahun.
Presiden Jokowi mengakui bahwa utang Indonesia memang sudah lama ada. Hal ini disampaikannya saat menghadiri Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018 di Bogor, Jawa Barat. Jokowi menjelaskan, sejak dirinya dilantik, Indonesia sudah memiliki utang sebesar Rp 2.700 triliun. Nilai itu kemudian terus membengkak akibat adanya bunga.
"Saya dilantik utangnya sudah Rp 2.700 triliun. Saya ngomong apa adanya. Bunganya setiap tahun Rp 250 triliun. Kalau 4 tahun sudah tambah 1.000," ujar Jokowi.
ADVERTISEMENT
Data Kementerian Keuangan RI menujukkan bahwa total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 telah mencapai Rp 4.034,80 triliun. Jumlah ini diproyeksi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan program pembangunan pemerintah, juga bunga yang terus bertambah. Kononnya utang luar negeri digunakan untuk menghidupkan program-program strategis Pemerintah seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa Pemerintah masih terus berhutang?
Kondisi keuangan negara yang tidak mampu membiayai semua program Pemerintah menjadi alasan utama masih dibutuhkan pinjaman dari pihak luar. Hal ini diakui oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Scenaider Siahaan. Scenaider menekankan bahwa utang luar negeri memang tidak bisa dihindari dalam kondisi keuangan negara yang masih terbatas, sehingga banyak program yang tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada APBN.
ADVERTISEMENT
"Utang ada karena belanjanya ada. Pemerintah nggak pernah berutang tiba-tiba tanpa ada kebutuhan," ujar Scenaider dalam diskusi ILUNI UI di Gedung Rektorat UI Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (3/4/2018).
Scenaider menambahkan pembiayaan dari utang juga dilakukan karena penerimaan negara lebih kecil dibandingkan pendapatan dari perpajakan. Dalam APBN 2018 misalnya dirancang belanja Rp 2.220,7 triliun dengan pendapatan Rp 1.894,7 triliun.
Masalah utang negara yang terus diperbincangkan juga menuntut Menteri Keuangan, Sri Mulyani angkat bicara. Menurutnya Pemerintah masih berutang karena terjadinya kekuarangan APBN. "Ya karena masih ada defisit," kata dia di sela acara "Spring Meeting IMF-World Bank" di Kantor Pusat IMF, Washington DC, Jumat (20/4/2018). Defisit yang dimaksud adalah defisit APBN yang timbul akibat lebih rendahnya pendapatan negara ketimbang kebutuhan anggaran untuk belanja.
ADVERTISEMENT
Senada dengan hal ini, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menjelaskan soal utang RI adalah hal yang wajar. "Polemik utang negeri ini sebenarnya wajar, kan tak bisa hidup tanpa utang, sama kayak kita yang punya utang KPR, utang mobil itu wajar tapi kita harus bisa jaga rasionya," kata Mirza di Gedung BI, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Ia menambahkan, pembiayaan dari utang dilakukan untuk belanja yang tidak bisa ditunda seperti belanja pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur. Penarikan utang juga dilakukan untuk mengembangkan pasar uang melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
"Utang menjaga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan bisa dipakai mengembangkan pasar uang,” tutur Mirza.
Dia menjelaskan jika rasio utang terjaga, maka kondisi keuangan negara akan tetap sehat. Indonesia saat ini memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang lebih rendah dibanding negara lain. Mirza menambahkan bahwa beberapa negara berkembang memiliki rekor yang lebih jelek dari sisi manejemen hutang.
ADVERTISEMENT
"Banyak negara tetangga kita seperti Malaysia dan Turki rasio utangnya lebih tinggi dari PDB mereka," ujarnya.
Untuk menghindari adanya utang, pemerintah tentunya mengharapkan adanya peningkatan produktivitas negara utamanya dalam hal peningkatan ekspor investasi utamanya Foreign Direct Investment (FDI), serta peningkatan devisa negara antara lain melalui pariwisata dan remitansi dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Selain itu, Pemerintah tentunya perlu melakukan manejemen perpajakan yang lebih baik.