Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sistem Naturalisasi Benamkan Pesepakbola Lokal Dalam Spiral Keheningan
13 Oktober 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yunaldi Libra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem naturalisasi pemain sepakbola di Indonesia tengah menjadi topik hangat di era kepelatihan Shin Tae-yong. Belasan pemain dari berbagai negara sudah di naturalisasi untuk memperkuat tim nasional sepakbola indonesia dibawah kepemimpinan pelatih dari korea selatan ini. PSSI bahkan telah melakukan proses naturalisasi terhadap 5 pemain baru untuk menghadapi pertandingan kualifikasi piala dunia 2026 zona asia. Mees Hilgers, Eliano Reijnders, Tim Gypens, Dion Marxk, Mauresmo Hinoke di prediksi akan menyanyikan lagu indonesia raya dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Kebijakan mendatangkan pemain keturunan ini tidak lepas dari kontroversi. Pro kontra mengenai kebijakan naturalisasi tidak hanya datang dari insan sepakbola, pengamat politik seperti rocky gerung dan mantan ketua umum PSSI Edy rahmayadi ikut mengkritik sistem naturalisasi pada zaman kepemimpinan Erick Thohir ini.
Salah satu suara yang menonjol dalam kritik terhadap sistem naturalisasi adalah Muhammad Tahir, seorang pemain lokal senior. Dalam sebuah podcast yang diunggah pada Maret 2024, Tahir mengkritik banyaknya pemain naturalisasi di timnas akan menghambat kesempatan pemain lokal untuk unjuk gigi. Menurutnya, kualitas pemain lokal tidak kalah dengan pemain naturalisasi, dan Liga Indonesia seharusnya menjadi tempat bagi pemain lokal untuk menunjukkan kemampuan mereka.
Menurut Tahir, pemain naturalisasi cenderung hanya berbeda dari segi pengalaman bermain di liga luar negeri, bukan dalam hal kemampuan. Ia berpendapat bahwa jika dilakukan uji coba antara pemain lokal dan pemain naturalisasi, pemain lokal tidak akan kalah. Pernyataan ini menekankan keyakinan Tahir bahwa para pemain lokal memiliki potensi yang setara, tetapi terhambat oleh kebijakan yang lebih memilih pemain naturalisasi. Sayangnya, pernyataan tahir ini di bombardir dengan komentar negatif di akun youtube tempat dia menjadi tamu dalam podcast tersebut.
ADVERTISEMENT
Kritik ini mencerminkan perasaan frustrasi di kalangan banyak pemain lokal yang merasa terpinggirkan. Meskipun ada keberhasilan yang dicapai oleh pemain naturalisasi, hal ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa masih banyak talenta lokal yang harus diperhatikan. Pernyataan Tahir juga mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas terhadap cara pengelolaan timnas yang sering kali lebih mengutamakan pemain naturalisasi daripada memanfaatkan potensi pemain lokal.
Namun kritik tentang sistem naturalisasi yang diambil oleh PSSI di zaman kepemimpinan Erick Thohir seperti hilang begitu saja, seiring moncernya prestasi timnas sepakbola indonesia dibawah kepelatihan Shin Tae Yong. Pemain naturalisasi mampu memperlihatkan kualitasnya dengan baik. Setelah Marteen Paes menjadi bintang lapangan saat menahan australia dalam lanjutan kualifikasi piala dunia 2026 di stadion GBK jakarta, giliran Ragnar Oratmangoen dan rafael struick unjuk gigi saat melawan bahrain di Bahrain intenational stadium. Pemberitaan media massa lebih banyak memperlihatkan euforia kehebatan pemain naturalisasi dari pada kritik terhadap sistem naturalisasi ini.
ADVERTISEMENT
Di balik semua kontroversi ini, teori Spiral of Silence yang diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dapat digunakan untuk menganalisis masalah ini. Teori Spiral of Silence menyatakan bahwa individu cenderung tidak mengungkapkan pendapat mereka jika mereka merasa pandangan tersebut tidak sejalan dengan pandangan mayoritas. Dalam konteks sepak bola, kritik terhadap kebijakan naturalisasi sering kali terabaikan, menciptakan lingkungan di mana suara-suara minoritas sulit untuk didengar.
Hampir tidak ada suara kritik dari pemain sepakbola lokal indonesia terhadap sistem naturalisasi yang diterapkan PSSI demi prestasi tim nasional. Media massa yang biasanya kritis, juga kurang memberi ruang yang cukup bagi suara suara pengkritik kebijakan ini.
Pemain sepakbola lokal terlihat lebih banyak diam. Mungkin karena merasa bahwa suara mereka tidak akan didengar, terutama ketika kebijakan yang mendukung naturalisasi tampak begitu dominan. Mereka melihat bahwa kebijakan tersebut didukung oleh media, PSSI, dan masyarakat, sehingga mengurangi keberanian untuk menyuarakan pendapat berbeda. Spiraling ini dapat mengakibatkan pandangan mayoritas semakin kuat, sementara pandangan Pemain sepakbola lokal dan masyarakat yang berpendapat berbeda sebagai bagian dari minoritas jadi terabaikan.
ADVERTISEMENT
Kasus terbungkamnya suara minoritas dalam olahraga sepakbola tidak hanya terjadi di indonesia. Qatar menjadi salah satu negara yang aktif melakukan naturalisasi untuk performa tim nasionalnya. Melalui Aspire Academy, Qatar merekrut pemain muda berbakat dari berbagai negara, seperti Afrika dan Amerika Selatan, yang kemudian diberikan kewarganegaraan untuk memperkuat tim nasional pada pagelaran piala dunia 2022.
Sebagian besar opini masyarakat didorong untuk mendukung naturalisasi ini. Naturalisasi dianggap sebagai cara sah untuk memperkuat tim nasional dan mempersiapkan mereka untuk berkompetisi di Piala Dunia 2022. Media Qatar umumnya lebih fokus pada prestasi yang bisa diraih dengan pemain naturalisasi ini.
Di sisi lain, ada pandangan minoritas yang merasa bahwa kebijakan ini tidak adil dan merugikan pemain lokal. Namun, di bawah pengaruh kuat opini mayoritas yang mendukung kebijakan tersebut, suara-suara kritis ini menjadi terpinggirkan dan memilih untuk diam. Mereka mungkin merasa bahwa mengkritik kebijakan ini akan dianggap sebagai ketidaksetiaan terhadap negara yang sedang berusaha membangun citra globalnya di bidang sepak bola.
ADVERTISEMENT
Kasus lain terjadi di negara jerman. sistem naturalisasi pemain juga mengalami tantangan serupa. Meskipun Jerman memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan pemain keturunan imigran seperti Mesut Özil dan Sami Khedira ke dalam tim nasional, ada kritik yang muncul terkait pemain-pemain yang dinaturalisasi. Meskipun banyak pemain keturunan imigran yang berperan penting dalam keberhasilan Jerman di Piala Dunia 2014, diskusi mengenai loyalitas dan integrasi mereka kerap muncul.
Secara umum, opini mayoritas mendukung integrasi pemain-pemain ini karena mereka dianggap telah berkontribusi signifikan bagi sepak bola Jerman. Media cenderung menyoroti keberhasilan mereka di lapangan sebagai bukti bahwa integrasi pemain imigran adalah bagian dari strategi sukses Jerman.
Namun, setelah Piala Dunia 2018, muncul kontroversi ketika Mesut Özil mengundurkan diri dari tim nasional, mengutip diskriminasi rasial dan kurangnya dukungan dari Federasi Sepak Bola Jerman (DFB). Meskipun ada suara-suara yang mendukung Özil, banyak orang yang merasa tidak nyaman untuk menyuarakan pendapatnya secara terbuka, karena khawatir dikritik oleh opini mayoritas yang mendukung tim nasional Jerman sebagai "satu kesatuan."
ADVERTISEMENT
Untuk membangun sistem sepakbola yang lebih inklusif dan berkembang, penting untuk memberikan ruang bagi semua suara, terutama yang berasal dari pemain lokal. Dengan menciptakan dialog yang terbuka, kita dapat menciptakan iklim yang mendukung pengembangan bakat lokal dan mendorong prestasi timnas di kancah internasional.
Kedepannya, penting bagi federasi sepakbola, media, dan publik untuk membuka ruang diskusi yang lebih inklusif. Pemain sepakbola lokal harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka tanpa takut mendapat stigma atau sanksi sosial. Hal ini bisa diwujudkan dengan pendekatan komunikasi yang lebih transparan dan netral, baik di media massa maupun platform sepakbola. Jangan sampai demi sebuah titel juara, kesempatan talenta berbakat jadi hilang dan semakin terbenam kedalam spiral keheningan.
ADVERTISEMENT