Bupati Terpilih, Kewarganegaraan Ganda, dan Problem Hukumnya

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII Yogyakarta
Konten dari Pengguna
8 Februari 2021 6:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paspor Negara Amerika Serikat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Paspor Negara Amerika Serikat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Notifikasi telepon pintar berdering, tanda ada pesan masuk. Pesan bergegas saya buka, ada dua teks: pertama, menanyakan ada tidaknya aturan hukum jika ada seorang calon kepala daerah terpilih, tetapi ternyata memiliki kewarganegaraan ganda; kedua, link berita dari sebuah media, yang isinya menerangkan informasi soal isu pada teks pertama.
ADVERTISEMENT
Informasi tersebut sontak mengingatkan saya pada polemik rencana pengangkatan pejabat kementerian pemerintahan Presiden Jokowi periode lalu. Status kewarganegaraan ganda yang dilekatkan pada seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan memang kian menjadi polemik.
Kewarganegaraan ganda biasanya terjadi pada anak yang lahir karena perkawinan campuran (salah satu orang tuanya berkewarganegaraan asing). Atau pada anak yang lahir di luar wilayah negara RI, yang karena menurut hukum negara tempat ia lahir memberikan kewarganegaraan kepada yang bersangkutan.

Masalah Bupati Terpilih

Tapi teks pesan tadi nampaknya bukan soal anak yang berkewarganegaraan ganda. Adalah seorang calon kepala daerah terpilih di Kabupaten Sabu Raijua, NTT yang menurut keterangan resmi Konsuler negeri Paman Sam setelah keterpilihannya sebagai bupati, ia adalah warga negara AS.
ADVERTISEMENT
Respons spontan saya pun ada dua: pertama, cukup kaget karena kok ada aja, calon kepala daerah yang notabene telah melalui tahapan amat panjang dan ketat dalam proses pencalonan, eh, masih timbul masalah administratif-substantif di tahapan akhir; kedua, bergegas membuka kitab hukum pilkada dan kewarganegaraan.
Temuannya ada dua: pertama, memang tidak ada ketentuan yang spesifik mengatur bahwa calon kepala daerah harus seorang WNI, melainkan cukup memenuhi syarat bahwa yang bersangkutan setia kepada Pancasila, UUD NRI 1945, cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan NKRI.
Kedua, bila pun calon kepala daerah pada mulanya adalah warga negara asing, dan untuk keperluan mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Indonesia telah mengajukan pewarganegaraan Indonesia dengan proses yang tentunya panjang, maka ia harus mengucapkan lafal sumpah yang esensinya sama dengan syarat pencalonan kepala daerah tersebut (syarat kesetiaan).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini mestinya tidak ada problem perihal keabsahannya sebagai calon kepala daerah. Karena pewarganegaraannya telah membuktikan kesetiaannya pada negara Indonesia.
In case, nampaknya tak sesederhana itu. Selain anak yang berkewarganegaraan ganda, sejauh ini banyak orang dewasa yang berpotensi besar juga memiliki kewarganegaraan ganda. Ia adalah orang yang biasanya karena pekerjaan/kepentingannya harus mengajukan pewarganegaraan atau memiliki identitas kewarganegaraan asing.
Dan menurut hukum negara yang bersangkutan, ia tetap diakui sebagai warga negara asing, tanpa harus menanggalkan status kewarganegaraan asalnya. Di situlah timbul kewarganegaraan ganda pada orang dewasa.
Problem pada bupati Sabu Raijua terpilih ini kemungkinan besar karena situasi tersebut. Ia adalah seorang WNI yang pernah memiliki identitas kewarganegaraan asing, tanpa melepas status kewarganegaraan Indonesianya.
ADVERTISEMENT
Meski seharusnya, menurut hukum kewarganegaraan Indonesia, ia telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena memeroleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri atau memiliki paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atas namanya.
Celakanya, penyelenggara Pilkada justru menerima pendaftarannya. Karena kemungkinan di saat itu ia dapat memenuhi syarat administratif sebagai calon kepala daerah, padahal dibalik pencalonannya tersebut ia juga menyandang kewarganegaraan asing.

Nasib Keterpilihan

Telepon pintar masih berdering, pertanyaan belum selesai. Nasi telah jadi bubur, yang bersangkutan terpilih sebagai bupati, lantas, bagaimana dengan nasib pencalonannya sebagai kepala daerah? Dalam hukum, bila suatu hal tercapai tetapi ternyata tidak memenuhi syarat formil, maka ketercapaian tersebut idealnya mesti dapat dibatalkan.
Siapa yang berwenang membatalkan? Adalah lembaga peradilan atau lembaga yang diberi kewenangan oleh hukum untuk memutus masalah itu. Problemnya, adakah mekanismenya mengingat seluruh tahapan sudah terlewati.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum pilkada dikenal bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga final pemutus perselisihan dalam pilkada. Itupun untuk perselisihan hasil perolehan suara. Artinya, tidak ada lembaga yang dapat membatalkan keterpilihannya sebagai bupati karena masalah administrasi, setelah seluruh tahapan terlewati.
Menurut hukum pilkada, ia memang tetap dapat dilantik sepanjang tidak ada masalah dalam perselisihan perolehan suara. Namun untuk taat pada hukum kewarganegaraan, bila ia komitmen dan setia pada ke-WNI-annya, maka sebaiknya ia menanggalkan paspor/kewarganegaraan asingnya dan mempertegas statusnya sebagai WNI.
Bila tidak bersedia, mestinya ia dapat diberhentikan karena dinilai melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah untuk melaksanakan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
Karena menurut hukum kewarganegaraan, seorang yang memperoleh kewarganegaraan lain atau memiliki paspor negara asing seharusnya berakibat pada hilangnya kewarganegaraannya sebagai WNI. Dan ketika ia kehilangan ke-WNI-annya, maka pencalonannya sebagai kepala daerah mestinya dapat dikatakan cacat formil-substantial.
ADVERTISEMENT
Masalahnya bisa jadi tak hanya soal hukum. Melainkan juga soal politik, yang kemungkinan legitimasinya sebagai bupati terpilih melemah. Lawan politik dan sebagian masyarakat tentu meragukan kedudukannya sebagai bupati karena dinilai tak lagi loyal. Tapi soal politik ini biarlah berotasi sesuai dinamikanya.

Evaluasi Hukum Pilkada

Hanya saja, persoalan ini tentu harus menjadi evaluasi pengaturan pilkada ke depan. Di luar perdebatan dalam wacana revisi UU Pilkada soal tarik ulur kapan pilkada akan digelar kembali, sebaiknya anggota dewan turut mencermati celah-celah dalam UU Pilkada semacam ini.
Bila memang politik hukum kewarganegaraan dan pilkada kita menghendaki bahwa seorang yang dapat menjadi pejabat di Indonesia adalah WNI, maka celah syarat pencalonan mesti ditambal rapat.
ADVERTISEMENT
Dengan menegaskan bahwa calon kepala daerah harus merupakan WNI (seperti syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden). Bila perlu disertai ketentuan teknis verifikasinya guna mengantisipasi kasus-kasus serupa.
Yuniar Riza Hakiki,
Peneliti PSHK UII