Konten dari Pengguna

DPA: Dewan "Penampungan" Agung?

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
11 Juli 2024 8:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rapat Baleg DPR RI Setujui RUU Watimpres Dibawa ke Rapur Jadi RUU Insiatif DPR.  Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Baleg DPR RI Setujui RUU Watimpres Dibawa ke Rapur Jadi RUU Insiatif DPR. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lampu sein kiri saya nyalakan, untuk mengisyaratkan kami mau berhenti. Tapi tidak dengan kabar berita yang saya simak. Macam mendadak mbelok tanpa nyalakan sein. Bikin terkejut. DPR mengusulkan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), mau diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
ADVERTISEMENT
Ini bersamaan dengan otak-atik UU Kementerian Negara, UU TNI, UU Polri, dsb. Memang ini masa-masa yang banyak orang bilang sebagai masa lameduck (bebek lumpuh). Masa di mana pejabat eksekutif dan legislatif akan segera meninggalkan jabatannya, sehingga memanfaatkan sisa-sisa kekuasaannya untuk mengamankan "kepentingan".
Setelah melakukan riset kecil. Membaca berita yang beredar di media, dan kembali menelusuri seluk beluk DPA. Termasuk membuka konstitusi (UUD 1945). Mungkin ketika dengar DPA, kita yang pernah diajarkan materi UUD 1945 di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan juga akan melakukan hal yang sama, yaitu buka UUD.
BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Dihapus.****).
Ternyata sudah dihapus di UUD 1945. Tapi DPR kok ingin menggunakan nomenklatur itu lagi untuk menggantikan Wantimpres? Apa justru tidak bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstusional)?
ADVERTISEMENT
Risalah
Sebelum perubahan UUD 1945, lembaga DPA ini memang eksis sebagai lembaga tinggi negara. Kalau kita coba mempelajari naskah komprehensif, risalah perubahan UUD 1945, di situ ada perdebatan cukup sengit diantara para pembahas amendemen UUD 1945. Ada kubu yang pro untuk menghapus DPA, ada pula kubu yang kontra.
Inti perdebatannya adalah DPA (sebagai lembaga tinggi negara) dinilai tidak ada urgensinya dalam sistem ketatanegaraan yang tengah dibangun di Indonesia. Karena sedang mendesain penguatan sistem pemerintahan presidensial, di mana Presiden didesain sebagai jabatan yang mempunyai hak prerogatif. Yakni hak untuk mengambil keputusan secara mandiri.
Pun dalam kenyataannya saat itu dipandang sekedar untuk "menampung" para pensiunan, purnawirawan, mantan menteri, mantan pejabat. Sedang tugasnya tidak efektif, karena pun apa yang direkomendasikan ke Presiden tidak bersifat mengikat. Apalagi bersifat tertutup, sehingga tidak dapat diketahui publik apa yang sedang disidangkan oleh DPA waktu itu.
ADVERTISEMENT
Seandainya pun diperlukan pertimbangan untuk hal-hal yang bersifat mendasar dan strategis, dalam sistem ketatanegaraan sudah ada DPR, Mahkamah Agung, yang dapat dilekati peran untuk memberikan pertimbangan bahkan persetujuan.
Misalnya dalam hal Presiden akan menyatakan perang, perdamaian, perjanjian internasional, memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi. Dan sistem itu yang kemudian juga diberlakukan di dalam UUD hasil amendemen. Termasuk pada akhirnya dibentuk Wantimpres.
Bagi kubu yang kontra, menghendaki DPA tidak dihapus karena dinilai masih mempunyai urgensi dalam sistem ketatanegaraan. Bahkan memang dikehendaki untuk menampung kebhinekaan, terutama untuk mengakomodasi representasi kedaerahan. Mereka berpendapat DPA hanya perlu diperbaiki kelembagaan dan tugas-tugasnya agar lebih efektif dan efisien.
Konsep DPA ini dibentuk oleh para penyusun UUD 1945, ternyata meniru konsep ketatanegaraan Hindia Belanda. Di situ ada Raad van Nederlandsch-Indie, yang kemudian di Indonesia disepadankan dengan DPA.
ADVERTISEMENT
Apa urgensinya?
Ada 2 (dua) pandangan untuk merespon wacana itu. Pertama, jika sekedar untuk mengotak-atik nomenklatur dan jumlah keanggotaan Wantimpres, tanpa disertai kematangan desain yang jelas dalam rangka membangun sistem ketatanegaraan secara komprehensif, maka saya khawatir ini hanya untuk "menampung" kepentingan sesaat. Tidak futuristik.
Untuk memberikan pertimbangan/masukan terhadap hal-hal yang bersifat rutin, administratif, kebijakan dan program sudah banyak pembantu Presiden yang dapat melakukannya. Termasuk wantimpres yang saat ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sedang jika untuk memberikan pertimbangan/nasihat terhadap hal-hal yang bersifat mendasar/kewenangan konstitusional Presiden pun sudah terdapat DPR dan MA.
Kedua, jika memang ini merupakan niat baik untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan. Semestinya ada kajian yang komprehensif dan matang. Akan didesain seperti apa DPA ini ke depannya. Terutama untuk mengatasi kekosongan/kebuntuan sistem ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT
Apakah ada misalnya bangunan ketatanegaraan formal yang berperan menjalankan sistem menasihati, merekomendasi, dan mengontrol keputusan mendasar dan perbuatan Presiden?
Sebagai contoh, sistem formal untuk menasihati, mengontrol, menjaga etika perbuatan Presiden? Sistem untuk menasihati, merekomendasi, dan mengontrol Presiden sebelum menyatakan keadaan bahaya atau keadaan darurat, sebelum menerbitkan Perppu (masa sebelum Perppu diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan), membuka atau menutup hubungan diplomatik dengan negara lain.
Mungkin sejauh ini, semua itu dilakukan secara informal oleh "orang terdekat Presiden", atau sudah dijalankan oleh Wantimpres?
Jikapun ingin mengakomodasi kebhinekaan/representasi kedaerahan, sudah ada Dewan Perwakilan Daerah, yang ini juga masih menjadi PR terkait efektivitas kewenangannya.
Dengan demikian, apa kebutuhan konstitusional mengubah Wantimpres menjadi DPA? Apa sekedar untuk wadah "penampungan" tadi? Semoga tidak.
ADVERTISEMENT