Konten dari Pengguna

Jalan Mulus Perppu Cipta Kerja

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
3 Januari 2023 6:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa buruh membawa atribut demo saat memprotes Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Jakarta, Rabu (28/10). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Massa buruh membawa atribut demo saat memprotes Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Jakarta, Rabu (28/10). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Belum sampai dua tahun sejak sekejap ditidurkan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) karena inkonstitusional bersyarat, UU Cipta Kerja kembali bangkit lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Hari Jumat (30/12) lalu, seorang lawyer yang sempat berhasil menumbangkan UU Cipta Kerja mengirim pesan WA atas keresahannya mendengar berita ini.
ADVERTISEMENT
Agak terkejut tur prihatin, saya respon WA itu dengan sticker animasi orang pening terus saya susul ngetik “rezim jalan tol bang”. Ternyata sepemikiran, ia pun menilai sama soal penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Jokowi ini, yang tidak jauh dari model proyek jalan tol dan jalan by pass.
“Pemerintah ngakalin Putusan MK”, katanya. Yaa.. memang, rezim ini dalam berbagai keputusan memang suka yang cepat, trobos, pintas! Bagus sih pada satu sisi, tapi bisa celaka juga kalau tidak cermat dan hati-hati.
Ngakalin Putusan MK?
Semula, MK lewat Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat itu dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
ADVERTISEMENT
Rasionalitas waktu paling lama dua tahun itu dimaksudkan MK agar pembentuk undang-undang bisa secara maksimal memperbaiki UU Cipta Kerja dengan memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta memenuhi asas-asas pembentukan undang-undang.
Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan yang harus menyertakan partisipasi masyarakat secara maksimal dan lebih bermakna, sebagaimana pengejawantahan perintah konstitusi Pasal 22A UUD 1945.
Bahkan dalam putusannya, MK juga men-dirrect message kepada pembentuk UU agar dalam melakukan perbaikan proses pembentukan UU Cipta Kerja juga sekaligus mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat. Namun, apakah perintah konstitusional untuk melakukan perbaikan tersebut sudah benar-benar dilakukan?
Nyatanya, Presiden memilih menerbitkan Perppu dibanding merevisi UU Cipta Kerja-nya. Lagi ada momen dunia yang lagi krisis, kata Presiden. Sebagian kalangan menyambut baik Perppu ini dari pada dibahas ulang DPR, biar ndak didominasi kepentingan politik DPR katanya.
ADVERTISEMENT
Eh, tapi kan Perppu juga nggak boleh berlaku lama-lama, tetap harus disetujui DPR kan? Lha wong Presiden sudah WA-nan juga kok sama Ibu Ketua DPR. Perppu Cipta Kerja yang dikasih nomor 2/2022 itu bakal jalan mulus disahkan jadi undang-undang. Dan tentunya sudah dengan berbagi loby dalam prosesnya.
Slogan "Partisipasi Yang Bermakna"
Perlu di ingat bahwa aspek paling utama dan penting dalam perintah perbaikan UU Cipta Kerja terletak pada keterpenuhan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Kalau soal keterpenuhan cara atau metode yang pasti, baku dan standar toh sudah di by pass lebih awal dengan merevisi UU 12/2011 yang memasukkan metode omnibus. Pun soal kesalahan teknis penulisan dalam UU Cipta Kerja pun juga sudah disiasati.
ADVERTISEMENT
Sedangkan soal keterpenuhan meaningful participation-nya, Presiden lewat penjelasan umum Perppu 2/2022 nge-claim bahwa Pemerintah Pusat telah membentuk Satgas UU Cipta Kerja yang memiliki fungsi melaksanakan proses sosialisasi UU 11/2020.
Satgas UU Cipta Kerja bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan dianggap telah melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap UU 11/2020 Cipta Kerja.
Meski proses sosialisasi itu dianggap telah dilaksanakan, lantas apakah mandat untuk memenuhi partisipasi publik yang bermakna itu benar-benar sudah dilaksanakan dan dipenuhi lewat sosialisasi?
Bahkan termasuk pada semua aspek substantif dari UU Cipta Kerja yang jamak menuai penolakan publik, apakah sudah didialogkan dengan publik? Sehingga publik dan masyarakat terdampak bisa didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Tapi nampak agak mustahil, bahkan tidak identik juga dengan karakteristiknya apabila Perppu itu disusun dengan melibatkan partisipasi publik secara maksimal dan bermakna. Karena, Perppu itu sejatinya dibentuk dalam hal ihwal dan kegentingan yang memaksa. Situasi genting dan memaksa itulah yang justru lebih mendominasi dan melatarbelakangi terbitnya Perppu.
Gampangnya, apa yaa rasional dalam keadaan ihwal kegentingan yang memaksa itu Pemerintah musti kudu berdialog, diskusi, rembugan, negosiasi dengan masyarakat secara maksimal dan bermakna? Kok ndak mungkin.
Makanya untuk memenuhi itu, Presiden di dalam penjelasan umum Perppu bilang kalau sudah melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja. Artinya yang disosialisasikan UU Cipta Kerjanya, bukan Perppu-nya kan?
Alih-alih disusun dengan memenuhi partisipasi publik yang bermakna, mentoknya hanya dipenuhi dalil pembenarnya agar Perppu itu bisa memenuhi semua unsur konstitusional “kegentingan yang memaksa” itu. Nggak percaya? Baca saja penjelasan umum Perppu, dan simak lagi konferensi pers Menko Perekonomian dan Menko Polhukam.
ADVERTISEMENT
Ndak Setuju Perppu?
Lho, tapi kan Perppu Cipta Kerja ini juga sudah sekaligus merevisi/memperbaiki sebagian substansi UU Cipta Kerja? Yaa coba, mari bareng-bareng kita cek lembar per lembar Perppu-nya yang setebal 1.117 halaman itu. Apakah sudah lebih baik, bermanfaat, adil, melindungi masyarakat dari pada UU Cipta Kerja?
Lantas.. kalau masyarakat ndak setuju sama Perppu-nya gimana? Nanti Menko Perekonomian, Menko Polhukam, Menkumham atau bahkan Presiden-nya langsung mesti konferensi pers lagi.
Bilang ke wartawan “Yaa.. kalau ndak setuju, silakan gugat saja ke MK!” It’s okayy om. Masih ingat hakim MK yang menganulir produk legislatif, kemudian dipecat? Mungkinkah hakim MK membatalkan Perppu CK? He he
Yuniar Riza Hakiki,
Peneliti PSHK UII