Salah Kaprah Depok 'Kota Bersih'

Yurgen Alifia
Wartawan, Alumnus Program Master of Public Policy (MPP), Blavatnik School of Government, University of Oxford
Konten dari Pengguna
13 Februari 2018 9:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yurgen Alifia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: TPA Cipayung, Depok (24/7/2017)
Yurgen Alifia Sutarno
Wartawan, Alumnus Program Master of Public Policy (MPP) University of Oxford
ADVERTISEMENT
Warga Depok perlu diingatkan terus-menerus, sadar atau tidak, mereka menimbun sampah di selatan kota. Saban hari sekitar 750 ton sampah hasil aktivitas warga dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung. Timbunan sampah itu telah lama menjadi bukit setinggi kurang lebih 30 meter dari permukaan jalan.
Pertengahan tahun lalu saya menemui kepala Unit Pelaksana Tugas (UPT) TPA Cipayung, Iyay Gumilar. Iyay mengatakan dari tiga kolam yang ada sejak 1984, kini TPA Cipayung hanya memiliki satu kolam yaitu kolam A yang bercampur dengan kolam B akibat longsor pada 2015 lalu. Sementara kolam C telah ditutup total karena timbunan sudah terlalu tinggi dan berdekatan dengan permukiman warga.
Praktis selama 6 tahun terakhir, TPA Cipayung memiliki beban berlebih (overloaded).
ADVERTISEMENT
Melihat parahnya pengelolaan sampah di Depok, Wali Kota Mohammad Idris Abdul Shomad mencanangkan program Zero Waste City atau Kota Bersih 2016-2021.
Dengan jumlah penduduk 2,2 juta pada 2016 dan dengan asumsi setiap warga menghasilkan sampah 0,6 kilogram, Depok memproduksi sekitar 1.321 ton sampah per hari. Saat ini kota hanya mampu menangani 65% atau 850 ton sampah di mana 700 ton dibuang ke TPA, 100 ton sampah organik diolah menjadi kompos (composting) di 31 Unit Pengolahan Sampah (UPS) dan 50 ton sampah anorganik didaur ulang di 428 bank sampah. Sampah yang tak tertangani biasanya dibuang oleh warga ke jalan raya, sungai atau dibakar.
Zero Waste City versi pemerintah Depok punya target sederhana. Pada 2021, diperkirakan penduduk Depok mencapai 2,6 juta jiwa dengan produksi sampah mencapai 1.560 ton. Dalam waktu lima tahun, pemerintah kota ingin menangai 100% jumlah sampah.
ADVERTISEMENT
Skenarionya adalah 700-750 ton sampah tetap dibuang ke TPA Cipayung dan 500 ton diproses di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Nambo yang diperkirakan beroperasi pada 2019. Sisanya, pemerintah ingin meningkatkan rasio composting dan daur ulang menjadi 20% atau 312 ton. Perlu diketahui tipping fee yang harus dibayar Depok untuk TPST Nambo adalah Rp 125 ribu per ton. Dengan kata lain setiap hari Depok harus membayar Rp 62,5 juta atau sekitar Rp 22,8 miliar per tahun.
Intinya, Zero Waste City adalah kondisi di mana kota Depok mampu menangani 100% sampah.
Salah Kaprah
Hasil policy analysis yang saya tulis untuk University of Oxford pertengahan tahun lalu menunjukkan Zero Waste City di Depok salah kaprah karena predikat Zero Waste didapat sebuah kota setelah mampu mengurangi sampah terbuang ke TPA (waste to landfill) hingga angka nol bukan menangani sampah 100%. Harusnya tidak ada sama sekali sampah terbuang ke TPA karena telah didaur ulang baik oleh fasiltas milik pemerintah maupun masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara program Depok hanya akan meningkatkan rasio daur ulang dari 11% pada 2016 menjadi 20% pada 2021. Terminologi Zero Waste City nampaknya menjadi buzzword yang seksi untuk dijual kepada publik meski maknanya bergeser jauh.
Oleh karena target yang rendah, Depok bisa dengan mudah mencapai Zero Waste City versi mereka selama TPST Nambo beroperasi tepat waktu dan pemerintah mampu menambah jumlah UPS dan bank sampah.
Laporan UN Habitat menyatakan pemerintah di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah memang kerap tergoda membuat kebijakan jangka pendek dalam mengelola sampah.
Mereka belum mengadopsi program Integrated Solid Waste Management (ISWM) yang menekankan perbaikan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan dalam pengelolaan sampah.
Masalah
Tidak hanya soal makna, secara praktik Zero Waste City di Depok juga punya beberapa masalah besar. Pertama, Ia tidak memiliki skenario mengurangi tonase sampah ke controlled landfill di TPA Cipayung meski sudah overloaded. Kota bersih adalah kota yang mampu secara gradual mengurangi sampah terbuang dan bukan sekadar memindahkan sampah ke TPA. Semakin banyak sampah membusuk di TPA maka semakin banyak pula gas metana yang dihasilkan sehingga memperburuk masalah perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Kedua, tidak ada solusi untuk menangani masalah Not in My Backyard Syndrome (NIYMB). Beban pengelolaan sampah harus dibagi secara adil kepada setiap warga. Namun, temuan di banyak kota memperlihatkan warga tidak peduli ke mana sampah mereka dibuang selama wilayah mereka bersih. Akibatnya, upaya pemerintah membangun UPS seringkali ditentang oleh warga sekitar. Padahal ada sebagian warga lain yang mau tak mau menanggung beban sampah jauh lebih besar akibat mental seperti ini. Contoh jelasnya adalah warga di sekitar TPA Cipayung yang harus merasakan bau tak sedap setiap hari.
Ketiga adalah kegagalan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Perda No.5 tahun 2014 telah jelas menyatakan pengurangan dan penanganan sampah dimulai dari sumbernya. Artinya pemerintah harus berkolaborasi dengan warga hingga level unit Rukun Tetangga (RT) untuk memastikan setiap rumah tangga berkontribusi. Belum ada sistem yang transparan dan efektif untuk memastikan hal ini.
ADVERTISEMENT
Solusi
Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah Depok untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan sampah kota.
Pertama, pemerintah harus membuat rencana yang lebih ambisius dan jangka panjang serta dilengkapi dengan rencana induk sesuai amanat Perda No.5 tahun 2014. Untuk menegakkan program ISWM, pemerintah bisa mengubah target mereka menjadi empat bagian yaitu a) produksi sampah berkurang 50% menjadi 0,3 kilogram per jiwa, b) 50% sampah rumah tangga terdaur ulang di UPS dan bank sampah, c) 50% jumlah RT dan RW memilah sampah dan d) jumlah sampah terbuang ke TPA berkurang 50% dengan baseline 2016. Dengan memperhatikan kemampuan fiskal kota dan kesiapan birokrasi, target ini harusnya bisa dicapai pada tahun 2030.
Kedua, pemerintah harus mendesain kampanye massal pengurangan dan pemilahan sampah. Selama ini pemerintah belum menekankan aspek reduce dalam hierarki pengelolaan sampah. Padahal pengurangan sampah di hulu secara signifikan menurunkan biaya di hilir terkait pengumpulan, pengangkutan, pengolahan hingga pembuangan. Sementara pemilahan sampah (organik, anorganik dan residu) krusial guna meningkatkan rasio composting dan daur ulang di UPS dan bank sampah. Penanggung jawab UPS Merdeka 2 di Kecamatan Sukmajaya, Heriyanto, mengatakan selama warga tidak memilah sampah, maka mustahil pemerintah bisa mengurangi jumlah sampah terbuang ke TPA. Heri menambahkan bahwa yang disebut sampah adalah residu sedangkan sampah organik dan anorganik punya nilai ekonomis yang tinggi bila didaur ulang dengan memperhatikan kebutuhan pasar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pemerintah harus membuat sistem pengawasan dalam bentuk digital, misalnya berupa website atau aplikasi ponsel pintar, untuk memetakan RT dan RW yang belum mengurangi dan memilah sampah (E-Waste). Camat dan Lurah harus bertanggungjawab secara langsung kepada Wali Kota untuk mencapai target 2030. Dengan sistem semacam ini, pemerintah bisa menerapkan disinsentif berupa retribusi bagi rumah tangga yang belum mengurangi dan memilah sampah.
Terakhir, pemerintah harus memanfaatkan data geospasial agar warga memahami beban pengelolaan sampah harus dibagi secara adil. Dengan data itu pemerintah bisa mensosialisasikan wilayah-wilayah mana yang belum tersentuh UPS dan bank sampah sehingga mendorong public consent pembangunan berbagai infrastruktur pengelolaan sampah.
Kita harus apresiasi pemerintah kota Depok yang tahun lalu berhasil membawa pulang penghargaan Adipura. Kita juga bersyukur pemerintah telah memberi perhatian khusus pada pengelolaan sampah dengan Zero Waste City. Namun ada banyak pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan agar Depok bisa menjadi Kota Bersih yang sejati.
ADVERTISEMENT