Sudirman Butuh Jakarta atau Jakarta Butuh Sudirman?

Yurgen Alifia Sutarno
Alumnus Program Master of Public Policy (MPP), Blavatnik School of Government, University of Oxford
Konten dari Pengguna
18 Juni 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yurgen Alifia Sutarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung Jenderal Sudirman bolong Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Patung Jenderal Sudirman bolong Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Yurgen Alifia Sutarno
Tidak, saya tidak sedang membicarakan Jenderal Soedirman. Almarhum mungkin sedang duduk di atas dipan memandangi indahnya surga Firdaus. Menikmati balasan Tuhan atas jasanya kepada Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apalagi sekadar membahas Jalan Jenderal Sudirman. Ruas sepanjang empat kilometer itu akan tetap menjadi markas deretan korporasi raksasa dan para talenta luar biasa. Jantung perekonomian Jakarta.
Saya hendak bercerita tentang Sudirman Said. Belum lama ini, tokoh anti korupsi kelahiran Brebes itu mengirimkan sinyal akan bertarung dalam Pilkada Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) 2024. Sebagian kalangan intelektual dan aktivis menyambut baik. Namun, tak sedikit yang skeptis: “untuk apa Pak Dirman merelakan dirinya masuk ke ‘ring tinju’ Jakarta?”
Kapal Besar Bernama Jakarta
Kalau seluruh provinsi di Indonesia kita ibaratkan sebagai kapal laut, maka Jakarta adalah kapal yang paling besar. Bukan karena wilayahnya yang paling luas. Bukan karena penduduknya yang paling banyak. Tetapi karena pengaruhnya yang paling kuat terhadap jalannya republik. Jakarta sering dijadikan alat ukur kemajuan ekonomi, sosial, politik dan sektor-sektor kunci lain.
ADVERTISEMENT
Kalau ada kegentingan di Jakarta, rasa gugupnya bisa menular hingga wilayah-wilayah terdepan. Kalau ada euforia di Jakarta, senyumnya bisa merebak hingga ke desa-desa. Di sanalah proklamasi kemerdekaan digemakan, di sana pulalah harapan anak-anak bangsa berpapasan.
Selama puluhan tahun, arah perjalanan Jakarta sangat terang: Daerah Khusus Ibukota. Tapi gelar itu kini digeser ke Penajam Paser Utara. Sejumlah pejabat berikrar Jakarta akan bertransformasi menjadi Kota Global: pusat perekonomian dan peradaban di bumi bagian selatan.
Namun, seperti halnya Ibu Kota Nusantara, peta jalan Jakarta ke depan masih diselimuti kabut. Provinsi dengan hampir 11 juta penduduk ini masih dirundung masalah-masalah mendasar yang menghambat kemajuan kota yang lebih inklusif.
Sejumlah warga beraktivitas di rumahnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (30/9/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ketimpangan adalah musuh terbesar. Tiga dari sepuluh warga tidak memiliki akses terhadap air bersih (PAM Jaya, 2023). Mereka yang kekurangan air, utamanya di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah dan harus merogoh kocek Rp400-600 ribu per bulan untuk membeli air bersih.
ADVERTISEMENT
Sekitar 600-700 ribu warga Jakarta masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau mempraktikkan open defecation (Dinas SDA Jakarta, 2023). Tingginya jumlah kawasan kumuh dan minimnya fasilitas MCK yang higienis di perkampungan kota masih menjadi penyebab klasik.
Sebanyak 20% masyarakat terkaya di Jakarta berkontribusi lebih dari 50% distribusi total pengeluaran perkapita (BPS, 2024). Yang kaya semakin jauh meninggalkan yang miskin, tercermin dari Indeks Gini Jakarta yang meningkat dari 0.384 (2018) menjadi 0.431 (2023).
Generasi Z dan Generasi Milenial mungkin adalah segmen masyarakat yang akan paling terdampak dalam turbulensi ombak ke depan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 6.03% atau masih berada di atas rata-rata angka pengangguran nasional (4.82%). Sekitar 70% pengangguran Jakarta didominasi oleh warga berusia 15-29 tahun atau pengangguran muda.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, mengikuti tren di level nasional, serapan tenaga kerja sektor formal di Jakarta tak menggembirakan. Data BPS memperlihatkan jumlah pekerja sektor formal turun dari 3.49 juta pekerja (2012) menjadi 3.26 juta pekerja (2024). Tentu ada dampak Covid-19, namun tren penurunan sebenarnya telah terjadi di periode 2012-2019. Sementara itu, jumlah pekerja informal naik sekitar 36.6% dari 1.34 juta pekerja (2012) menjadi 1.84 juta pekerja (2024).
Konsekuensinya, anak-anak muda Jakarta akan semakin banyak masuk ke sektor informal yang secara umum memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dan perlindungan sosial yang lebih lemah. Padahal mereka dihadapkan pada kenaikan harga pangan, pendidikan, transportasi, komunikasi, hunian dan sederet kebutuhan hidup lainnya.
Harga hunian termasuk beban yang paling mengerikan. Riset LPEM FEB UI menunjukkan harga hunian di Jakarta setara dengan rerata total pendapatan selama 19.76 tahun warganya. Bayangkan Anda kerja selama hampir 20 tahun, total pendapatan Anda utuh tak digunakan untuk apa-apa, baru bisa beli rumah.
ADVERTISEMENT
Kalau tak bisa beli, maka sewa. Namun, harga sewa hunian juga tidak murah. Riset Pinhome berjudul Indonesia Market Report 2023 & Outlook 2024 menunjukkan median harga sewa hunian di Jakarta Selatan dan Utara mencapai Rp60 juta/tahun, sekitar Rp40 juta/tahun di Jakarta Pusat dan Barat serta Rp20 juta/tahun di Jakarta Timur. Dengan rata-rata upah bersih buruh/karyawan/pegawai sebesar Rp5.5 juta per bulan atau Rp66 juta per tahun, tingginya harga sewa hunian menggerus daya beli kelas menengah Jakarta.
Kapal besar bernama Jakarta akan semakin diombang-ambing ombak ketidakpastian. Pilkada tahun 2024 akan sangat menentukan apakah kapal ini akan berlayar ke tanah yang adil dan sejahtera atau justru terhempas ke tanah yang penuh kesenjangan dan ketertinggalan.
ADVERTISEMENT
Kiprah Anak Desa Slatri
Sudirman Said di program Info A1 kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Jakarta sedang mengalami transformasi besar. Ia tak boleh menjadi sekadar panggung untuk batu loncatan”, kata Sudirman dalam sebuah diskusi internal. Sebagai anak kemarin sore yang beruntung mendapatkan mentorship dari beliau, saya sesungguhnya mengharapkan jawaban yang lebih pragmatis.
Maklum, perkembangan demokrasi dan politik Indonesia selama lima tahun terakhir dipenuhi dengan hiruk-pikuk jual-beli ketimbang visi besar jalannya republik ke depan. Kalaupun visi didengungkan, tak laku di pasar elektoral.
Tapi orang-orang yang sudah lama mengenal beliau paham bahwa Sudirman dan pragmatisme sering tak akur. Ia keras kepala, suka melawan arus, berseberangan dengan orang-orang yang rakus. Sebegitu kerasnya sampai ia tak ragu melaporkan politisi kuat Partai Golkar ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam kasus “Papa Minta Saham”. Sebegitu tak pragmatisnya sampai ia mengambil posisi antagonistik melawan mafia migas meski harus kehilangan kursi menteri.
ADVERTISEMENT
Sejarah langgeng menceritakan banyak tokoh dengan karakter yang kuat, sesungguhnya tumbuh dalam kesederhanaan dan kekurangan. Lahir di Desa Slatri, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes 61 tahun yang lalu, Sudirman dan lima saudaranya bersahabat dengan kesulitan hidup.
Ibunya, Tarnju, praktis membesarkan enam anak sendirian setelah ditinggal wafat sang suami. Sang ibu banting tulang menjadi buruh tani, pedagang makanan, penjahit dan profesi serabutan lain demi mencari sesuap nasi. Setiap kali membaca kisah Sudirman saat kecil, saya ingin segera kembali ke rumah dan memeluk ibu saya sendiri.
Kalau hidup dapat dihitung dalam rumus matematika, harusnya Sudirman Said tidak sekolah di STAN, tidak berguru ke George Washington University, apalagi jadi menteri. Kemungkinan besar Sudirman Said jadi buruh tani di Desa Slatri. Tapi rahmat Tuhan tak pernah terbelenggu kalkulasi duniawi.
ADVERTISEMENT
Kalau Anda jengah dengan korupsi, Sudirman adalah teman Anda. Mendirikan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) tahun 1998 bersama sejumlah tokoh, Ia ikut mendorong pemerintah untuk mempercepat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibantu Mr. Clean, Mar’ie Muhammad, ia mendirikan Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) untuk mempromosikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik di kalangan dunia usaha. Sudirman juga termasuk dalam barisan aktivis yang menolak kriminalisasi dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam kasus Cicak vs Buaya.
Kalau Anda peduli pendidikan, rekam jejak Sudirman cukup cemerlang. Setelah lulus S2 dari George Washington University (1994), ia menjadi pengajar di STAN. Tak pernah putus mengajar hingga diangkat menjadi Menteri ESDM (2014) oleh Presiden Joko Widodo. Ia juga pernah mengemban amanah dari almarhum Nurcholish Madjid sebagai penanggung jawab sementara Rektor dan Pengurus Yayasan Wakaf Universitas Paramadina. Sudirman adalah salah satu orang yang aktif mendorong wonderkid Anies Baswedan untuk mengambil posisi Rektor Paramadina pasca masa bakti Sohibul Iman.
ADVERTISEMENT
Kalau Anda termasuk golongan generasi roti lapis (sandwich generation), Sudirman paham betul yang Anda rasakan. Sebelum berangkat kuliah S2 ke Amerika Serikat, ia membagi uang saku beasiswa, separuh untuk beli gabah keperluan makan ibu dan adik-adiknya, separuh Ia bawa ke Negeri Abang Sam. Sebagai mahasiswa di Washington DC, Sudirman mengambil kerja sampingan sebagai reporter Majalah Tempo, loper koran dan jadi tukang cuci piring di sebuah restoran Thailand. Semua ia lakukan untuk menutup kekurangan beasiswa dan membantu biaya makan serta pendidikan adik-adiknya di tanah air.
Di usia 61 tahun ini, Sudirman masih sibuk. Ia aktif menjadi pengurus di Palang Merah Indonesia, Dewan Masjid Indonesia, Institut Harkat Negeri dan menggawangi berbagai inisiatif sosial kemasyarakatan lainnya. Namun, di tengah berbagai kesibukan, pria berbadan kecil ini baterainya masih penuh. Energi yang rencananyaiIa akan gunakan untuk melayani warga Jakarta.
ADVERTISEMENT
Memilih Nakhoda Jakarta
Pemandangan Monumen Nasional (Monas) yang berada di jantung kota Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Saya kembali mengajak pembaca menengok judul tulisan ini. Apakah Sudirman Said yang membutuhkan Jakarta? Atau Jakarta yang membutuhkan Sudirman Said? Pertanyaan itu merupakan sebuah tes litmus dalam politik. Jika jawabannya Sudirman lebih membutuhkan Jakarta dan bukan sebaliknya, maka Sudirman bukan orang terbaik untuk memegang kendali kapal besar bernama Jakarta ke depan.
Tes ini juga anda bisa gunakan untuk beberapa nama bakal calon Gubernur DKJ yang sedang beredar saat ini. Jika orang-orang tersebut lebih membutuhkan Jakarta dan bukan sebaliknya, untuk alasan personal atau alasan apa pun di luar kemaslahatan Jakarta, maka orang-orang tersebut bukan yang terbaik untuk memimpin ke depan.
Mengapa pertanyaan di atas menjadi relevan? Sejak Pilkada langsung pertama kali digelar pada tahun 2007 di Jakarta, panggung politik Jakarta rutin menjadi tempat bersolek para politisi. Kalau mereka berdansa cukup cantik, bernyanyi cukup apik, Jakarta adalah batu loncatan yang sempurna. Secara historis, memanfaatkan panggung politik untuk kepentingan pribadi biasa dipraktikkan dalam kerangka realpolitik.
ADVERTISEMENT
Namun, ada konsekuensi yang harus dibayar. Ketika kursi gubernur dan wakil gubernur hanya dijadikan panggung semata, warga Jakarta tak bisa berharap pemimpinnya mengambil kebijakan-kebijakan yang paling baik untuk kotanya. Sang Nakhoda belum tentu setia pada arah angin yang membawa Jakarta ke tanah yang adil dan sejahtera. Sang Nakhoda rentan tergoda untuk membawa kapal merapat ke dermaga dan melepaskan syahwat politiknya. Di anjungan kapal, Sang Nakhoda tak lagi memekikkan kata “Jakarta” tetapi kata “Saya”.
Saya mengajak warga Jakarta untuk memeriksa lebih dekat dan mempertimbangkan lebih dalam nama-nama bakal calon pemimpin DKJ 2024-2029.
Melalui interaksi dan pendalaman rekam jejak, saya menilai Sudirman sesungguhnya tidak membutuhkan Jakarta tetapi Jakarta yang membutuhkan pelayan seperti Sudirman. Rekam jejaknya lengkap, integritasnya boleh diadu dan tak sedikit tokoh-tokoh hebat yang Ia pernah bantu.
ADVERTISEMENT
Ia sudah lama selesai dengan kepentingan pribadinya, tinggal menggunakan sisa hidup untuk publik sepenuhnya. Saya tentu bisa salah karena dalam politik orang bisa berubah. Namun, cerita dan sosok Sudirman Said setidaknya pantas untuk dipikirkan, dipertimbangkan dan diuji oleh warga Jakarta.