news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bebas Visa Schengen bagi Indonesia, Mungkinkah?

Dubes Yuri O Thamrin
Diplomat senior yang telah memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun mewakili Indonesia baik dalam diplomasi bilateral maupun multilateral.
Konten dari Pengguna
16 Juni 2020 20:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dubes Yuri O Thamrin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Monumen Schengen (Accords de Schengen) di Luksemburg
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Schengen (Accords de Schengen) di Luksemburg
ADVERTISEMENT
Kata "Schengen" sangat populer di telinga kita. Kata ini sering dikaitkan dengan "visa Schengen" yang dikeluarkan oleh negara-negara Uni Eropa. Berbekal satu visa Schengen saja kita dapat masuk dan bebas menjelajahi 26 negara di Eropa. Karenanya visa Schengen sangat populer bagi masyarakat yang ingin mengunjungi Eropa, walaupun tidak mudah mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini 62 negara di dunia bebas masuk ke Uni Eropa tanpa visa Schengen. Indonesia pun menginginkannya dan aktif pula mengupayakannya. Bagaimana perkembangan upaya itu?
Peta negara-negara anggota Schengen
Sejarah "Schengen Area"
Sebagai informasi, Schengen adalah satu dusun kecil di Luksemburg berpenduduk sekitar 600 jiwa. Lokasinya persis di dekat perbatasan Perancis dan Jerman. Dusun ini mendunia namanya karena di sanalah ditandatangani perjanjian penghapusan kontrol perbatasan internal negara-negara Uni Eropa pada 14 Juni 1985. Nama resmi Perjanjian ini adalah "Perjanjian antara negara-negara Benelux dengan Perancis dan Jerman untuk menghapus kontrol perbatasan secara bertahap"—secara populer perjanjian itu disebut "Perjanjian Schengen".
Dusun Schengen di Luksemburg
Selanjutnya, perjanjian ini dilengkapi pula dengan "Konvensi Schengen" (1990) yang memuat antara lain langkah-langkah teknis untuk penghapusan perbatasan, penghapusan pos pengawasan imigrasi dan kepabeanan, pembentukan basis data tunggal serta prosedur penerbitan visa bersama.
ADVERTISEMENT
Setelah hampir 10 tahun sejak penandatanganannya, "Perjanjian Schengen" akhirnya mulai berlaku pada 26 Maret 1995 dengan terbentuknya wilayah Schengen tanpa kontrol perbatasan internal di antara 7 negara UE yakni Perancis, Jerman, Belgia, Luksemburg, Belanda, Portugal dan Spanyol. Selanjutnya, kawasan Schengen meluas menjadi 22 negara EU dan 4 negara non-EU dengan total penduduk di dalamnya sekitar 400 juta.
Pada tahun 2020 ini, UE memperingati 25 tahun terbentuknya Kawasan Schengen yang sejatinya merupakan "simbol" dari klaim keberhasilan integrasi dan eksperimen regionalisme di Eropa.
Perjanjian Schengen yang diabadikan di Musée européen Schengen
Beberapa Tantangan
Kawasan Schengen yang "tak ber-perbatasan" (borderless) banyak mendapatkan tantangan dan kritik. Serangan teror di Paris pada November 2015 dan kemudian di Brussels pada Maret 2016 menunjukkan mudahnya para teroris bergerak di kawasan Schengen yang relatif "lowong" dan "terbuka" untuk melancarkan operasi maut mereka.
ADVERTISEMENT
Begitu pula, pandangan sinis terhadap kawasan Schengen kembali gencar diwacanakan oleh kelompok-kelompok Euroskeptik, anti-globalisasi dan politisi sayap kanan di Eropa ketika terjadi "banjir" pengungsi dari Timur Tengah (terutama Suriah) pada 2015 dengan kemungkinan penyusupan foreign terrorist fighters untuk menyerang UE.
Namun demikian, kepercayaan terhadap kawasan Schengen ternyata tetap solid dan kokoh. Kekurangan-kekurangan yang ada telah diperbaiki melalui peningkatan kerja sama intelijen dan kontra-terorisme untuk meningkatkan internal security termasuk dengan mengembangkan European Travel Information and Authorization System (ETIAS) agar otoritas Eropa dapat mendeteksi latar belakang setiap orang yang memasuki wilayahnya.
Pada masa pandemi covid 19 ini, sekali lagi kawasan Schengen menghadapi ujian. Sebagian besar negara-negara UE menghidupkan kembali kontrol perbatasan di wilayah mereka untuk mencegah penyebaran infeksi dari luar. Namun demikian, pada pertengahan Juni 2020, seiring dengan penurunan jumlah infeksi, banyak negara UE membuka kembali perbatasan mereka. Ke depan bukan tidak mungkin perbatasan akan mengetat kembali jika terjadi gelombang kedua pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Upaya Indonesia
Indonesia sejak 2015 terus memperjuangkan kemungkinan bebas visa Schengen bagi WNI yang akan berkunjung ke Uni Eropa. Aspirasi ini selalu disuarakan Menlu Retno Marsudi kepada para Menlu negara-negara UE maupun kepada Wakil Presiden Komisi Eropa. Hal senada juga dilakukan oleh Dubes RI di Brussel kepada para pejabat Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa.
Sebagai argumen, diingatkan bahwa Indonesia telah memberikan fasilitas bebas visa kepada seluruh negara UE, termasuk 15 negara di kawasan Schengen. Karenanya, Indonesia patut mendapatkan perlakuan setara mempertimbangkan asas timbal-balik (resiprositas).
Selain itu, sebagai sesama negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai penghormatan hak-hak asasi manusia, pluralisme dan toleransi, Indonesia perlu mendapatkan "friendly treatment" dari UE.
Ilustrasi pengajuan Visa Schengen Foto: Shutter Stock
Sebagai catatan tambahan, negara maju seperti Jepang pun telah memberikan fasilitas bebas visa bagi WNI. Kebijakan itu ternyata tidak menimbulkan ekses negatif apa pun bagi kedua negara, bahkan turis Indonesia semakin banyak berkunjung ke Jepang. Jumlah turis Indonesia ke Eropa (2018) sekitar 210 ribu dengan pengeluaran rata-rata €2178 per orang. Melalui fasilitas bebas visa Schengen tentu akan semakin banyak turis Indonesia berkunjung ke Eropa dan hal itu pasti akan menguntungkan UE.
ADVERTISEMENT
Paspor Indonesia pun sudah memenuhi standar ICAO dan cukup baik kualitasnya. Dalam kaitan ini, E-passport Indonesia kecil kemungkinannya untuk dipalsukan (document fraud).
Selain itu, turis-turis Indonesia di Eropa umumnya taat hukum dan kasus-kasus pelanggaran imigrasi sangat kecil, bahkan insignificant jumlahnya.
UE pun bukan "working destination" bagi WNI dan karenanya tidak perlu khawatir bahwa WNI akan menimbulkan masalah sosial di wilayahnya.
Prospek ke Depan
Dalam pertemuan ke-4 Dialog Politik dan Keamanan Indonesia-UE di Brussel pada 12 November 2019, Dubes RI telah mengangkat kembali isu bebas visa Schengen bagi WNI. Ketua Delegasi UE tampak memahami aspirasi RI dan mengakui solidnya argumentasi Indonesia.
Pertemuan the 4th Political and Security, 12 November 2019. Dubes Yuri Thamrin dan Mr. Jean-Christophe Belliard, Deputy Secretary General for Political Affairs, EEAS.
Nada positif dan simpati terhadap aspirasi Indonesia juga ditunjukkan dalam konsultasi bilateral dengan pejabat-pejabat senior di Kemlu Belgia dan Luksemburg.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, kondisi pandemi COVID-19 saat ini praktis menciptakan momentum yang kurang menguntungkan bagi upaya dan aspirasi RI.
Sejak Maret 2020, EU praktis menutup diri dari kunjungan pendatang asing. Sesuai pernyataan Wakil Presiden Komisi Eropa Joseph Borell, baru pada 1 Juli 2020 UE akan mempertimbangkan kembali kemungkinan kunjungan turis asing ke wilayahnya. Itu pun dengan kriteria yang sangat ketat.
Dengan kata lain, warga dari negara-negara dengan tingkat infeksi COVID-19 yang tinggi seperti dari Amerika Serikat sekali pun tampaknya kecil kemungkinan bisa berkunjung ke UE dalam waktu dekat ini.
Menilik hal itu, kita bersikap realistis bahwa momentum saat ini belum "pas" untuk mendorong upaya bebas visa Schengen bagi WNI.
ADVERTISEMENT
Namun upaya ini kiranya perlu terus dilanjutkan secara terpadu dan sistematis, baik melalui Kedutaan negara-negara Uni Eropa yang ada di Indonesia maupun Kedutaan Indonesia di Eropa. Dengan pendekatan yang konsisten dan argumen yang meyakinkan, niscaya bebas visa Schengen bagi WNI bukan lagi sekadar impian.
****

Oleh: Dubes Yuri O. Thamrin

(Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa periode 2016-2020)