Konten dari Pengguna

Uni Eropa dan 'Brussels Effect'

Dubes Yuri O Thamrin
Diplomat senior yang telah memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun mewakili Indonesia baik dalam diplomasi bilateral maupun multilateral.
5 Juli 2021 2:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dubes Yuri O Thamrin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia kini bercorak multipolar: Amerika Serikat (AS) tetap negara terkuat, sementara China dan Rusia adalah dua negara adidaya lainnya. Tiongkok menjadi penantang AS sebagai "nomor 1", sedang Rusia punya beberapa pilihan: beraliansi dengan China, dengan AS atau netral (Mearsheimer, 2018).
ADVERTISEMENT
Dalam konstelasi kekuatan dunia saat ini, di manakah posisi Uni Eropa (UE)? Apakah UE tidak lagi perlu diperhitungkan?
Secara kekuatan militer, UE memang tidak sebanding dengan AS, China dan Rusia. Namun, kekuatan UE justru terletak pada "Brussel Effect", yakni kemampuannya meregulasi pasar global secara unilateral (Anu Bradford, 2020). Kekuatan UE tidak terletak pada "hard power" tetapi "regulatory power."

PASAR UNGGULAN

Pasar Tunggal Eropa besar dan kaya, ditopang oleh kekuatan ekonomi UE sebesar US$ 17 triliun, 450 juta konsumen dengan pendapatan per capita tinggi sekitar US$ 40 ribu. Sejatinya, tidak ada perusahaan global yang dapat mengabaikan pasar Eropa. Untuk itu, mereka menyesuaikan diri dengan regulasi UE.
Ambil contoh ekonomi digital: berbagai perusahaan Amerika yang berpengaruh (seperti Microsoft, Google, Apple dan Facebook) mengikuti standar UE yang dikenal sebagai "EU GDPR" (European Union General Data Protection Regulation), tidak hanya untuk pengguna layanan mereka di Eropa tapi juga di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Youtube, Twitter dan Facebook menggunakan definisi "hate speech" versi UE dan bukan versi AS atas dasar "the First Amendment" pada Konstitusi Amerika.
Selain berbagai perusahaan AS, pengaruh "Brussels Effect" dirasakan pula oleh banyak pihak lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, UE menentukan bagaimana panen kayu secara lestari di lakukan di Indonesia (yakni berdasarkan SVLK dan lisensi FLEGT); UE juga menentukan jenis pestisida yang dapat digunakan para petani biji coklat (cocoa) di Afrika; juga jenis bahan kimia bagi produk "mainan anak" (toys) yang diekspor perusahaan-perusahaan Jepang ke UE; juga berbagai peralatan (equipments) pada pabrik-pabrik produk susu China yang berdagang dengan UE; serta besaran privasi pengguna internet di kawasan Amerika Latin. Semua fakta ini menunjukkan penetrasi regulasi UE memang sangat ampuh di pasar global.
Indonesia dan UE sepakati mekanisme EU Forest Law Enforcement,Governance and Trade (FLEGT) pada 2016 untuk memerangi illegal logging. Credit pic: KBRI Brussel

PERAN PERUSAHAAN GLOBAL

Walaupun relatif tinggi dan demanding, standar UE ternyata lebih disukai berbagai perusahaan global dari pada mereka harus menggunakan beragam standar --- karena perbedaan ketentuan hukum di berbagai negara, yang tentunya akan lebih costly.
ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahaan itu kemudian menerapkan standar dan regulasi UE ke dalam proses produksi dan operasi mereka di seluruh dunia. Dengan demikian, UE sangat diuntungkan karena tinggal mengatur pasarnya sendiri secara unilateral dan kemudian regulasi-regulasi UE diaplikasikan ke seluruh dunia oleh berbagai perusahaan global, demi kepentingan bisnis mereka sendiri.
Pertanyaannya, mengapa hanya ada "Brussels Effect"? Kenapa tidak terdengar "Beijing Effect" atau "Washington Effect," padahal AS dan Tiongkok pun miliki pasar yang besar?
Jawabnya adalah karena "market size" harus dilengkapi pula dengan faktor "regulatory capacity." Artinya, walau punya pasar besar, Tiongkok ternyata belum miliki kemampuan dan kecanggihan hukum seperti institusi-institusi legal dan para lawyers UE. Sementara itu, AS walaupun miliki kapasitas hukum secanggih UE, namun AS justru mendorong deregulasi pada pasar domestiknya sejak awal 1990 (Anu Bradford, 2020)
ADVERTISEMENT

RETHINKING "POWER"

Kekuatan militer (hard power) merupakan elemen penting dalam realitas politik internasional. AS, China dan Rusia adalah pemilik "hard power" terbesar di dunia. Namun, kekuatan militer cenderung "mahal" dan juga berbahaya penggunaannya.
Sementara itu, UE memiliki "Brussels Effect" yang bersumber dari "regulatory power" untuk membentuk pasar global. Kekuatan jenis ini "murah" ongkosnya, mudah penggunaannya dan juga sulit dikalahkan.
Pihak asing mana pun jelas tidak boleh campur tangan urusan UE menerapkan regulasi atas pasar domestiknya sendiri. Negara-nagara itu pun tidak mungkin melarang perusahaan-perusahaan global untuk menerima, mematuhi dan bahkan menyebar-luaskan berbagai regulasi dan standar UE ke pasar global.

ARAH KE DEPAN

UE di masa pandemi Covid-19. Sumber dan Credit pic: France24.com
UE memiliki ambisi besar untuk mengurangi hingga 50% emisi karbon pada 2030 dan menjadi "carbon neutral" pada 2050.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif itu, UE mengembangkan "Carbon Border Adjustment Mechanism" yang mulai tahun 2023 akan dioperasionalisasikan melalui penerapan "Carbon Border Tax."
"Brussels Effect" tampaknya diarahkan untuk dorong produk-produk non-EU di pasar Eropa agar lebih ramah lingkungan dan agar negara-negara non-EU dapat meningkatkan level ambisi mereka dalam memerangi "global warming."
Ditulis oleh: Dubes Yuri O Thamrin, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan UE periode 2016 - Juli 2020.
***