Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ada Tapak Kedigjayaan di Sungai Ciaruteun
5 September 2023 17:18 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sewaktu kecil, ketika masih di SD di Cimahi dulu, saya sangat terkagum-kagum dengan mereka yang memiliki kekuatan luar biasa, yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Saat itu, karena menyukai pelajaran sejarah, salah satu yang saya kagumi adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Alasan utama kenapa saya kecil terkagum-kagum adalah ketika membaca peninggalan dari Raja Purnawarman berupa prasasti yang tertulis diatas batu kali, termasuk dalam prasasti tersebut adalah sepasang telapak kaki Sang Raja. Imajinasi saya waktu itu, betapa saktinya Sang Raja sehingga bisa menjejakan kaki dan meninggalkan tapak telapak kaki diatas batu yang keras tersebut.
ADVERTISEMENT
Rasa penasaran untuk dapat melihat langsung prasasti tersebut terus terpendam hingga saya pindah ke Bogor karena mengikuti pekerjaan. Meskipun tinggal semakin dekat dengan lokasi prasasti, dan berkali-kali melewati jalan kearah Ciampea - Leuwiliang – Jasinga, tetap belum dikasih kesempatan untuk melihat langsung. Hingga akhirnya akhir pekan kemarin menyempatkan sunmori (Sunday morning riding) ke daerah tersebut. Bermotor santai sendirian melewati kampus IPB Dramaga, mengikuti aplikasi maps di HP hingga berbelok ke kanan di Ciampea, 45 menit kemudian, atau sekitar 19 km dari Bogor, sampai di situs Prasasti Tapak Gajah Kebon Kopi (yang juga merupakan salah satu prasasti Raja Purnawarman) di pinggir jalan. Lokasi prasasti yang dituju tidak jauh dari prasasti pertama tersebut, berada di sebelah kanan jalan, memasuki gang kecil yang hanya bisa dimasuki 1 motor saja. Kurang dari 100 meter, sampai di halaman tempat prasasti Muara Ciaruteun berada. Prasasti berada di lahan seluas kira-kira 1000-meter persegi, tepatnya berada di dalam bangunan cungkup sekitar 8 x 8 meter persegi. Selain prasasti tersebut, didalam cungkup terdapat tanda peresmian fasilitas oleh Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, foto besar di latarbelakang yang menggambarkan lokasi asli dimana prasasti tersebut ditemukan serta papan putih yang memuat transkrip tulisan yang ada di batu serta artinya dalam Bahasa Indonesia.
Batu dengan ketinggian seleher rata-rata orang dewasa tersebut, 200 cm x 150 cm, memiliki 4 baris tulisan horizontal dan diatasnya ada tapak 2 telapak kaki kiri dan kanan ukuran orang dewasa masa kini, dan disamping kanannya ada 1 baris tulisan/simbol vertikal yang berukuran lebih besar. Ujung kanan atas batu sudah mengalami kerusakan. Sayangnya, di bagian belakang batu terdapat torehan tulisan, yang nampaknya merupakan vandalisme dari pengunjung. Dari tulisan Dr. Masatoshi Iguchi berjudul “Java Essay. The History and Culture of a Southern Country. Matador 2015., diperoleh informasi bahwa tulisan pada batu tersebut sama dengan yang dipakai di kerajaan Pallava yang makmur di India pada abad ke-4 sampai 5 dengan menggunakan Bahasa Sansekerta. Tulisan besar di kanan atas dapat lebih awal diartikan, dan bertuliskan “Raja Purnawarman dari Tarumanegara”. Sementara itu, tulisan yang lebih kecil baru dapat diartikan pada tahun 1920an. Seorang penulis bernama W.F. Stutterheim dalam tulisannya tahun 1925 berjudul “Pictorial history of civilization in Java” (diterjemahkan oleh A.C de Winterkeen pada tahun 1927) menyebutkan bahwa pada tahun 1925 tulisan kecil yang ada di batu tersebut belum dapat diartikan. Namun Vogel telah menuliskan artinya pada tahun 1925. Menurut papan yang dipajang di samping prasasti, tulisan tersebut ditranskripsikan:
ADVERTISEMENT
vikkranta syavani pateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam
yang artinya: "ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia"
Dr. Iguchi menduga tulisan diatas menunjukan bahwa Purnawarman dikenal dan dihormati sebagai inkarnasi dari Dewa Wishnu dalam ajaran Hindu. Sementara itu, S.E Wibowo dan S. Rosalina dari Universitas Nusa Bangsa, Karawang, dalam tulisannya berjudul “Pragmatic View on The Inscription Heritage of Tarumanegara Kingdom” menegaskan bahwa dari segi pandangan pragmatis, apa yang tertulis dalam prasasti tersebut bertujuan untuk mengumumkan kepada khalayak mengenai sesuatu hal yang sebenarnya kemungkinan sudah diketahui oleh khalayak pada saat itu. Prasasti tersebut nampaknya bukan dibuat oleh Raja Purnawarman sendiri karena ada keterangan yang dibuat oleh pihak lain yang ditujukan kepada Sang Raja. Wibowo & Rosalina memberikan interpretasi bahwa Raja Purnawarman adalah Raja yang digjaya gagah perkasa karena dapat membuat tapak telapak kaki sendiri diatas batu. Diinterpretasikan juga bahwa Raja Purnawarman memiliki kekuatan yang sangat luar biasa seperti Dewa Wishnu. Tapak telapak kaki diinterpretasikan sebagai tanda kekuatan, dan juga sebagai tanda hormat kepada Dewa. Oleh karena itu, Purnawarman dianggap sebagai penguasa dan sekaligus pelindung rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Berbagai sumber pustaka menunjukan bahwa Kerajaan Tarumanagara didirikan pada tahun 358 M atau abad ke-4 oleh Maharesi Jayasingawarman, yang melarikan diri karena gangguan yang ditimbulkan oleh Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada di India. Raja Jayasingawarman kemudian menikah dengan putri Raja Dewawarman VIII dari Kerajaan Salakanagara yang berkuasa di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut N.J. Krom (sebagaimana dikutip dalam laman Ruang Guru) yang pada tahun 1910 – 1915 menjadi Ketua komisi dan Kepala Dinas Purbakala di Jawa, nama “Tarumanagara” -dan mungkin juga nama Sungai Citarum- diambil dari nama tanaman yang bernama “tarum” atau nila Indigofera tinctoria, dan digunakan sebagai ramuan pewarna benang, yang saat itu banyak ditemukan tumbuh di tepi Sungai Citarum.
Setelah Raja Jayasingawarman mangkat, penggantinya yang paling dikenal adalah raja ketiga, Purnawarman. Sang Raja tercatat berhasil menggali sungai sepanjang 12 km. yang menghubungkan wilayah-wilayah yang penting untuk perdagangan serta menyediakan pasokan air sewaktu musim hujan dan pengaturan banjir di musim penghujan. Pada masa kepemimpinanya, Kerajaan Tarumanegara meluaskan wilayah kekuasaannya serta memperkuat jaringan ekonomi dan militer. Mungkin karena itulah prasasti Ciaruteun, dan beberapa prasasti lain di sekitarnya, banyak memuji kekuatan dan kedigjayaan Raja Purnawarman.
ADVERTISEMENT
Prasasti yang sekarang berada di cungkup yang dipelihara baik tersebut pada awalnya ditemukan di Sungai Ciaruteun yang bermuara di Sungai Cisadane, tidak jauh dari tempat pendopo sekarang. Dari lokasi sekarang, Sungai Ciaruteun berada sekitar 300-meter menuruni tebing curam yang saat ini ditumbuhi bambu. Pertama kali ditemukan pada tahun 1863 oleh pimpinan suatu lembaga, yang saat ini menjadi Museum Nasional. Dr. Iguchi menyebutkan bahwa saat itu adalah waktu ketika studi arkeologis baru dimulai di Jawa, dan batu prasasti banyak menarik perhatian para peneliti kontemporer. Batu tersebut sempat tercatat pernah berpindah tempat 1893 akibat banjir bandang, dan kemudian dikembalikan lagi ke tempat semula. Prasasti tersebut kemudian dipindahkan ke bangunan pendopo pada tahun 1981 dengan menggunakan alat berat. Cungkup prasastinya sendiri diresmikan pada tanggal 31 Maret 1990 oleh Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Tidak jauh dari lokasi pendopo prasasti, terdapat Jembatan layang Rawayan yang membentang sepanjang 126 dan setinggi sekitar 80-meter diatas lokasi dimana Sungai Ciaruteun bermuara di Sungai Cisadane. Jembatan yang diresmikan oleh Bupati Bogor Ade Yasin dan Komandan Korem 061/Surya Kencana Brigjen Ahmad Fauzi tersebut menghubungkan antara Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang dengan Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Lokasi Jembatan Rawayan dan pendopo prasasti batu bertulis tersebut layak untuk dipromosikan bersama sebagai kawasan eduwisata, yang menggabungkan wisata sejarah dengan wisata alam.
ADVERTISEMENT
Bogor, 5 September 2023
Yus Rusila Noor