Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diperlukan Aksi Nyata untuk Mengatasi Penggurunan dan Degradasi Lahan
19 Juni 2023 20:48 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penggurunan, secara bahasa mungkin tidak terlalu sulit untuk dipahami, artinya proses untuk menjadi gurun. Dalam bayangan kita, gurun berarti lahan luas yang berupa hamparan pasir sejauh mata memandang, tidak ada, atau amat sangat jarang, tumbuhan hijau dan hidupan liar serta hampir tidak ada hujan. Bayangan kita adalah hamparan gurun di Afrika dan Timur Tengah. Dalam bahasa yang lebih formal, Encyclopedia Britannica mendefinisikan penggurunan atau desertification sebagai proses dimana alam atau manusia menyebabkan terjadinya penyusutan produktifitas biologis dari lahan kering. Penyusutan produktifitas tersebut dapat saja disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti pemanfaatan rerumputan secara berlebih (overgrazing), pembuatan irigasi yang tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan, kemiskinan, ketidakstabilan politik atau gabungan faktor penyebab tersebut; atau akibat lain, seperti perubahan iklim dan penggundulan hutan (deforestasi) – yang juga diantaranya disebabkan oleh aktifitas manusia. Praktek pertanian yang dilakukan saat ini, misalnya, menyebabkan erosi tanah di berbagai belahan dunia, 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan apabila terjadi secara alami.
ADVERTISEMENT
Kejadian penggurunan atau desertifikasi adalah masalah yang terus berkembang, dan banyak dialami oleh negara-negara yang memiliki wilayah kering atau semi-kering. Di wilayah tersebut, ekosistemnya sendiri sudah dalam kondisi rapuh akibat kurang dan tidak teraturnya curah hujan. Penggurunan, dengan demikian, akan lebih memperburuk habitat dan ekosistem alami diantaranya dalam bentuk berkurangnya ketersediaan sumber daya air, yang mengakibatkan hambatan terhadap produktifitas pertanian, sehingga menyebabkan terganggunya ketahanan pangan dan meningkatkan taraf kemiskinan. Bagi masyarakat yang mengandalkan penghidupannya kepada ketersediaan sumber daya alam, tentu kondisi tersebut akan memberikan tekanan hidup yang lebih berat dan meningkatkan kerentanan serta menurunkan taraf ketangguhannya. Dampak degradasi lahan kemudian akan dirasakan oleh sebagian besar populasi dunia, diantaranya berupa perubahan dan gangguan pola curah hujan, memicu cuaca ekstrim, seperti banjir atau kekeringan, serta kejadian terkait perubahan iklim lainnya. Pada akhirnya, dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut akan menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik yang memicu peningkatan konflik, kemiskinan dan migrasi masyarakat dalam mencari tempat yang lebih mendukung kehidupan.
Jika berbicara angka, para ahli mengindikasikan bahwa perubahan lahan telah terjadi di 70% wilayah yang tidak tertutupi es, dan mempengaruhi setidaknya 3,2 milyar populasi. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin perubahan akan mencakup 90% wilayah pada tahun 2050. Badan PBB yang mengurusi program lingkungan (UNEP - United Nation Environment Programme) memberikan catatan bahwa desertifikasi telah mempengaruhi 36 juta km2, berpengaruh terhadap setidaknya 250 juta orang serta diperkirakan 135 juta orang dipaksa untuk pindah dari tempat mereka tinggal pada tahun 2045 nanti. Ini adalah krisis kemanusiaan yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Afrika tercatat sebagai benua yang banyak terpengaruh. Hamparan seluas 20 juta km2 atau hampir 65% di Afrika merupakan lahan kering, termasuk wilayah Sahara, Kalahari dan padang rumput di Afrika Timur, dimana sepertiga diantaranya merupakan lahan gurun yang boleh dikatakan tidak berpenghuni. Desertifikasi telah mempengaruhi setidaknya seperlima lahan tanam beririgasi dan tiga per lima lahan tadah hujan di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Di wilayah lain, degradasi lahan juga telah memacu terjadinya migrasi penduduk di Asia Tengah. Di wilayah yang diantaranya mencakup Kyrgyzstan, Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan, desertifikasi dan kekeringan telah menyebabkan kerugian tahunan mencapai 6 milyar dolar AS, menyebabkan migrasi sejumlah 2,5 – 4,3 juta orang atau 10 – 15% populasi yang masih aktif secara ekonomi. Studi di negara-negara tersebut, yang disponsori Badan PBB, mengkonfirmasi bahwa perubahan iklim dalam bentuk kekeringan berkepanjangan telah menyebabkan penurunan produktifitas lahan yang kemudian menyebabkan penurunan penghasilan masyarakat, dan mendorong terjadinya migrasi untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Studi juga menyimpulkan bahwa 98% pendapatan para pelaku migrasi tersebut dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan tidak menyisakan kesempatan untuk menabung dan berinvestasi, apalagi untuk membiayai program tata guna lahan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Jika dirangkum, maka desertifikasi memberikan dampak negatif dalam bentuk: i) dampak untuk manusia, seperti penurunan produktifitas pertanian (ketahanan pangan), penurunan kondisi kesehatan, penurunan ekonomi, migrasi dan perpindahan penduduk, dan memicu terciptanya ketidakstabilan sosial dan politik serta hilangnya warisan budaya, ii) dampak untuk alam, diantaranya berupa kehilangan keanekaragaman hayati yang akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem, degradasi tanah yang berpengaruh terhadap penurunan fertilitas dan penurunan hara yang bermanfaat, kelangkaan air tanah dan air permukaan akibat penurunan vegetasi dan laju infiltrasi air serta dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh menurunnya kapasitas ekosistem untuk menyerap gas rumah kaca.
Menyadari demikian masifnya akibat dari desertifikasi, dan degradasi lahan secara umum, pada tahun 1977 digagas suatu pertemuan United Nations Conference on Desertification (UNCOD) di Nairobi, Kenya, untuk mendiskusikan dampak desertifikasi secara global, termasuk faktor penyebab dan penyumbang serta kemungkinan penanganannya secara lokal dan regional. Pada tanggal 17 Juni 1994, di Paris, dicapai kesepakatan untuk mengadopsi Konvensi PBB untuk Melawan Desertifikasi (UNCCD - United Nations Convention to Combat desertification), dengan tujuan untuk melawan desertifikasi dan memitigasi dampak kekeringan melalui pendekatan dari bawah, dengan penekanan kepada partisipasi lokal dan kerjasama diantara negara-negara yang terdampak. Pada tanggal 30 Januari 1995, Sidang Umum PBB mengadopsi resolusi nomor 49/115 yang menyatakan tanggal 17 Juni sebagai Hari Dunia untuk Melawan Desertifikasi dan Kekeringan (WDCD – World Day to Combat desertification and Drought). Tujuan utama penetapan ini adalah untuk meningkatkan penyadartahuan mengenai desertifikasi, degradasi lahan dan kekeringan, serta mempromosikan mitigasi mengenai dampaknya dan mencapai pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Sejak penetapannya, WDCD telah menjadi kerangka kerja untuk penyadartahuan global, pertukaran pengetahuan dan pengalaman, dan menggalakan solusi inovatif untuk mengelola dan menghentikan desertifikasi. Setiap tahun peringatan ini memberikan fokus pada tema tertentu yang menonjolkan berbagai aspek berbeda dari degradasi lahan serta potensi solusi untuk pengelolaan lahan dan sumberdaya yang berkelanjutan. Untuk tahun 2023, tema besar dari peringatan Hari Dunia untuk Melawan Desertifikasi dan Kekeringan adalah “Her Land. Her Right”, dengan fokus global terhadap hak tanah untuk perempuan – penting untuk pencapaian sasaran global terhadap kesamaan jender yang terhubung dengan netralitas degradasi lahan pada tahun 2030, serta berkontribusi terhadap kemajuan beberapa Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDG) lainnya. Dalam pernyataannya, UNCCD menegaskan kembali komitmennya terhadap kesamaan jender sesuai tujuan peringatan WDCD 2003, yaitu: i) Meningkatkan penyadartahuan mengenai dampak menyeluruh dari desertifikasi, degradasi lahan dan kekeringan terhadap perempuan dan hambatan yang mereka temui dalam pengambilan keputusan terkait lahan, ii) Menonjolkan kontribusi Wanita dalam pengelolaan lahan berkelanjutan dan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan secara luas, dan iii) Mobilisasi dukungan global untuk memajukan hak-hak lahan untuk Wanita di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah meratifikasi UNCCD berdasarkan Keputusan Presiden No.135/1998 tertanggal 28 Agustus 1998. Dengan ratifikasi tersebut, sebagai bagian dari Party of the Convention, Indonesia akan memenuhi kewajibannya, termasuk menyiapkan laporan nasional, penyusunan Rencana Aksi Nasional serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan konvensi. Dalam Program Aksi Nasional untuk Melawan Degradasi Lahan, Indonesia memang lebih menyukai untuk menggunakan istilah Combat Land Degradation (CLD), dan menyampaikan wilayah program dari Bab 12 Agenda 21 yang paling sesuai untuk Indonesia, yaitu: i) Melawan degradasi lahan melalui peningkatan konservasi tanah, aforestasi dan reforestasi, ii) Mengembangkan skema kesiapsiagaan kekeringan dan pemulihan kekeringan, dan iii) Mendorong partisipasi komunitas lokal serta pendidikan lingkungan yang berfokus pada pengelolaan dampak kekeringan.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Konvensi PBB untuk Melawan Desertifikasi memang selayaknya tidak berdiri sendiri. Mengikuti kelahirannya pasca Pertemuan Puncak Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil, 1992, bersama-sama dengan konvensi lain yang juga dilahirkan pasca pertemuan Rio, yaitu UNCBD (Biodiversitas) dan UNFCCC (Perubahan Iklim), maka diperlukan adanya sinergi karena aksi dan kebijakan dari ketiga konvensi tersebut memang didesain untuk saling membantu dan menguatkan. Ketiganya berkontribusi terhadap konservasi ekosistem, melindungi biodiversitas, pengawetan habitat alami serta ketangguhan masyarakat terhadap berbagai guncangan lingkungan.
Dengan kerja nyata, harapan yang bisa kita pasang adalah agar terhindar dari penggurunan yang lebih meluas, dan meningkatnya daya lenting masyarakat dalam menghadapi perubahan yang seringkali merugikan kehidupan mereka.
Bogor, 17 Juni 2023